Pedagang Pasar VS Online

Pedagang pasar di pusat perkulakan Tanah Abang (Jakarta), dan Pasar Turi Baru (Surabaya), terancam tutup lapak. Pedagang pasar tradisional yang meng-andalkan kunjungan pembeli, kini sepi. Tergerus model belanja tanpa kunjungan (daring) melalui took online. Terutama komoditas tekstil dan produksi hasil tekstil dari China, telah membanjiri pasar nasional. Langsung menuju ke rumah konsumen masyarakat Indonesia, melalui pembelian e-commerce, dan social commerce.

Pedagang pasar umumnya dikategorikan sebagai usaha mikro, dan kecil. Pemerintah memilki kewajiban berdasar amanat Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMK). Telah cukup aturan disediakan untuk menumbuhkan (dan mengembangkan) UMKM. Namun harus diakui, hanya Sebagian kecil amanat UU yang bisa direalisasi. Terutama akses permodalan, promosi, dan pemasaran. UMKM bagai selalu “wajib” kalah bersaing. Padahal UU Nomor 20 Tentang UMKM, cukup memberi perlindungan.

UU UMKM pada asal 7 ayat (1), Pemerintah dan Pemerintah Daerah, diberi kewajiban menumbuhkan Iklim Usaha. UU memerintahkan membuat peraturan dan kebijakan. Yakni meliputi 8 aspek pendanaan, sarana dan prasarana, informasi usaha, kemitraan, perizinan usaha, kesempatan berusaha, promosi dagang; dan dukungan kelembagaan. Bahkan amanat paal 7 ayat (1), di-breakdown dalam pasal 8 hingga pasal 15. Sudah komplet. Namun realitanya, UMKM tetap kesulitan meng-akses permodalan. Karena tidak memiliki aset (agunan) yang bank-able.

Era digital menjadikan perdagangan lintas negara menjadi sangat mudah. Pembelian e-commerce, dan social commerce dapat dilakukan setiap orang. Bahkan lolos dari pajak impor. Bisa jadi karena dianggap “enteng,” maka tidak terpungut pajak. Sebenarnya sudah tergolong impor gelap (illegal). Berdasar data Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSBF), diperkirakan nilai impor tekstil ilegal pada 2022 mencapai US$ 2,95 miliar (sekitar Rp 43 triliun).

Angka e-commerce, dan social commerce, diperoleh dengan cara membanding dengan pencatatan perdagangan tekstil Indonesia-Cina di International Trade Center (ITC). Nilai ekspor tekstil Cina ke Indonesia, yang resmi mencapai US$ 6,5 miliar pada 2022, berdasarkan data General Custom Administration of China. Pada tahun yang sama, Badan Pusat Statistik mendata nilai tekstil impor dari Cina hanya US$ 3,55 miliar. Sehingga selisihnya, adalah illegal.

Impor illegal produk tekstil dari China tergolong terang-terangan. Berlabuh resmi di berbagai pelabuhan Indonesia. Terutama Jakarta, Medan, dan Surabaya. diperkirakan sebanyak 28.480 kontainer. Jika diasumsikan impor per-kontainer senilai Rp 1,5 milyar maka nilainya mencapai Rp 42,720 trilyun. Hingga kini tekstil impor (total sebanyak 800 ribu ton) bersaing ketat dengan produk lokal. Padahal, tekstil lokal produk IKM (Industri Kecil dan Menengah) garmen nasional, sebesar 1,7 juta ton.

Ironisnya, TPT impor ilegal memiliki kualitas lebih bagus, dan model menarik (beragam. Bisa dijual lebih murah pula. Sehingga produk lokal tidak bisa bersaing. Namun sebenarnya, persaingan model, kualitas, dan harga, sudah lumrah pada ranah perdagangan. Namun cara pemasaran produk impor ilegal melalui media sosial platform online, terutama TikTokshop. Harga sangat “miring.”

Banjir tekstil dan produk tekstil (TPT) dari China, menyebabkan pedagang di pasar tradisional perkulakan, kelimpungan. Omzet turun sampai 50%. Sebagian telah menutup lapak, sejak usai lebaran Idul Fitri 1444 Hijriyah (awal Mei 2023). Bahkan sebagaian telah menjual obtral lapaknya. Di Surabaya, pusat pertokoan ikon Indonesia timur (Pasar Turi) sampai mengobral kios.

Era perdagangan digital wajib menjadi ke-seksama-an pemerintah, dalam rangka melindungi UMKM, pedagang pasar, sekaligus melegakan konsumen dalam negeri.

——— 000 ———

Rate this article!
Pedagang Pasar VS Online,5 / 5 ( 1votes )
Tags: