Parlemen Gagal (lagi) Move On

Agung Saras Sri Widodo MAOleh:
Agung SS Widodo, MA
Peneliti Sosial-Politik, Institute For Research and Indonesian Studies (IRIS)

Setelah santer adanya pemberitaan mengenai rekonsiliasi dan islah politik di parlemen antara Koalisi Merah Putih (KMP) dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH), nampaknya situasi tersebut tak lebih dari peribahasa jauh panggang dari api. Proses islah politik yang beberapa pekan yang lalu sempat dielu-elukan sebagai langkah yang bijak pada kenyataannya tidak lebih dari pertunjukan (entertainment) politik. Konstelasi politik di parlemen tampaknya akan semakin menarik untuk diikuti beserta dengan tarik ulur kepentingan masing-masing koalisi.
Apa yang terjadi di parlemen dalam kaca mata politik sebenarnya bukan sesuatu yang luar biasa, mengingat dalam bacaan demokrasi adanya perbedaan pendapat bahkan kepentingan merupakan sesuatu yang lumrah. Kata kuncinya hanya pada keberpihakan kepada rakyat, ketika perbedaan tersebut masih mengantongi atas nama rakyat sekiranya sah-sah saja. Nah, dalam gambaran konstelasi politik parlemen saat ini, masyarakat melihat dalam etika kepatutan yang tentunya penilaian atas hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari sosio kultural masyarakat Indonesia yang memegang teguh basis norma serta moral etik. Jadi sangat wajar kemudian pertarungan antara KMP dan KIH menjadi sesuatu yang janggal mengingat mereka membawa misi untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Situasi inilah yang kemudian menyebabkan parlemen sekali lagi gagal move on, dan masih saja berebut ‘kursi’ atas nama kepentingan rakyat.
Dalam proses rekonsiliasi sebelumnya setidaknya ada 3 (tiga) hal yang sama-sama disepakati oleh kedua belah pihak yakni: alat kelengkapan dewan, perubahan tata tertib dewan, dan revisi Undang-Undang No 17 Tahun 2014 MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Kesepakatan ini kemudian berimbas pada lobby politik KIH atas perwakilannya dalam posisi srtategis baik di komisi maupun badan-badan DPR. Secara teknis KIH mendapat 11 kursi sebagai wakil di setiap komisi dan 10 kursi wakil ketua di badan DPR meliputi BURT, Baleg, BKSAP, dan Banggar, sehingga total ada 21 kursi yang di-share (bagi) kepada KIH. Namun demikian, tampaknya islah tersebut harus tertunda, lagi-lagi didasari oleh tarik ulur kepentingan beberapa elite (pimpinan) partai.
Pun, seturut dengan hal tersebut, rencana perdamaian KMP dan KIH sepertinya hanya sebatas wacana, yang semua itu dilatarbelakangi oleh keinginan KIH untuk merevisi UU MD3. Beberapa pasal yang diusulkan untuk direvisi yakni Pasal 74 (tugas DPR), ayat 3,4, dan 5 serta Pasal 98 (tugas komisi),ayat 6,7, dan 8. Dari kedua pasal tersebut yang saat ini santer menjadi sorotan yakni adanya keinginan dari KIH untuk menghapus Hak Interpelasi DPR. Pada konteks ini jelas ada upaya politis dari KIH untuk memback up kepemimpinan Jokowi agar tidak serta merta mendapat kritik (rong-rongan) dari KMP. Terlepas dari segala kepentingan kedua belah pihak, jelas perdebatan ini sangat disayangkan dan jauh dari nuansa memperjuangkan kepentingan rakyat.
Secara langsung apa yang dipertontonkan oleh para legislator di gedung parlemen telah menciderai proses politik yang telah dilakukan oleh seluruh rakyat Indonesia. Tidak kunjung selesainya petarungan diantara mereka menandakan adanya ketidakseriusan para wakil rakyat untuk mengartikulasikan seluruh kepentingan rakyat. Rakyat dalam Pemilu Pilpres kemarin telah move on untuk tidak menggunakan hak pilihnya, maka seharusnya sikap tersebut juga diimbangi oleh perilaku para anggota dewan yang mencerminkan sikap bijak dan negarawan.
Masyarakat sudah lelah melihat tingkah polah para anggota dewan yang justru mempertontonkan perilaku politik yang tidak demokratis, kakanak-kanakan, dan egois. Jargon revolusi mental yang didengungkan oleh Jokowi tampaknya harus ditunjukkan pada parlemen untuk saat ini, agar mereka segera menunjukkan kinerjanya dalam mengadvokasi kepentingan  rakyat, dan bukan sebaliknya justru memperlihatkan adegan-adegan yang tidak semestinya untuk dilihat. Dalam negara demokrasi satu hal yang perlu diingat adalah adanya keseimbangan dan bukan pertentangan. Keseimbangan yang dimaksud tentunya bukan tanpa perbedaan, akan tetapi lebih pada konteks saling melengkapi (komplementer) dan bukan mengganti (substitusi), tentunya dalam wilayah memperjuangkan kepentingan rakyat.
Sudah saatnya anggota DPR segera move on dari pertarungan kepentingan yang tidak layak untuk diperlihatkan. Masyarakat sudah dewasa dengan segala konsekuensi politik yang meraka pilih. Pun demikian, mereka juga berharap agar suara yang mereka berikan tidak sia-sia, karena suara rakyat pada dasarnya adalah suara Tuhan (Vox Populi Vox Dei)

                                                                                   ————————- *** —————————

Rate this article!
Tags: