Pedagang Belum Mengetahui Permendag

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

Surabaya, Bhirawa
Meski pemerintah telah memastikan penundaan pelarangan minyak goreng curah sampai tahun 2017 mendatang, namun kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan No.80/2014 tersebut belum sampai pada tingkat pengecer.
Permendag yang rencananya mulai berlaku per 27 Maret 2015 itu mengatur tentang minyak goreng wajib kemasan, dan menggantikan Permendag No.2/2009 tentang minyak goreng sawit kemasan sederhana.
Beberapa penjual minyak goreng curah yang berada di toko-toko di dalam kampung mengaku belum mengetahui larangan pemerintah  tentang penjualan minyak goreng curah yang dibungkus dalam plasti ataupun minyak goreng yang menggunakan izin PIRT (Pangan Izin Rumah Tangga)
Siti penjual aneka kebutuhan dapur yang berada di Jagir Sidomukti mengaku dirinya baru mendengar informasi tentang larangan penjualan minyak goreng curah dan minyak goreng curah dalam kemasan yang mengantongi izin PIRT. Ia mengakui perbandingan harga antara minyak goreng bermerek dan curah harganya bisa selisih Rp.3-5 ribu per liternya.
“Seperti minyak goreng Gading Mas yang menggunakan izin PIRT ini di jual 121.000 per kartonnya, sedangkan untuk Bimoli, Filma dijual dengan harga Rp. 128.000. Dari segi harga memang terjadi selisih. Tetapi masyarakat melihat yang bisa disesuaikan dengan kantong,” jelas Sisi Khomariah.
Ia menambahkan, jika larangan tersebut diberlakukan dalam waktu dekat tentu berdampak terhadap omzet penjualan yang akhirnya terhenti. Sedangkan dari sisi masyarakat bisa dirugikan, karena masyarakat tidak diberikan pilihan untuk minyak goreng dengan harga terjangkau.
“ Kalau barang yang ada di sini tidak boleh dijual, memangnya pemerintah mau memberikan ganti rugi? Menjual minyak goreng dalam waktu sebulan, juga belum tentu laku. Minimal butuh enam bulan, agar produk tersebut dapat laku terjual,” ujarnya.
Sedangkan menurut Gita Hamzah, Pemilik migor Rajawali Mas mengungkapkan sejak keluarnya keputusan pada tanggal 27 Maret 2015 Rajawali Mas sudah tidak melakukan produksi. Karena memang surat tersebut sudah di terima dan sebagai produsen hanya coba mematuhi aturan tersebut.
“Beberapa waktu yang lalu, memang ada pesanan dari Pati 400 karton terpaksa kami tolak. Karena kami harus mengurus izin kembali ke instansi pemerintah. Karena izin yang sekarang menggunakan PIRT, kedepannya akan menggunakan MD (Merek Dalam) yang disamakan dengan industri minyak pabrikan. Selain itu dalam label harus dicantumkan SNI (Standar Nasional Indonesia),” terangnya.
Ia menerangkan, dengan berubahnya izin edar dari PIRT berubah menjadi MD akan berpengaruh terhadap harga. Sehingga harganya bisa mengalami kenaikan hampir sama dengan industri minyak goreng pabrikan.
“Tentu mas ada pengaruhnya, bisa saja harganya mendekati dengan minyak goreng yang di produksi pabrik seperti Parit Padang selaku produsen Sari Murni, Wilmar produsen Sania, dan lain-lainnya. Persaingan akan menjadi lebih ketat ketika sudah masuk pasaran, termasuk minyak goreng Saputra yang juga memiliki kode produksi PIRT saat ini telah berhenti produksi selama dua minggu yang lalu,” tutupnya. [wil]

Rate this article!
Tags: