Pedagang Kecewa Larangan Berjualan Pakaian Bekas

Zulfikar Abidin, yang tetap percaya dengan kualitas dan keamanan pakaian bekas yang di impor dari beberapa negara di Asia.

Zulfikar Abidin, yang tetap percaya dengan kualitas dan keamanan pakaian bekas yang di impor dari beberapa negara di Asia.

Surabaya, Bhirawa
Sejak turunnya imbauan dari Menteri Perdagangan Rahmad Gobel, tentang pelarangan impor pakaian bekas mendapatkan tanggapan dari konsumen dan pedagang. Kedua segmen masyarakat tersebut, sangat tidak setuju di larangnya penjualan pakaian bekas yang di impor oleh importir.
Pedagang beranggapan, penjualan baju bekas merupakan mata pencaharian yang telah di terjuni sejak 17 tahun yang lau, sedangkan dari sisi konsumen harga pakaian bekas lebih baik di bandingkan dengan pakaian baru yang di jual di pusat perbelanjaan.
Sulaiman, pedagang pakaian bekas di Pasar Gembong Tebasan, mengaku keberatan dengan imbauan pemerintah, karena imbauan tersebut akan mematikan satu-satunya sumber pendapatan yang telah di gelutinya selama 17 tahun terakhir.
“Dari usaha berjualan pakaian bekas yang sudah saya jalani, telah berhasil menyekolahkan anak saya sampai dengan jenjang SMU kelas 2. Kalau pemerintah melarang, harus ada kompensasi penggantian usaha yang bisa saya jalankan bersama dengan keluarga. Jangan hanya ditinggalkan begitu saja, tanpa ada kejelasan penggantian usaha,” ujar pria lulusan SLTP , Rabu (4/2) kemarin.
Sulaiman mengungkapkan selama berjualan pakaian bekas, tidak ada satu dari pelanggannya yang terkena penyakit menular. Hal ini untuk menepis rumor, bahwa pakaian bekas yang di impor mengandung bakteri  dan jamur yang berbahaya. “ Tidak benar kabar tersebut, tentang adanya pakaian bekas yang mengandung bakteri dan jamur, selama berjualan tidak ada konsumen yang telah membeli pakaian bekas di tempat saya terus terserang penyakit,” jelasnya dengan lugas.
Konsep pakaian bekas di tujukan untuk memenuhi pasar menegah kebawah dengan kualitas dari luar negeri. Selain itu, di pasar pakaian bekas banyak di jumpai produk-produk yang memiliki kualitas yang lebih baik di bandingkan dengan toko resmi. Namun dirinya siap, apabila pemerintah melakukan pemeriksaan pakaian bekas yang ia jual kepada konsumen demi menjaga pelanggannya tetap nyaman menggunakannya.
“Kalau pelanggan bisa selektif ada beberapa produk pakaian yang memiliki ternama seperti Banana Republic, Levis, dan beberapa produk yang lain yang memiliki trade mark ternama. Atau produk dari Korea Selatan, atau Jepang yang memiliki kualitas bagus. Untuk jaket misalnya, dengan bahan anti air dan tebal harganya bisa Rp.75-100 ribu. Atau celana pendek selutut, dengan bahan katoon biasaya saya jual dengan harga Rp.25-35 ribu, selain itu sweater, pakaian anak, dan celana panjang juga tersedia” ujarnya.
Sementara itu bagi Zulfikar, warga Bulak Banteng, Surabaya mengungkapkan ketidaksetujuannya tentang dilarangnya penjualan pakaian bekas. Ia mengungkapkan dengan adanya lapak pakaian bekas sangat membantunya yang bekerja sebagai buruh bagunan lepas.
“Lapak pakaian bekas di daerah Gembong  memang sangat membantu. Karena penghasilan dari buruh bangunanan lepas memang tidak menentu. Kalau pas punya uang, ya beli sesuai dengan kebutuhan dan modelnya tidak ketinggalan zaman. Tapi jika saya harus membeli ke mal, cuma cukup untuk membeli sekali setelah itu habis uangnya,” ujar pria berusia 28 tahun tersebut.
Dirinya tidak merasa khwatir dengan isu, bahwa pakaian bekas yang di impor dari luar negeri mengandung bakteri yang menyebabkan sakit penyakit. “ Isu itu sudah lama, saya beli pakaian bekas sudah sekitar 6 tahunan, dan berlangganan pada lapak-lapak yang berada di Jalan Gembong. Nytanya ya tidak pernah terkena penyakit kulit,” tutupnya. [wil]

Tags: