Partai Hanura di Tengah Badai Politik Identitas

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa ; Mahasiswa Program Doktoral (S3) Ilmu Sosial Universitas Airlangga (Unair) Surabaya

Milad atau hari kelahiran (Harlah) partai politik menjadi momentum untuk merefleksikan diri untuk selanjutnya menjadi referensi bagaimana partai politik melihat masa depan. Demikian jugalah yang harus dilakukan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) yang pada tanggal 21 Desember 2020 nanti akan berumur 14 tahun, umur yang relative masih muda.
Menyimak dinamika politik yang ada di tubuh Hanura dalam beberapa tahun belakangan ini, maka tidak terlalu keliru kalau Partai Hanura lebih banyak dililit konflik internal yang berkepanjangan. Implikasi paling nyata adalah babak belurnya Hanura dalam ajang Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019 lalu. Dampak berikutnya, peran peran politik partai Hanura nyaris tidak terdengar akibat minimnya modal politik (suara) yang dimiliki.
Berangkat dari realitas tersebut, maka pesan terpenting yang harus dibaca segenap politisi Hanura adalah segera melupakan konflik dan berbenah diri untuk bangkit menjadi partai yang tangguh dan dewasa dalam menghadapi kontestasi politik. Pekerjaan ini tentu bukan hal mudah mengingat, kondisi partai yang terlanjur babak belur akibat konflik yang menderanya. Maka tantangan besarnya adalah bagaimana Hanura mengkonsolidasi segenap potensi yang dimiliki untuk menjadi partai yang solid.
Soliditas ini menjadi penting mengingat pada fase fase seperti sekarang ini Hanura harus lebih kerja keras untuk melakukan pembenahan internal. Pembenahan ini bukan semata meredakan konflik, tetapi mengelaborasi kembali ideology partai yang selanjutnya dijual kepada public. Hanura butuh kejelian dalam melihat persoalan yang ada di masyarakat agar bisa merumuskan idelogi partai yang bisa menjawab persoalan kemasyarakat dan kebangsaan.
Salah satu persoalan serius yang akan jadi tantangan bagi partai partai di masa mendatang adalah menguatnya politik identitas. Fenomena ini juga sangat telanjang dalam panggung politik hari ini. Kegaduhan politik yang terjadi karena fenomena Front Pembela Islam (FPI) dengan sosok Habib Rizieq Shihab (HRS) tidak bisa dilepaskan dari menguatnya politik identitas.

Penguatan Politik Identitas
Politik identitas, menurut Abdillah (2002) merupakan politik yang fokus utama kajian dan permasalahannya menyangkut perbedaan-perbedaan yang didasarkan atas asumsi-asumsi fisik tubuh, politik etnisitas atau primordialisme, dan pertentangan agama, kepercayaan, atau bahasa.
Politik identitas hadir sebagai narasi resisten kelompok terpinggirkan akibat kegagalan narasi arus utama mengakomodir kepentingan minoritas; secara positif, politik identitas menghadirkan wahana mediasi penyuaraan aspirasi bagi yang tertindas. Fitur dikotomi oposisional menjadi fondasi utama yang membedakan perasaan kolektivitas ke-kita-an terhadap yang lain.
Tetapi kenyataannya, pada tataran individual di era modernisasi yang serba mekanik, muncul ‘kegagapan’ untuk memahami struktur masyakarat yang plural, maka intoleransi semakin meningkat. Pendeknya, terjadi ketidaksesuaian social imagination atau imajinasi sosial tentang kehidupan sehari-hari manusia modern dan interaksinya dengan masyarakat umum.
Berbagai pihak, khususnya kalangan elite politik tertentu, kian matang dan piawai memanfaatkan situasi. Sentimen-sentimen atas nama identitas menyebar luas ke ruang publik. Ironisnya, masyarakat sebagai subjek politik acap menerimanya dengan sukarela. Bahkan beberapa kelompok menyambutnya dengan gelora heroisme diri, yang kemudian memolesnya dengan terma-terma pembelaan terhadap keyakinan, kebangkitan kaum pribumi, perlawanan atas penjajahan ekonomi kelompok “asing”.
Jika mengikuti situasi politik saat ini, ada kecenderungan aspek emosional (agama) masih akan memengaruhi jalannya sirkulasi politik ke depan. Bahkan, bukan suatu yang mustahil jika nantinya akan banyak partai politik memanfaatkan (simbol) agama. Itulah sebabnya, meski selama ini akrobat politik SARA beroperasi dalam ruang terbuka, namun modus operandinya lebih dominan pada domain-domain keagamaan. Di sini, mereka tahu dan paham betul, agama sebagai narasi agung dapat memproduksi dan mereproduksi kekuasaan yang dahsyat untuk bisa menghasilkan ketaatan dari para pemeluknya (Foucault, 1975).

Rapuhnya Ideologi Partai
Idelogi meminjam definisi Ali syariati (2007) merupakan ilmu mengenai keyakinan dan cita-cita. Secara lebih luas, Steger (2011) mendefiniskan ideologi sebagai suatu sistem sebaran ide, kepercayaan yang membentuk sistem nilai dan norma serta peraturan ideal yang diterima sebagai fakta dan kebenaran oleh kelompok tertentu.
Dalam ideologi tersebut terdapat ide-ide ataupun gagasan bagaimana masyarakat hidup dandiatur oleh norma-norma yang diyakini maka hal ini dijadikan landasan dalam menyusun rencanaberupa kebijakan ataupun program yang tepat dan sesuai kepentingan untuk masyarakat tersebut.
Di lain pihak dengan ide-ide tersebut dapat juga dijadikan dasar untuk merespon dan bahkan menentang tatkala muncul kebijakan-kebijakan yang dirasa membahayakan atau merugikan dari tatanan masyarakat yang dicita-citakan. Dari penjelasan diatas dapat penulis simpulkan bahwa ideologi adalah sebuah tatanan masyarakat yang di dalamnya menyangkut sistem ekonomi, politik, sosial dan budaya yang cita-citakan oleh individu, kelompok, golongan atau masyarakat luas yang kemudian menjadi landasanuntuk bertindak. Terjebaknya partai partai untuk memainkan politik identitas sesungguhnya pada wilyaha lain juga menunjukkan betapa rapuhnya ideologi partainya. Ideolagi partai harus memandu bagi segenap politisinya untuk melangkah dan bermain politik.

Masa Depan Partai Hanura
Dalam kehidupan yang demokrasi seperti di Indonesia sekarang ini, partai politik merupakan instrumen yang wajib ada di suatu negara yang menjalankan demokrasi. Bahkan pendapat yang ekstrim yang mengatakan bahwa tidak ada demokrasi ketika tidak ada partai politik didalamnya, karena partai politiklah yang memainkan peranan penting dalam sistem demokrasi.
Dengan adanya partai politik maka masyarakat akan merasakan mempunyai negara/pemerintah, karenaketika tidak ada kekuatan penyeimbang dari penguasa maka kecenderungannya adalah kekuasaan tersebut akan digunakan secara berlebihan dan tentunya masyarakatlah disini yang akan selalu dirugikan melalui kebijakan-kebijakanya. Dalam menggaet pemilih, partai politik secara sadar masih ada yang memanfaatkan isu terkait suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Lantaran itu, parpol harus ikut bertanggung jawab dalam menghentikan praktik politik murahan ini.
Menguatnya politik identitas di satu sisi dan dalam rapuhnya ideology partai adalah realitas yang harus dijawab kalau ingin menjadi partai yang bisa menarik simpati dan empati public.
Pertanyaannya adalah seberapa serius parpol mau mengakhiri praktik politik identitas dalam mewujudkan kepentingan politiknya. Inilah tantangan serius yang harus dijawab oleh partai partai yang ingin melenggang ke masa depan termasuk salah satunya adalah partai Hanura.
Sebagai partai nasionalis yang relatif lebih muda dibandingkan partai partai yang berkuasa hari ini, maka sejatinya Hanura harusnya bisa lebih maju dalam menggagas dan mempelopori praktik berpolitik yang lebih elegan untuk generasi mendatang. Politik identitas adalah cara berpolitik yang paling murahan karena memanfaat isu yang sudah taken for granted ada, tidak butuh kecerdasan untuk memanfaatkan isu ini. Sampai dengan saat ini partai-partai politik terlihat tak memiliki keberanian untuk bermain sehat dalam kancah perpolitikan Indonesia.
Alih-alih bermain isu visi-misi, parpol-parpol ini lebih senang menggunakan SARA sebagai langkah memenangkan kekuasaan. Kondisi diperparah dengan kondisi partai politik yang miskin gagasan, sehingga tidak memiliki kepercayaan diri untuk mendialogkan konsep yang akan ditawarkan kepada publik. Kebutuhan akan hadirnya partai politik yang bervisi ke depan yakni buka saja menawarkan konsep namun juga memiliki visi untuk mendewasakan politik masyarakat harus dijawab oleh Hanura.
Wallahu’alam bhis-shawwab.

Tags: