Partisipasi Politik dan Agenda Pemilu Berintegritas

Wahyu Kuncoro SN(Catatan Akhir Pemilihan Wali Kota Surabaya)

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Surabaya akhirnya menetapkan Tri Rismaharini-Whisnu Sakti Buana sebagai Wali Kota dan Wakil Wali Kota Surabaya terpilih periode 2015-2020. Penetapan itu dilakukan pada rapat pleno terbuka penetapan pasangan terpilih hasil pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Surabaya Selasa (22/12) kemarin.
Proses selanjutnya adalah menyerahkan surat penetapan itu kepada kedua pasangan calon dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Surabaya agar acara pelantikan Risma-Whisnu dijadwalkan. DPRD Kota Surabaya akan berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri untuk mengusulkan jadwal pelantikannya melalui Gubernur Jawa Timur. Meski dimungkinkan ada perubahan kalau ada gugatan di MK, namun rasanya kecil kemungkinan akan terjadi sengketa mengingat perbedaat suara dengan calon lainnya yang sangat jauh.
Dilema Partisipasi Politik
Kemenangan pasangan Risma dan Wisnu sesungguhnya sudah diprediksi sebelumnya bahkan jauh hari sebelum Pemilukada dilangsungkan. Kemenangan pasangan ini nyaris tidak ada yang meragukannya. Bahkan tanpa kampanye sekalipun pasangan ini diramalkan akan menang dengan telak. Selain integritas dan prestasi selama memimpin Surabaya, Risma juga dikenal sebagai sosok pekerja keras dan jauh dari persoalan dan jeratan hukum apalagi korupsi sebagaimana kepala daerah lainnya. Namun demikian, bukan berarti dari Pemilukada di Surabaya ini bebas dari pekerjaan rumah, salah satunya adalah minimnya partisipasi masyarakat dalam Pemilukada.
Di kota ini Tri Rismaharini melejit dengan mencapai keunggulan suara sekitar 86,34 persen, namun jumlah pemilihnya cuma 50,48 persen. Angka partisipasi politik di Surabaya sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan di Banyuwangi. Calon petahana Abdullah Azwar Anas menang 86,34 dengan jumlah pemilih sekitar 59,47. Begitu juga Blitar jumlah pemilihnya sekitar 57 persen. Catatan tiga kota ini tidak jauh berbeda dengan daerah lain jika dilihat dari penurunan jumlah masyarakat yang menggunakan hak pilih (Nurudin, 2015)
Rendahnya partisipasi pemilih sudah diprediksi oleh sejumlah kalangan. Salah satu penyebabnya adalah sepinya masa-masa kampanye. Banyak faktor yang bisa menjadi penyebabnya, misalnya keberadaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang begitu dominan dalam setiap tahapan Pemilukada. Kalau sebelumnya alat peraga kampanye (APK) menjadi pestanya masyarakat kini semua ditangani KPU. Dengan adanya aturan itu, partisipasi masyarakat ikut menurun. Masyarakat yang biasanya menerima “order” pemasangan baliho, menempelkan APK kini duduk manis menjadi penonton saja.
Sesungguhnya, hemat saya, sejumlah peraturan KPU tersebut bertujuan baik. Paslon dan tim sukses harapannya agar bisa memberikan pendidikan politik cerdas kepada masyarakat dengan dialog-dialog, diskusi-diskusi tentang visi dan misi serta porgram oleh si paslon. Tujuan tersebut rupanya sama sekali tidak mengenai sasaran karena masyarakat belum terbiasa ditambah pula minimnya tingkat kepercayaan mereka kepada paslon yang akan berlaga itu.
Di Jepang, misalnya, sistim kampanye kepala daerahnya begitu mandiri. Sistim Pilkada dan pemilunya tidak menggunakan APK dan kampanye terbuka berlebihan. Para calon melakukan kampanye dengan sebuah mobil minivan, lalu di mana orang banyak dia ber-orasi politik pakai pengeras suara mengabarkan visi misi yang akan dia bawa jika terpilih. Kadang hal itu dia lakukan sendiri saja. Jika pidatonya menarik, didengarkan, jika tidak, ditinggalkan. Mereka dianggap memekakkan telinga saja oleh warga yang hengkang dari tempat itu.
Di Jepang yang haram money politics, tingkat partisipasinya sangat tinggi. Para manula berusia seabad kadang ikut pula antri di TPS menggunakan hak pilihnya. Pemimpin di sana memiliki legitimasi hukum dan legitimasi publik tinggi yang pada akhirnya membuat itu si pemimpin sadar dengan sendirinya. Dia benar-benar bekerja banting tulang demi suara rakyatnya. Siang malam dia memikirkan bagaimana mensejahterakan warga yang dia pimpin. Di tempat kita, demokrasi masih sedang mencari jati dirinya. Sedang menuju bentuk idealnya. Berbagai peraturan, regulasi terus dibuat untuk memperteguh sebuah sistem pemilihan umum sebagaimana Pilkada serentak Indonesia. Setiap peraturan yang dibuat memang selalu ada saja pihak yang dirugikan termasuk peran media pers sebagai lembaga ekonomi.
Agenda Pemilu Berintegritas
Uang masih menjadi daya tarik untuk meraup suara pendukung. Ini memang tak bisa dihindari. Partai politik saja masih meminta mahar tinggi dari para calon pimpinan daerah yang hendak bertarung di pilkada. Jadi, yang namanya pilkada bebas permainan uang itu masih bisa dibilang mustahil. Inilah persoalan yang paling krusial. Padahal, pada hakikatnya pilkada yang baik adalah terpilihnya pemimpin yang berintegritas. Kecuali orang-orang yang sudah sangat dikenal intergritasnya, seperti Tri Rismaharini (calon terpilih wali kota Surabaya) dan Abdullah Azwar Anas (bupati Banyuwangi terpilih), sebagian besar petahana yang kembali memimpin adalah orang-orang yang diragukan integritasnya.
Tidak sedikit calon kepala daerah yang terpilih adalah mereka yang sudah mengusung masalah. Ada calon terpilih dengan latar belakang eks narapidana. Ada juga calon yang berstatus eks narapidana kasus korupsi. Bisa dipastikan bahwa Pilkada 2015 tidak banyak melahirkan pemimpin daerah yang kapabel, punya kompetensi tinggi, dan reputasi yang teruji. Padahal, esensi pilkada adalah terpilihnya pemimpin daerah yang berkualitas untuk dapat membawa perubahan bagi daerahnya. Pilkada berkualitas sejatinya harus bisa menghasilkan gubernur, bupati, dan wali kota, yang memiliki kredibilitas, integritas, dan kemampuan mendorong pembangunan.
Jika pilkada berhasil digelar tapi gagal dalam memunculkan kepala daerah yang memilki kapasitas dalam mengelola pemerintahan ke arah perubahan yang lebih baik, maka kita jangan berharap banyak terhadap kemajuan masyarakat dan daerahnya. Oleh sebab itu, sudah saatnya ada pembelajaran politik bagi masyarakat agar bisa secara cerdas mendorong terjadinya proses seleksi calon kepala daerah yang mengedepankan aspek kemampuan dan memiliki keberpihakan untuk memajukan masyarakat dan daerahnya.
Selama ini, kita hanya menggelar pilkada untuk memenuhi prosedur demokrasi, tetapi kita gagal menggelar pilkada yang betul-betul menghasilkan pemimpin berkarakter dan berkualitas. Ini adalah gambaran kegagalan politik untuk melakukan seleksi terhadap pemimpin yang dibutuhkan guna mendorong perbaikan dan perubahan. Sebagai dampaknya, daerah dan Indonesia seluruhnya terengah-engah menggapai kemajuan. Itulah tantangan yang harus menjadi pekerjaan rumah untuk penyelenggaraan pilkada serentak berkualitas ke depan. Ada tiga aktor kunci yang berperan serta memiliki tanggung jawab besar untuk melahirkan pemimpin daerah yang berkualitas, yaitu partai politik, penyelenggara pilkada, dan masyarakat.
Partai politik harus bisa menjadi kawah candradimuka untuk melahirkan calon-calon pemimpin daerah berkualitas dan berintegritas. Penyelenggara pilkada harus belajar banyak untuk menjadi lebih profesial, jujur, adil, dan bertanggung jawab terhadap tugas yang diembannya. Sementara itu, masyarakat harus lebih cerdas dan berani mendorong terjadinya proses seleksi calon kepala daerah yang mengedepankan aspek kemampuan. Calon pempimpin yang hanya mengandalkan kekuatan uang harus ditolak mentah-mentah.
Wallahu’alam Bhis-shawwab

                                                                                                          ——— *** ———-

Tags: