Pejabat Publik jadi Jurkam

kampanyePemilu legislatif (pileg) tinggal menghitung hari. Partai politik kontestan pemilu 2014 sudah tancap gas mengerahkan segala daya, terutama figur publik. Tokoh yang dikenal luas, khususnya yang baru memenangkan pilkada dijadikan motor penggerak. Gubernur serta Bupati dan Walikota yang baru terpilih, juga harus turut bekerja keras lagi memenuhi tugas “panggilan parpol.” Seluruh gubernur yang menjadi elit parpol sudah mengajukan izin cuti mengikuti kampanye pileg.
Di antara gubernur yang baru terpilih akan menjadi andalan sebagai juru kampanye nasional (jurkamnas). Ada nama Jokowi (Gubernur DKI Jakarta) sebagai jurkamnas PDIP. Ada Ahmad Heryawan (Gubernur Jawa Barat) sebagai jurkamnas PKS. Ada nama Soekarwo (Gubernur Jawa Timur) jurkamnas Partai Demokrat, serta Rudi Arifin (Gubernur kalimantan Selatan) naik panggung PPP. Masing-masing akan menjadi pendulang suara di daerahnya masing-masing.
Memang benar, gubernur yang baru memenangi pilkada menjadi ikon parpol. Seperti Alex Noerdin (Gubernur Sumatera Selatan) menjadi ikon Golkar. Partai berlambang beringin baru saja kehilangan jurkamnas yang kuat (lagi tajir) yakni, Ratu Atut.  Tetapi beruntung, pejabat pengganti Atut (Wagub Banten) Rano Karno tidak boleh kampanye sembarang hari, untuk menghindari kekosongan pejabat publik. Rano Karno merupakan “aset” PDIP, hanya boleh kampanye pada hari libur.
Saat ini, seluruh Kepala Daerah (gubernur dan Bupati serta Walikota) merupakan personel parsial, sebagai kader partai politik. Sehingga tidak bisa tidak mesti mematuhi “panggilan parpol” pada saat diperlukan untuk mendulang suara pemilih. Bekal itu pula (kepatuhan) yang akan digunakan personel Kepala Daerah untuk maju lagi pada pilkada mendatang. Atau bahkan akan naik kelas, menjadi anggota kabinet (menteri) manakala parpol-nya  memenangi pileg.
Tetapi sebenarnya tidak mudah bagi Kepala Daerah untuk memenuhi “panggilan parpol.” Prinsipnya, harus mengajukan izin kepada Kementerian Dalam Negeri. Atau jika hanya menjadi jurkam pada hari libur, juga wajib memberitahu Kemendagri. Pengaturan mengenai cuti kepala daerah telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2013. Pada pasal 6 dinyatakan “Pejabat Negara dalam melaksanakan Kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 harus menjalankan cuti.”
Boleh jadi, Kepala Daerah yang berkampanye untuk parpol tertentu akan berseberangan dengan kebanyakan masyarakatnya. Karena itu harus bisa menjamin pelaksanaan pemerintahan tetap berjalan baik (pasal 7). Harus dilhindari, kemungkinan “melukai” perasaan masyarakat di daerahnya. Hal itu (kemungkinan “melukai” hati masyarakat) sudah diantisipasi dalam PP. Pada pasal 8 dinyatakan: “Pejabat Negara dalam melaksanakan Kampanye Pemilu tidak menggunakan fasilitas negara kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.”
Tetapi memang sulit untuk benar-benar melepaskan pejabat dari fasilitas, terutama yang bersifat protokoler melekat. Misalnya, ajudan.  Hampir mustahil bagi ajudan untuk meninggalkan “tuan-nya.” Maka mestilah dibutuhkan ketegasan Bawaslu untuk memperingatkan Kepala Daerah (atau Wakil Kepala Daerah) yang menyertakan ajudan maupun pengamanan negara (pengawalan oleh polisi).
Izin kampanye untuk Kepala Daerah (atau Wakil Kepala Daerah) harus diajukan 12 hari sebelum masa kampanye. Pengajuan izin diatur pada pasal 9 ayat (2). Cuti kampanye bagi gubernur diajukan kepada Menteri dalam Negeri, dengan tembusan Presiden. Sedangkan cuti untuk Bupati dan Walikota diajukan kepada gubernur dengan tembusan Menteri Dalam Negeri. Permintaan cuti harus pula menyertakan tempat dan jadwal (tanggal dan waktu) kampanye.
Jadi, manakala Kepala Daerah berkampanye di tempat atau waktu yang salah, maka Bawaslu wajib menghentikannya. Biasanya pula parpol lain akan selalu “mengintip.” Inilah konsekuensi demokrasi. Pimpinan daerah, kadang harus di-ikhlas-kan untuk berbeda dengan kebanyakan masyarakatnya. Tak terkecuali Presiden SBY yang sudah mengajukan cuti untuk kampanye. Tentu ada “luka” yang harus secepatnya disembuhkan pasca-pileg. 000

Rate this article!
Tags: