Pasien Betah Tinggal di RS Kusta, Sayang Hanya Miliki Satu Dokter Spesialis

2-LKTWSurabaya, Bhirawa
Dengan susah payah, pria paruh baya itu terlihat menikmati makan siangnya. Menggunakan alat bantu sederhana di tangan, lelaki asal Jenu, Tuban ini mengunyah sendok demi sendok nasi dan lauk pauk yang dihidangkan. Meski susah payah, dia tetap merasa bersyukur dibalik semua keterbatasannya.
Zaini, nama lelaki yang sedari tadi sedang makan siang disalah satu ruangan milik Rumah Sakit (RS) Kusta Kediri. Dia adalah satu dari puluhan pasien kusta yang kini sedang dirawat intensif di rumah sakit milik Pemprov Jatim ini.
Lajang berusia 44 tahun itu saat makan harus menggunakan alat bantu yang dibuatkan secara khusus RS Kusta, karena jari jemarinya sudah tidak berfungsi dengan baik akibat terserang penyakit kusta. Alat bantu sederhana tersebut terbuat dari kalep yang dipasang dipunggung tangan, sedangkan sendok dan garpu dipasang di kalep yang sudah dibuatkan tempat khusus.
“Saya ucapkan terima kasih kepada Rumah Sakit Kusta yang telah merawat dan mengobati saya. Kini penyakit yang saya derita mulai berangsur-angsur sembuh dan badan terasak lebih enak. Saya pasrah kalau harus cacat serumur hidup dan menggunakan alat bantu makan dan saat berjalan. Karena saya terlambat berobat,” katanya.
Zaini mengaku, menderita penyakit kusta sejak usai dikhitan sekitar usia 7 tahun. Selama menderita itulah dia sering diasingkan keluarganya dan tidak mendapat perawatan dengan baik. Bahkan, keluarganya di Jenu, tega mengasingkan dirinya dengan membuatkan gubuk yang letaknya cukup jauh dari rumah keluarga.
Pasien yang telah mendapatkan rawat inap selama satu minggu ini harus ikhlas mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi ini, karena kedua orang tuanya sudah meninggal dunia. Untuk itu, ia mengaku sangat betah dirawat di RS Kusta, karena mendapatkan perhatian dan perawatan yang baik.
Hal yang sama juga dialami pasien lainnya bernama Paidi. Lelaki asal Kediri ini juga tidak mendapatkan perhatian dari keluarga dan dikucilkan. Selama dirawat di rumah sakit tidak ada keluarga yang menjenguk atau sekedar mengetahui kondisi terkini yang dialaminya.
Sama seperti Zaini, Paidi juga diasingkan keluarganya dengan membuatkan gubuk yang jauh dari pemukiman. Dengan perlakuan itu, Paidi lebih memilih senang dirawat di RS Kusta. “Kalau bisa sampai mati saya tinggal disini,” ungkap lelaki yang pandai bermain musik tradisional Jawa slentem ini.
Menurut Kepala UPT RS Kusta Kediri, dr Nur Siti Maimunah MSi, mayoritas pasien penderita penyakit kusta memang tidak mendapatkan perhatian layak dari keluarganya. Penyebabnya, penyakit ini dianggap kutukan, menular dan merusak citra keluarga.
Untuk itu, Maimunah bersama seluruh jajaran RS Kusta Kediri selalu berkomitmen untuk melayani pasien kusta dengan moto ‘Melayani Dengan Sepenuh Hati’. Komitmen itu selalu digelorakan karena jangan sampai pasien yang menderita kusta mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi dari keluarga hingga rumah sakit.
Sebelumnya perlu diketahui, dari informasi yang berhasil dihimpun dari www.wikipedia.org, penyakit kusta atau lepra adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang disebabkan bakteri mycobacterium leprae. Bakteri ini ditemukan oleh seorang ilmuwan Norwegia bernama Gerhard Henrik Armauer Hansen pada 1873.
Kusta merupakan tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak cepat ditangani, kusta dapat sangat progresif menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak dan mata.
Dari tahun ke tahun, jumlah penderita kusta yang dirawat di RS Kusta Kediri menunjukkan tren penurunan meski pada 2012 lalu mengalami kenaikan yang sangat signifikan. Pada 2010, jumlah penderita kusta mencapai 2.281 orang, 2011 sebanyak 3.218 orang dan 2012 mencapai 3.555 orang. Namun pada 2013 mengalami penurunan yang cukup tinggi yakni hanya 1.914 orang. Sementara pada semester pertama 2014 jumlah pasien kusta yang dirawat hanya 335 orang saja.
Sedangkan di Jatim, jumlah penderita mencapai 7.400 orang yang tersebar paling banyak di daerah pesisir mulai Tuban, Lamongan, Gresik dan seluruh kabupaten di Madura. Meski jumlah penderita kusta cukup banyak, Pemprov Jatim menarget Jatim bebas kusta pada 2017 mendatang.
“Penyakit ini memang menular, tapi menularnya tidak mudah seperti virus lainnya. Namun cap negatif sudah terbentuk di masyarakat yang menganggap penyakit ini kutukan. Makanya kita selalu turun lapangan jemput bola menangani pasien kusta. Banyak pula pasien yang sembunyi-sembunyi saat berobat karena malu,” ungkapnya.
Di RS yang luasnya mencapai 7.000 meter persegi ini mempunyai fasilitas yang cukup memadai. Seperti memiliki ruang fisioterapi, ruang psikologi, ruang ortotik, ruang prostetik, ruang bengkel prothesa, ruang okupasi dan ruang rehab medik.
Namun sayangnya, di RS yang mulai beroperasi sejak 1958 silam ini ternyata tidak memiliki dokter spesialis yang khusus mengobati penderita kusta. Seperti dokter spesialis kulit, dokter spesialis anesthesia atau dokter spesialis syaraf. Semua dokter spesialis yang bertugas berhenti ditengah jalan dengan berbagai alasan.
Untuk mengatasi masalah tersebut, sebenarnya Maimunah sudah memberikan iming-iming dijadikan PNS formasi khusus kepada para dokter spesialis swasta. Namun rayuan tersebut tak memikat hati para dokter spesialis untuk mau mengabdikan diri di RS Kusta Kediri.
“Kita sudah beberapa kali minta ke Dinkes (Dinas Kesehatan) Jatim untuk memenuhi kebutuhan dokter spesialis, tapi belum ada realisasi. Sekarang kami hanya punya lima dokter umum dan satu dokter spesialis, tapi spesialis mata. Itupun karena dokternya tinggal di Kediri,” jelasnya.
Jika ada pasien yang harus dioperasi, rumah sakit yang rencananya akan diubah namanya menjadi RS Infeksi ini mendatangkan dokter dari RSUD Dr Soetomo pada hari Sabtu, Minggu atau hari libur. “Makanya kita lakukan kerjasama dengan UB (Universitas Brawijaya) agar ada dokter muda yang mau mengabdikan diri disini,” katanya.
Permasalahan tak hanya berhenti disitu, terkait pembayaran juga menjadi masalah tersendiri di RS yang menghasilkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) Rp3 miliar. Mayoritas pasien yang dirawat di RS tersebut menggunakan Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah) dan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan) Kesehatan untuk biaya pengobatan.
Penanggung Jawab Klaim RS Kusta Kediri, Retno Nurhayati menjelaskan, untuk pembayaran BPJS Kesehatan tidak ada masalah. Yang menjadi masalah adalah pembayaran menggunakan Jamkesda yang metode pembayarannya sharing antara kabupaten/kota dengan Pemprov Jatim.
“Tunggakan pembayaran dari Jamkesda pada 2014 hingga 31 Juli saja mencapai Rp166 juta. Sebanyak 18 kabupaten/kota belum membayar tunggakan tersebut. Kalau pembayaran dari Pemprov Jatim selalu lancar dan tidak ada tunggakan,” ungkap Retno.
Tunggakan paling banyak dari Kabupaten Nganjuk yang mencapai Rp45 juta, Kabupaten Kediri Rp42 juta dan Kabupaten Jombang 23 juta. Sementara yang paling kecil namun tetap belum dibayar adalah Kabupaten Bojonegoro Rp78 ribu, Kabupaten Blitar Rp588 ribu dan Kabupaten Ngawi Rp687 ribu.
Tak hanya 2014 saja yang belum dibayar, pada 2013 dan 2012 pun ada tunggakan belum dibayar. Untuk 2013 sebanyak 23 daerah yang belum membayar dengan jumlah tunggakan sebanyak Rp71 juta. Sedangkan pada 2012 ada lima kabupaten/kota yang masih nunggak yaitu, Kabupaten Blitar hanya Rp72 ribu, Kabupaten Jombang Rp1,9 juta, Kota Kediri Rp3,5 juta, Kota Madiun Rp1,1 juta dan Kota Blitar Rp911 ribu.
“Kita sudah terus berusaha menagihnya melalui BPJKD (Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan Daerah) Jatim. Namun kabupaten/kota ini banyak alasannya seperti belum dianggarkan atau belum ada anggarannya,” tandasnya. [iib]

Keterangan Foto : Salah seorang penderita kusta, Zaini, sedang menikmati makan siangnya dengan menggunakan alat bantu sederhana yang dibuat secara khusus RS Kusta Kediri. [iib/bhirawa]

Tags: