Partisipasi Politik, Pekerjaan Rumah Utama KPU

Oleh :
Rangga Bisma Aditya
Penulis adalah alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Ketua Korda GMNI Jawa Timur 2011-2013

Penyelenggaraan Pemilihan Umum Serentak 2019 tinggal menunggu hitungan hari. Dari segi penyelenggaraan, pemilu nasional yang ke-12 di Indonesia ini bisa dikatakan merupakan pemilihan umum terumit sepanjang sejarah sejak pertama kali digelar pada tahun 1955. Selain karena dilakukan secara serentak antara pemilihan anggota legislatif DPR, DPD, dan DPRD, pemilu kali ini juga menyertakan pemilihan Presiden di dalamnya. Alhasil, para pemilih akan disuguhkan 5 buah surat suara berbeda ukuran dan warna.
Dalam hal ukuran surat suara terdapat beberapa macam yang terdiri dari ukuran 51×82 cm untuk pemilihan anggota DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota; 9 kategori ukuran berbeda untuk 34 Dapil pemilihan anggota DPD RI; serta 22x31cm untuk pemilihan Presiden. Sementara untuk perbedaan warna terdapat beberapa warna yang terdiri dari warna Kuning untuk DPR RI, merah untuk DPD RI, biru untuk DPRD Provinsi, merah untuk DPRD Kabupaten/Kota, serta abu-abu untuk Presiden/Wakil Presiden.
Kerumitan inilah yang nantinya akan diprediksi menjadi salah satu kendala dari penyelenggara pemilu untuk meningkatkan angka partisipasi politik. Untuk itulah peran penyelenggara hari ini dituntut bekerja keras dalam mengoptimalkan langkah sosialisasi, mengingat angka partisipasi politik masyarakat tersebut juga akan menghasilkan kualitas kepemimpinan dan keterwakilan masyarakat dalam berjalannya pemerintahan baik dari pusat hingga daerah.
Kekhawatiran tersebut bukan tanpa alasan, jika melihat angka partisipasi pemilih di tiap penyelenggaraan pemilu yang mengalami fluktuasi yang signifikan. Menurut data penyelenggaraan pemilu nasional 1955-2014, angka partisipasi politik mengalami kecenderungan menurun sejak pemilu pertama digelar pada tahun 1955. Kecenderungan tersebut dapat mengakibatkan pengaruh negatif bagi stabilitas pemerintahan dalam menentukan sebuah kebijakan.
Secara urut angka partisipasi politik pada pemilu 1955 mencapai prosentase 91,4 persen; pemilu 1971 (96,6 persen); pemilu 1977 (96,5 persen); pemilu 1982 (96,5 persen); pemilu 1987 (96,4 persen); pemilu 1992 (95,1 persen); dan pemilu 1997 (93,6 persen). Terlebih pasca reformasi 1998, partisipasi politik cenderung mengalami penurunan hingga ke level terendah 70,1 persen pada pemilu legislatif tahun 2009, meski pada awal reformasi, pemilu 1999 sempat menginjak angka partisipasi politik 92,7 pesen.
Signifikansi antara partisipasi pemilih dengan stabilitas pemerintahan dapat ditunjukkan pada pemilu 2014. Dimana saat pemilu legislatif 2014 digelar, memang terjadi peningkatan angka partisipasi pemilih sebesar 75,11 persen dari tahun sebelumnya. Namun saat berlanjut dalam pemilihan presiden 2014, angka partisipasi politik menurun hingga 70,99 persen. Alhasil dinamika politik antara legislatif dan eksekutif sempat meruncing karena masing-masing ingin menunjukkan kekuasaan politiknya saat awal pemerintahan 2014-2019 berjalan.
Berpijak dari data tersebut, penyelenggara pemilu harus pro aktif bergerak dengan memperhatikan 4 faktor yang mempengaruhi angka partisipasi politik. Pertama adalah faktor libur nasional. Dalam hasil release CSIS (28/3), sekitar 7 persen pemilih atau sekitar 13 juta orang yang terdaftar di DCT berpeluang untuk memanfaatkan tanggal merah untuk berlibur. Artinya KPU secara hierarkis, melalui panitia pemungutan suara (PPS) di tingkat RT dan RW serta Relawan Demokrasi (Relasi) yang telah terbentuk, diharapkan mampu lebih gencar secara door to door mengajak pemilih untuk datang ke TPS.
Faktor kedua adalah munculnya disrupsi informasi pemilu akibat panjangnya masa kampanye. Seperti yang telah kita ketahui, KPU telah menetapkan masa kampanye pemilu selama lima bulan sejak 23 September 2018 hingga 13 April 2019. Alih-alih memberikan peluang bagi pemilih untuk mengenal calon wakil dan pemimpinnya. Panjangnya masa kampanye justru dihiasi dengan persoalan disrupsi informasi yang diakibatkan oleh maraknya hoax, ujaran kebencian, kampanye hitam, dan politik uang.,
Alhasil panjangnya masa kampanye tersebut mengakibatkan munculnya titik jenuh para pemilih yang terdaftar di DCT, hingga memunculkan asumsi negatif terhadap lahirnya pemerintahan yang dicita-citakan pasca 2019. Dalam waktu tersisa, KPU harus mampu meyakinkan para pemilih dengan memunculkan visi misi calon wakil rakyat dan presiden melalui seluruh akses media baik online, cetak hingga elektronik hingga mampu merubah pesimisme tersebut menjadi optimisme.
Faktor ketiga adalah profesionalisme penyelenggara pemilu. Menurut data DKPP (5/3), sejak tahun 2012 hingga 2019. Terdapat 3.274 pengaduan pelanggaran kode etik, dimana 1.271 perkara yang telah melibatkan 4.892 orang telah disidangkan. Dari jumlah perkara tersebut, 48,6 persen penyelenggara pemilu telah diberi sanksi. Selama 2018 saja, DKPP telah memberikan sanksi tertulis kepada 348 orang, pemberhentian dari keanggotaan KPU sebanyak 79 orang, dan 15 lainnya diberhentikan dari jabatan ketua. Meskipun pada akhirnya sebanyak 335 orang direhabilitasi karena aduan tidak terbukti.
Di waktu penyelenggaraan yang tersisa, sudah seharusnya penyelenggara pemilu meningkatkan profesionalitasnya. Ketegasan penyelenggara pemilu dalam menegakkan regulasi, harus menjadi prioritas utama, agar kepercayaan publik dan partisipasi politik dalam pemilu 2019 meningkat.
Faktor terakhir atau keempat adalah apatisme pemilih terhadap pemilu 2019. Menurut Fritz Solmitz, jurnalis asal Jerman, apatisme yang muncul dalam politik memiliki kecenderungan untuk membentuk komunitas. Dimana apatisme dalam pemilu 2019 terbentuk karena kekecewaan, urusan teknis, dan idealitas para pemilih. Dalam hal ini KPU harus berhati-hati dalam mengeluarkan statemen untuk merangkul pemilih apatis. Diperlukan kesabaran untuk merangkul dan menarik simpati, bukan justru memusuhi dengan nada minor yang cenderung menyudutkan.
Adalah pekerjaan rumah utama KPU untuk meningkatkan partisipasi politik pada pemilu 2019. Belajar dari pesta demokrasi Amerika Serikat tahun 2016 yang menghasilkan angka partisipasi politik rendah, dimana pemilu amerika saat itu hanya dihadiri oleh 55,3 persen pemilih, berdampak terhadap gejolak konflik sosial berkepanjangan. Apa yang terjadi di Amerika, tidak menutup kemungkinan dapat dialami oleh Indonesia, dimana delegitimasi dan meruncingnya dinamika politik negatif masih menjadi masalah utama pasca Pemilu 2019. Dengan harapan bahwa profesionalitas, kreatifitas, kekompakan, hingga kerendahan hati yang menjadi arus utama pendekatan, tugas KPU dalam meningkatkan partisipasi politik pada pemilu 2019 akan terlampaui. Selamat bertugas!

—————— *** ——————–

Tags: