Paslon Terpilih Memimpin Semua Golongan

(Membangun Ke-guyub-an Sosial Pasca-Pilkada) 

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior, Penggiat Dakwah Sosial Politik 

Plong, setelah usai pelaksanaan coblosan pilkada (pemilihan kepala daerah) serentak 2018. Tetapi niscaya masih terdapat trauma sosial akibat perbedaan pilihan (dan dukungan) terhadap pasangan calon (paslon). Walau seyogianya, penyelenggaraan pilkada, direspons sebagai kelaziman demokrasi yang (bakal) rutin terjadi. Setiap lima tahun, pasti akan terjadi pemilihan gubernur, pemilihan bupati dan pemilihan walikota. Juga pemilihan presiden.
Ke-renggang-an sosial dampak pilkada, memang mudah tersulut. Disebabkan banyak tokoh masyarakat terlibat aktif menjadi tim sukses paslon. Tak terkecuali tokoh masyarakat ber-altar agama. Banyak fatwa, banyak saran, dan banyak analisis keagamaan “di-nisbat-kan” untuk paslon yang didukung tokoh agama dan tokoh adat. Banyak ayat-ayat suci (dan hadits Nabi SAW) ditafsirkan untuk mendukung “paslon unggulan.” Juga petuah adat ditujukan untuk mendukung “paslon idola” yang ditentukan oleh tokoh adat.
Paslon spesial, maupun idola, pada tataran moderen, dikenal sebagai upaya branding (pencitraan). Di seluruh dunia, branding terhadap kontestan pemilu merupakan tren yang wajar. Pada negara yang menganut asas demokrasi (melalui pemilihan umum), branding menjadi cara paling strategis meningkatkan elektabilitas. Di Amerika Serikat (AS), di India, sampai di Australia, branding menempatan urutan teratas dalam hal pembiayaan oleh kontestan.
Ongkos pencitraan bisa mencapai 75% anggaran yang dikeluarkan oleh kontestan pemilu (melalui tim sukses). Branding (pencitraan), lazimnya melalui sebaran alat peraga kampanye, dan safari politik ke berbagai kawasan. Berbagai media kampanye digunakan tim sukses memperkenalkan paslon. Terutama melalui media cetak, media elektronik, sampai penerbitan media sosial (medsos). Niscaya menggerus biaya sanghat besar.
Pilkada serentak terdahulu (sebelum tahun 2015), “perang branding” menjadi upaya sistemik tim sukses paslon. Ribuan spanduk, umbul-umbul poster, sampai per-iklan-an media masa, ditebar me-meriah-kan pilkada. Seluruhnya bertujuan membangun citra identitas kontestan sebagai “paslon unggulan” maupun “calon idola.” Aneka branding menjadi ajang persaingan paling sengit antar-paslon unit paling rawan pelanggaran peraturan perundang-undangan pemilu.
Sudah banyak kritisi terhadap “perang branding.” Sehingga perlu pengaturan melalui perundang-undangan. Pada masa kini, seluruh alat peraga kampanye difasilitasi oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum). Begitu pula acara safari politik, wajib disesuaikan dengan jadwal yang disusun KPU. Namun berbagai peraturan perundang-undangan, terasa “kebobolan” pada saat penyelenggaraan pilkada DKI Jakarta (tahun 2017).
Kritisi Pilkada
Pembatasan metode branding melalui alat peraga kampanye dan iklan media masa, tim sukses memanfaatkan media sosial sebagai ujung tombak pencitraan. Harus diakui, pilkada (pemilihan gubernur) DKI Jakarta sekaligus menandai awal maraknya hoax (berita bohong), dan fitnah pada media sosial. Kampanye hitam seolah menjadi “bumbu wajib” pilkada. Berjuta-juta pernyataan penistaan dan berita bohong (hoax) bertebaran di medsos.
Ribuan akun baru dibuat dalam facebook, WhatsApp, twitter, instagram, SHAREit, dan sejenisnya. Medsos menjadi andalan kampanye narsis. Juga digunakan untuk menghantam lawan politik. Bagai “perang” terbuka tanpa batas. Berbagai penyiaran berbasis teknologi informasi dan komunikasi, telah dimanfaatkan untuk propaganda. Sekaligus menista lawan politik. Tanpa batas kebebasan menyatakan pendapat, nyata-nyata telah menyebabkan kegaduhan sosial.
Riuh kampanye hitam di medsos, niscaya bisa mengancam persatuan dan ketahanan nasional. Padahal terdapat UU Nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada, yang melarang kampanye hitam. UU Pilkada pada pasal 69 (larangan kampanye), huruf c, menyatakan larangan: “melakukan Kampanye berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba Partai Politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat.” Tetapi elit parpol seolah-olah abai terhadap larangan kampanye hitam, termasuk melalui medsos.
Secara lex specialist, juga terdapat UU 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pada pasal 28 ayat (2), dinyatakan larangan: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).”
Ke-riuh-an medsos pada pilkada Jakarta, nyata-nyata berpotensi menimbulkan perpecahan sosial. Ini menjadi pengalaman, agar pilkada di daerah lain mestilah dihindarkan dari potensi perpecahan. UU Pilkada Nomor 8 tahun 2015 wajib ditegakkan. Seyogianya, urusan pilkada, seharusnya “selesai” di tingkat daerah. Tanpa melibatkan pejabat vertikal maupun “teman” dari daerah lain. Serta tidak melibatkan aparat negara (TNI, Polri, dan Aparatur Sipil Negara).
Pada pilkada serentak 2018 (saat ini), diduga terdapat gerakan kelompok aparatur negara secara BKO (Bawah Kendali Operasi), melalui prakarsa individual. BKO aparatur negara, akan menjadi catatan kelam pilkada. Nyata-nyata menyimpangi berbagai peraturan perundang-undangan. Diantaranya “menabrak” UU Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian, serta UU Aparatur Sipil Negara (ASN).
“Pendinginan” Sosial
Selain BKO (secara intelijen), terdapat pula “BKO ujaran” yang dinyatakan pejabat tinggi pemerintahan. Diantaranya, menampik dukungan sistemik terhadap salahsatu paslon pilkada. Tetapi sekaligus mengakui kedekatan secara pribadi terhadap paslon lain pada daerah yang sama. Ironisnya, “BKO ujaran” dinyatakan pada H-1 coblosan pilkada.
Agaknya, masih diperlukan revisi (keempat) terhadap UU Pilkada. Terutama peraturan pemanfaatan media sosial. Serta peraturan tentang keterlibatan pejabat tinggi yang “turun gunung” menyokong salahsatu paslon. Begitu pula gagasan baru yang mengatur penggunaan kearifan lokal (berupa seni budaya). Karena biasanya seni budaya lokal berisi pesan moral, dan hiburan relaksasi. Sehingga kesenian daerah bisa dimanfaatkan sebagai “pen-dingin-an” suasana kebatinan sosial.
“Pendinginan” suasana kebatinan sangat diperlukan setelah coblosan pilkada. Berbagai perbedaan pandangan (dan dukungan) terhadap paslon, tak jarang, menyasar keyakinan (keagamaan) dan paradigma moralitas kehidupan. Perbedaan pandangan, disebabkan pernyataan tokoh masyarakat yang terlibat dukung mendukung paslon. Tak jarang, pernyataan tokoh masyarakat disebar-luaskan melalui media sosial, serta pemberitaan media masa (cetak, elektronik, dan online).
Selama sekitar dua bulan, masyarakat dipecah-pecah sesuai dukungan politik paslon pilkada. Usai coblosan, semestinya tokoh masyarakat juga memikul tanggungjawab meng-guyub-kan kembali masyarakat yang terpecah pilihan pilkada. Mempersatukan kembali masyarakat bisa melalui kegiatan bersama lintas pilihan paslon. Misalnya, istighotsah (doa bersama) di kampung-kampung, dipimpin ulama dari berbagai pendukung paslon. Juga bisa menggelar kesenian (budaya) bersama.
Tokoh masyarakat tidak perlu terlibat hura-hura kemenangan paslon yang unggul dalam pilkada. Karena masyarakat yang tidak se-pilihan akan merasa terluka makin mendalam. Maka doa bersama, dan berkesenian bersama, dapat menjadi sarana perekatan sosial. Diperlukan kerja santun tokoh masyarakat (terutama tokoh agama dan tokoh adat) merakit ke-guyub-an sosial.
Toh, paslon yang memenangi pilkada, juga memiliki kewajiban merangkul seluruh masyarakat di daerahnya, tanpa pembedaan pilihan saat pilkada. Setiap Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, dan Walikota) wajib merealisasi janji-janji kampanye. Visi dan misi paslon (yang diserahkan kepada KPU Propinsi serta KPUD Kabupaten dan Kota), akan menjadi Peraturan Daerah tentang RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah).
Merealisasi Perda RPJMD, niscaya memerlukan memerulkan partisipasi seluruh masyarakat di daerah. Mustahil merealisasi RPJMD (dan kinerja pemerintahan daerah) hanya dilakukan oleh sekelompok pemilih paslon pilkada. Berdasar perhitungan suara sah pilkada, paslon yang menang hanya didukung kurang dari seperempat jumlah penduduk. Bahkan banyak daerah dimenangkan oleh golput (dan suara tidak sah).
Pelaksanaan pilkada serentak tahap ketiga (tahun 2018) akan menjadi tambahan pengalaman penyelenggaraan pesta demokrasi. Berbagai peraturan perundang-undangan patut direvisi, termasuk antisipasi dampak sosial ke-terbelah-an sosial. Ke-guyub-an sosial wajib tetap terjaga sepanjang masa. Tak boleh lekang karena pilkada, maupun pilpres.

——— 000 ———

Tags: