Paslon Tunggal dan Kegagalan Parpol

Umar SholahudinOleh :
Umar Sholahudin
Dosen Sisiologi Univ. Muhammadiya Surabaya, Mahasiswa S-3 Ilmu Sosial FISIP Unair
Jika tidak ada halangan, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak gelombang kedua akan dilaksanakan pada tanggal 15 Februari 2017. Pilkada serentak terebut akan diikuti 101 daerah, yang terdiri atas 7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota. Salah satu fenomena politik yang berpotensi kembali muncul adalah masalah calon tunggal. Seperti pada Pilkada gelombang pertama, Pilkada serentak 2017 kali ini juga berpotensi melahirkan Pasangan calon (Paslon) tunggal). Sampai saat ini, setidaknya sudah ada enam Paslon tunggal yang muncul di tujuh kab/kota, yakni Kabupaten Buton, Kota tebing Tinggi, Kabupaten Landak, Kabupaten Pati, Kabupaten Tambraw, dan Kabupaten tulang Bawang. Dari enam Paslon tunggal tersebut, empat Paslonadalah petahana. Secara statistik, angka ini lebih tinggi dibanding Pilkada serentak 2015 dengan tiga calon tunggal (Jawa Pos, 3/10/2016).Semua Paslon tersebut sebagian besar diusung oleh partai-partai pemilik kursi di DPRD, dan sampai saat ini belum ada lawan tandingnya.
Fenomena Paslon Tunggal.
Saat ini KPUD masih memberi kesempatan kepada parpol atau perseorangan untuk ikut berpartisipasi dalam Pilkada serentak dengan mengajukan Paslonya. Jjka sampai batas waktu yang ditetapkan KPUD setempat, tidak ada Paslon yang mendaftar sebagai lawan tanding, maka berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, maka Pilkada serentak tetap dilanjutkan dengan diikuti Paslon tunggal. Paslon tunggal tetap sah dan nanti akan ada bumbung kosong.
Fenomena munculnya Paslon tunggal kerapkali terjadi di daerah kabupaten/kota yang Paslon petahananya sangat kuat. Kuatnya Paslon Petahana ini dijadikan alasan kuat bagi parpol lain berfikir dua kali untuk mengusung “jagonya”.Paslon petahana tersebut, tidak saja memiliki tingkat popularitas yang sangat tinggi, tapi juga elektabilitas. Sebut saja misalnya pasangan Petahana Umar Ahmad-Fauzi Hasan, Kabupaten Tulang Bawang yang diusung semua partai pemilik kursi di DPRD; Demokrat, PDI-P, Golkar, PKS, PPP, Gerindra, PAN, PKB, Hanura, dan Nasdem. Begitu juga dengan daerah lain, tingkat elektabilitasnya cukup tinggi. Kondisi ini yang menjadikan sulit memunculkan Paslon pesaing.
Parpol yang tidak mau mendaftarkan “jagonya”, sangat khawatir “jangonya” kalah bersaing dengan Paslon petahana. Mencalonkan dan mendaftarkan Paslon sama saja dengan “bunuh diri” atau mengalami kerugian ganda. Bagi parpol atau perseorangan, tidak saja rugi secara immateriil (baca: kalah), tapi juga yang lebih terasa lagi adalah kerugian materiil. Kalkulasi politik dan ekonomi berlaku; ratusan bahkan milyaran rupiah akan hangus begitu saja, harapan kemenangan yang sangat tipis dan memberi “karpet merah” kepada petahana.
Namun demikian, munculnya Paslon tunggal juga berpotensi memunculkan Paslon abal-abal atau boneka. Pasangan ini sengaja dipaksakan muncul dan didaftarkan ke KPUD untuk menghindari Pilkada ditunda dan memberi “karpet merah” kepada Paslon Petahana. Pasangan ini, dapat saja dimunculkan oleh pihak pengusung Paslon tunggal/petahana dengan melalui tangan parpol lain atau melalui jalur perseorangan. Sehingga Pilkada tidak saja memuluskan danmenguntungkan Paslon Petahana(minusnya parpol pengusung Paslon hanya pada kerugian materi; harus membiayai ongkos politik Paslon boneka itu), tapi juga sekaligus pasangan boneka. Karena patut diduga kuat, Paslon boneka akan mendapatkan imbalan materil yang lumayan besar.
Kondisi dilema tersebut sama-sama ada kelebihan dan kekurangannya; jika Pilkada tetap dilaksanakan, dengan catatan patut diduga pesaingnya adalah Paslon boneka. Dan munculnya pasangan boneka dalam Pilkada serentak ini adalah sebuah preseden buruk dalam demokrasi kita. Ini adalah sebuah tragedi demokrasi yang memalukan yang menguntungkan segelintir orang dan pada saat yang sama membodohi rakyat. Dan Pilkada terancam hanya ritual dan seremonial politik saja; calon tunggal versus bumbung kosongsaja dan menghabiskan uang rakyat yang cukup besar. .
Kegagalan Parpol
Munculnya Paslon tunggal yang mengancam pelaksanaan Pilkada serentak gelombang kedua ini, mestinya tidak terjadi, jika Parpol memiliki tanggung jawab moral dan politik yang tinggi. Ini menunjukkan kegagalan Parpol dalam menyedikan dan mempersiapkan kader-kadernya (iron stock)untuk menjadi pemimpin daerah. Saya yakin Parpol sudah tahu dan faham bahwa Sang Petanaha akan maju kembali. Karena itu, mestinya Parpol sedini mungkin mempersiapkan kader-kadernya yang berkualitas untuk bersaing secara kompetitif dengan sang petahana. Dan jika ini dilakukan secara serius, maka tidak akan muncul Paslon tunggal dan bukan tidak mungkin sang petahana dapat dikalahkan. Dalam beberapa Pilkada sang petahana juga bisa dikalahkan.
Demokrasai tidak hanya persiangan politik menang-kalah dan mengejar kursi kekuasaan, tapi bagaimana demokrasi dengan seluruh instrumennya mampu memberikan pendidikan politik yang lebih mencerahkan dan mencerdaskan. Pilkada serentak dapat melahirkan kualitas demokrasi yang lebih baik, mulai dari proses sampai hasilnya. Dan parpol sebagai salah pilar demokrasi yang utama memiliki tanggung jawab penuh untuk menghadirkan Pilkada serentak ini berjalan secara demokratis, salah satunya dengan menghadirkan kader-kadernya yang berkualitas sebagai calon kelapala daerah yang bebas dari praktik trasaksional yang sarat dengan politik uang.
                                                                                                     ———– *** ———–

Rate this article!
Tags: