![Tandatangan Petisi_Bupati Nyono Suharli ikut menandatangi petisi yang sebelumnya telah dahului KH Muhtar Mukti Mursyid Thoriqot Shiddiqyah Ploso Jombang. [ramadlan/bhirawa]](http://harianbhirawa.co.id/wp-content/uploads/2016/08/7-FOTO-OPEN-rur-Kiai-Muchtar-_bupati-Bupati-Jombang.jpg)
Tandatangan Petisi_Bupati Nyono Suharli ikut menandatangi petisi yang sebelumnya telah dahului KH Muhtar Mukti Mursyid Thoriqot Shiddiqyah Ploso Jombang. [ramadlan/bhirawa]
Jombang, Bhirawa
Ribuan Santri Pesantren Shiddiqiyah Ploso Jombang menggalang dukungan petisi menolak istilah Kemerdekaan Republik Indonesia yang jamak digunakan dalam peringatan 17 Agustus. Alasannya pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah Kemerdekaan Bangsa Indonesia, bukan Kemerdekan Republik Indonesia.
Penggalangan tanda tangan petisi itu dilakukan bersamaan dengan acara ‘Tasyakuran Kemerdekaan Bangsa Indonesia dan Berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia ke-71’ di lapangan pesantren, Pesantren Majma’al Bahrain Shiddiqiyyah, Hubbul Wathon Minal Iman Desa Losari, Kecamatan Ploso, Jombang, Kamis (18/8) malam.
Pengasuh pesantren sekaligus Mursyid Thoriqoh Shiddiqiyyah, Kiai Muchammad Muchtar Mukti mengatakan bahwa penggunaan istilah ‘Kemerdekaan Republik Indonesia’ menjerumuskan ke dalam dosa besar politik. Pernyataan yang benar menurutnya adalah ‘Kemerdekaan Bangsa Indonesia’.
“Saya sudah meneliti, di berbagai sumber, Dokumentasi Republik 3 jilid lebih dari 1000 halaman tidak saya temukan. Dalam teks proklamasi, pembukaan UUD 45 tidak ada, Tidak ada dalilnya, sumber atau argumentasi yang menyebutkan ‘Kemerdekaan Republik Indonesia’,” tuturnya menyampaikan.
Alih-alih ada sumbernya, kalimat ‘Kemerdekaan Republik Indonesia’ yang acap kali digunakan menurut Kyai sepuh ini malah menjerumuskan ke dalam dosa besar politik. “Dosa-dosa politik itu, pertama, dosa besar politik terhadap teks proklamasi yang jelas menyebut kalimat bangsa Indonesia, bukan negara atau pemerintah Indonesia,” imbuhnya membeberkan.
Kedua, dosa politik kepada bangsa Indonesia. Bangsa yang jelas-jelas merdeka dan diplokamirkan pada 17 Agustus 1945, tidak disebutkan tapi justru diganti republik Indonesia. Ketiga, dosa besar kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Negara Indonesia yang tidak pernah dijajah, justru dipahami dan dikatakan merdeka dari penjajahan pada hari proklamasi itu. Padahal yang dijajah sebenarnya adalah bangsa Indonesia. Pemerintahan atau Negara Indonesia baru ada sesudah pembacaan proklamasi, setelah ada peralihan kekuasaan yang dimotori oleh Dokuritsu Junbi Iinkai atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Keempat, dosa besar politik kepada bapak bangsa. Jerih payah mereka sebagai pemuka bangsa ini dalam merancang kemerdekaan bangsa Indonesia, secara tersirat dikerdilkan. Kelima, dosa besar terhadap Pembukaan UUD 45. Pada akhir alenia ketiga jelas menyebut ‘Maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya’.
Ketua Persaudaraan Cinta Tanah Air Indoneisa (PCTAI), Edi Setyawan mengatakan, pemakaian kalimat ‘Kemerdekaan Republik Indonesia’ menyesatkan dan melenceng dari sejarah yang sebenarnya. Istilah yang asli dan benar adalah ‘Kemerdekaan Bangsa Indonesia’.
“Pada tanggal 17 Agustus 1945, saat proklamasi dibacakan oleh Bung Karno didampingi Bung Hatta, Negara Republik Indonesia itu belum ada. Karena itu dalam teks proklamasi tidak disebutkan kata negara atau pemerintah Indonesia, tapi Bangsa Indonesia. Bahkan nama Soekarno- Hatta pun disebut sebagai atas nama Bangsa Indonesia. Petisi ini akan kirim ke presiden bersama-sama dengan petisi serupa yang telah digalang di Kediri sehari sebelumnya,” jelasnya.
Petisi ini, lanjut Edi Setyawan akan kirim ke presiden bersama-sama dengan petisi serupa yang telah digalang di Kediri sehari sebelumnya. “Diharapkan presiden mengeluarkan aturan terkait isi petisi kami,” pungkasnya. [rur]