Partai Politik sebagai Organisasi

Agus IswandriyantoOleh :
Agus Iswandriyanto
Jebolan FIA Unibraw Malang jurusan Administrasi Negara, pernah menjadi aktivis pers mahasiswa. Kini berprofesi sebagai aktivis politik pada partai yang berorientasi “wong cilik”.  

Keberadaan organisasi partai politik (parpol) dikelola menurut suatu sistem kepemimpinan yang diistilahkan sebagai ‘dewan’. Sesuai tingkatannya, jika mencakup seluruh wilayah negara disebut Dewan Pimpinan Pusat atau ada yang menyebut Dewan Pimpinan Nasional. Tingkat bawahnya disebut Dewan Pimpinan Daerah, kemudian Dewan Pimpinan Cabang, dan sebagainya. Kepemimpinan parpol disebut ‘dewan’ tentu bukan tanpa maksud, agar terlihat beda dengan organisasi militer atau birokrasi pemerintahan, biar terkesan eksklusif dengan segala keistimewaan, apalagi cuma untuk gagah-gagahan.
Tidak bisa tidak, dalam hal-ihwal semantik, istilah ‘dewan’ memiliki makna tersendiri yang sangat khas. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan ‘dewan’ sebagai majelis atau badan yang terdiri atas beberapa orang anggota yang pekerjaannya memberi nasihat, memutuskan sesuatu hal, dan sebagainya, dengan jalan berunding. Singkat kata, ‘dewan’ bermakna kumpulan orang, sehingga bagi kepemimpinan parpol yang menyebut diri sebagai ‘dewan pimpinan’, dengan sendirinya bersifat kolektif kolegial atau meniscayakan musyawarah serta kebersamaan dalam mengambil keputusan organisasi.
Pemimpin dewan parpol selalu disebut ketua. Bukan disebut kepala, direktur, juragan, majikan, bos, yang dipertuan, maharatu, komandan, apalagi panglima. Penyebutan ‘ketua’ jelas lebih bersifat mengelola atau mengkoordinasi ‘dewan pimpinan’, meminimalkan hirarki wewenang personal instruktif apalagi koersif. Ketua wajib membangun permusyawaratan lantas ambil keputusan, sehingga makna kerjasama sebagai hakikat organisasi lebih eksplisit, ketimbang rivalitas yang mendidihkan darah. Jadi, eksistensi sebagai ketua menunjuk pada kapasitas dan kapabilitas mengemban fungsi itu. Bukan pada privilege “tiket” yang haram digugat demi ambisi pribadinya menuju kursi legislatif maupun eksekutif.
Sayang sekali antara idealitas dengan realitas sering berbanding terbalik, ibarat pepatah jauh panggang dari api. Kepemimpinan parpol tidak menjalankan fungsi dewan yang kolektif kolegial, namun lebih mengukuhi sifat monolitik otoriter, mengarus top-down, mengemban fungsi instruktif (perintah) yang mustahil dibantah. Ketua menyerupai juragan, bos, sang maharatu, komandan, bahkan godfather, dengan segala hak prerogatif. Ketua berlagak top figure yang berasyik-masyuk dengan dunianya sendiri dan handai-taulan plus nepotismenya saja. Fungsi meningkatkan “kesadaran politik” warganegara serta memperluas jangkauan massa dianggap aneh, kurang kerjaan,  tidak ada insentif langsung yang menarik antusiasme semisal imbalan pundi-pundi, sehingga diabaikan secara semena-mena.
Belakangan jagad politik aktual dihebohkan oleh sensasi konflik internal Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan. Tidak bisa tidak, bila dielaborasi secara dialektis mendalam, semua berawal dari pengingkaran atas eksistensi ‘dewan pimpinan’ dalam kepemimpinan parpol. Ketum Aburizal Bakrie dan Waketum Agung Laksono lima tahun menakhodai DPP Partai Golkar. Bukankah juga bersama-sama menerapkan pola pengambilan keputusan, mengapa tiba-tiba menjadi seteru berat yang berhadapan secara diametral? Dalam hal PPP, Ketum Suryadarma Ali dan Sekjen Rohmahurmuzy pun bersama-sama lima tahun amar makruf nahi munkar mengemban amanat kepemimpinan. Yakni, menjalankan proses pengambilan keputusan di DPP PPP, ternyata sungguh mengejutkan, tiba-tiba dengan begitu mudah melakonkan kegaduhan rivalitas yang menjadi sinisme publik.
Manakala setiap pengambilan keputusan penting dan strategis selalu berdasarkan prinsip ‘dewan pimpinan’, niscaya segenap keputusan diterima dengan lapang dada sebagai tanggung-jawab kolektif kolegial. Katakanlah ihwal pengambilan keputusan berkoalisi dengan capres tertentu tidak dilakukan sendirian oleh top figure “komandan pucuk” pimpinan partai, rasanya mustahil muncul polarisasi kubu-kubuan di belakang hari menyusul konsekuensi menang-kalah yang tak terelakkan.
Penyebutan istilah ‘dewan pimpinan’ sejatinya juga berimplikasi pada hubungan antara variabel pengambilan keputusan vis-à-vis variabel keterlibatan. Ketua parpol harus menjalankan prinsip betapa setiap pengambilan keputusan mesti memperhatikan dan menimbang aspek keterlibatan. Keputusan sangat penting dan strategis justru dilakukan sendirian, tanpa keterlibatan sesama ‘dewan pimpinan’, berimplikasi menghampakan eksistensi organisasi sebagai wahana kerjasama. Sang “komandan pucuk” dihantui kecemasan mencuat rivalitas dari ‘dewan pimpinan’ yang akan meruntuhkan kewibawannya.
PDI Perjuangan yang tampak adem-ayem mengingat sukses besar Jokowi menduduki tampuk RI-1, sesungguhnya mengalami permasalahan serupa yang sangat akut. Menyusul kemenangan sensasional dalam Pemilu 1999 – bermakna memegang mandat terbesar menentukan arah “gerakan reformasi” yang dilembagakan melalui pemilu – justru melakonkan kepemimpinan monolitik feodalistik. Makna ‘dewan pimpinan’ acapkali di-veto, aspirasi “arus bawah” tergusur, oleh privilege sang Ketua Umum.
Dampak nyata adalah meletup sempalan dari “gua garba” PDI Perjuangan dan menyingkirnya kader-kader terbaik. Bisa disebut Partai Indonesia Tanah Air Kita, Partai Nasional Banteng Kemerdekaan, Partai Pelopor, Partai Nasional Indonesia 1927, dan Partai Demokrasi Pembaruan. Parpol sempalan memang tidak berkibar signifikan, tapi PDI Perjuangan sendiri alih-alih mempertahankan prestasi 1999 justru merosot terus dari pemilu ke pemilu. Beruntung pada Pemilu 2014 tertolong oleh kehadiran “politik blusukan” Jokowi dan dekadensi parpol lain, sehingga bisa menang meski terbilang semenjana.
Parpol dengan top-figure sentral yang paling utama dan satu-satunya, bukan rahasia lagi, sering mengabaikan pentingnya ‘dewan pimpinan’. Bisa disebut PDI Perjuangan (Megawati Soekarnoputri), Partai Demokrat (Susilo Bambang Yudhoyono), Partai Gerindra (Prabowo Subianto), dan banyak lagi. Ibarat titah sang raja diraja, keputusan penting dan strategis dilakukan sendirian. Keterlibatan ‘dewan pimpinan’ sering diabaikan, sehingga maklum saja jika kemudian mengakumulasi ketidakpuasan yang berdampak menguatnya faksionalisme bahkan mengembang-biakkan parpol sempalan.
Selain kegagalan mewujudkan civic education membangun kesadaran politik, juga menunjuk pola pengambilan keputusan. Bagi top figure partai, ukuran keberhasilan kader disimplifikasi berupa unjuk loyalitas total kepada dirinya. Ihwal managerial skill mengelola ‘dewan pimpinan’, apalagi kecemerlangan pemikiran ideologis, menjadi tema yang makin terpinggir. Parpol yang menyepelekan peran shadow government, harap maklum jika diragukan ketika benar-benar meraih mandat berkuasa.
Berdasar hasil Pemilu 1999, sejatinya PDI Perjuangan paling diharapkan memelopori lokomotif kinerja partai modern. Tetapi yang dilakonkan justru skenario terbalik, akibatnya cita-cita dan harapan terasa sekadar angan-angan yang jauh di awang-awang. Jangankan memberi keteladanan, justru kader-kader terbaik secara berangsur-angsur pasti meninggalkan partai banteng moncong putih itu.

                                                                                          —————— *** ——————

Rate this article!
Tags: