Paslon Tarsangka Tipikor

karikatur ilustrasi

Semakin banyak paslon (pasangan calon) pilkada serentak tahun 2018, menjadi tersangka tindak pidana korupsi. Terutama paslon incumbent, rawan terjerat OTT (operasi tangkap tangan) KPK. Namun status tersangka, tidak menghapus hak mengikuti pilkada. Bahkan bisa menang, walau harus dilantik di dalam rumah tahanan. Diduga kuat, paslon tersangka tipikor melakukan pungutan kepada staf OPD. Ironisnya, hasil pungutan digunakan sebagai “mahar” kepada berbagai pihak.
“Mahar” terbesar, konon dibayarkan untuk memperoleh rekom sebagai bakal paslon pilkada. Ini menjadi pen-cermatan ekstra penegak hukum anti suap. Berdasar bisik-bisik, hampir seluruh bakal paslon (pasangan calon) wajib menyetor “mahar.” Bahkan terdapat rumusan kalkulasi nominal yang ditentukan parpol. Sebagai bagian dari politik uang (yang terlarang), “mahar” bukan hanya diberikan kepada pimpinan parpol. Melainkan juga ditunaikan oleh paslon untuk “membeli” suara rakyat. Padahal regulasi telah memberi sinyal larangan, sebagai garansi pilkada yang jujur. UU Pilkada pada pasal 47 ayat (1), menyatakan, “Partai Politik atau gabungan Partai Politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.” Tetapi nyaris tiada rekom gratis yang diberikan kepada bakal paslon.
Setidaknya telah terdapat 8 paslon pilkada serentak 2018, menjadi “pasien” KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Termasuk dua paslon dalam pilgub (pemilihan gubernur). Padahal undang-undang (UU) Nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada, nyata-nyata melarang, disertai ancaman hukuman berat. Namun, realisasi ancaman harus dibuktikan melalui persidangan. Proses persidangan yang memerlukan waktu cukup lama.
Eksekusi hukuman, wajib menunggu sampai putusan pengadilan bersifat tetap, biasanya lebih dari 6 bulan. Itu menjadi celah psikologis pilkada. Namun harus diakui, tidak mudah membuktikan “mahar” maupun modus money politics lain. Beberapa testimoni (luas) tentang “mahar” dalam rekom pilkada, sebenarnya tidak mengagetkan. Tetapi tidak ada yang berani mengungkap. Sebab, yang memberi maupun penerima “mahar” dapat dianggap melakukan imbal suap.
Namun berdasar testimonies yang telah tersebar (disiarkan berbagai televise swasta) “mahar” nyaris lazim. Setidaknya terdapat bukti, manakala “mahar” tidak disepakati, niscaya tidak diberikan rekom parpol. Tetapi penegak hokum, tidak dapat menjerat pelaku berdasar asumsi. Melainkan bukti (fakta) yang cukup. Hukumannya, bukan sekadar UU Pilkada pasal 47 ayat (6), yakni sebesar 10 kali lipat dari suap yang diterima. Melainkan juga dijerat dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pilkada serentak sebelumnya, KPK maupun Saber Pungli, belum pernah melakukan operasi tangkap tangan (OTT). Sehingga “mahar” semakin menjadi kelaziman rekrutmen politik bakal calon kepala daerah. Padahal sebenarnya telah terjadi sejak akhir dekade 1980-an. Dulu, bisa diangsur setelah memulai jabatan sebagai kepala daerah. Antaralain berupa proyek pembangunan infrastruktur di daerah.
Sering pula, “mahar” di-kreasi dengan berbagai modus. Antaralain pelaksanaan konvensi yang melibatkan aparat parpol tingkat bawah. Tetapi konvensi, bukan sekadar adu program men-sejahterakan rakyat. Melainkan juga adu nominal uang saku yang diberikan kepada peserta konvensi. Setelah memenangkan konvensi, bakal paslon masih harus memberikan uang “mahar” proses rekomendasi berjenjang kepengurusan parpol.
Sebelumnya, kapolri telah sepakat akan memproses paslon pilkada yang terjerat tipikor. Andai polisi beekrja lebih keras, tersangka suap akan semakin berenteng panjang pada masa kampanye. Ini akan menjadi tren, pemenang pilkada bakal dilantik di dalam rumah tahanan. Agaknya, UU Pilkada masih memerlukan perbaikan sistemik, membebaskan demokrasi dari penyusupan cukong politik. Masyarakat, seyogianya tidak memilih paslon tersangka korupsi.

————- 000 —————

Rate this article!
Paslon Tarsangka Tipikor,5 / 5 ( 1votes )
Tags: