Pekerja Anak Berpotensi Meningkat

Tri Siwi Agustina

Surabaya, Bhirawa
Perkembangan jumlah pekerja anak selama pandemi Covid-19. Indonesia saat ini menghadapi realitas baru berupa lonjakan jumlah pekerja anak akibat pandemi.
Tri Siwi Agustina , peneliti Pusat Kewirausahaan dan Relasi Industri Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga, menyebut berdasarkan data Sakernas pada Agustus 2020, diketahui 9 dari 100 anak usia 10-17 tahun (9,34 persen atau 3,36 juta anak) bekerja. Dari 3,36 juta anak yang bekerja tersebut, sebanyak 1,17 juta merupakan pekerja anak .
Peningkatan pekerja anak selam wabah Covid-19 , lanjutnya juga dilaporkan dalam laporan bersama yang dirilis oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO) dan badan anak-anak PBB UNICEF pada Kamis 10 Juni 2021 yang lalu.
alam laporan ILO ini, kata Siwi, menunjukkan jumlah pekerja anak mencapai 160 juta pada awal 2020, bertambah 8,4 juta dalam empat tahun. ILO dan UNICEF memperingatkan bahwa akan ada 50 juta anak lagi yang akan masuk kategori pekerja anak dalam dua tahun ke depan jika tidak ada tindakan serius untuk mengentaskan kemiskinan.
Data ini, diperkuat dengan hasil survei Komisi Perlindungan anak Indonesia (KAI) yang telah melakukan survey pada 9 provinsi meliputi 20 kota dan kabupaten selama bulan September-Oktober 2020.
Survei dengan sasaran observasi komunitas anak-anak yang bekerja pada bentuk pekerjaan terburuk, yang terdiri dari 5 sektor; (1) anak yang dilacurkan (2) anak pemulung (3) anak jalanan (4) anak yang bekerja di sektor pertanian dan (5) pekerja rumah tangga anak.
“Temuan hasil observasi khususnya di Jawa Timur, mayoritas pekerja anak adalah di daerah perdesaan dan jenis pekerjaan yang dilakukan adalah di sektor pertanian ,” ujarnya, Selasa (27/7) .
Terkait temuan ini, Tri Siwi menyebut seperti rekomendasi dari KPAI , pemerintah pusat hingga pemerintah daerah untuk lebih meningkatkan perhatian terhadap keberadaan pekerja anak melalui langkah-langkah kuratif dan rehabilitatif .
“Termasuk di dalamnya adalah mendorong penarikan pekerja anak mengingat mereka mendapat situasi paling buruk atas terjadinya kompleksitas sosial ekonomi dampak wabah pandemi,” terang perempuan yang juga mengajar di jurusan Manajemen FEB UA ini.
Menurut Siwi, perkembangan jumlah pekerja anak kebanyakan disebabkan ketidaktahuan orangtua dan perusahaan untuk mengetahui peraturan yang ada, anak berminat bekerja sedangkan orang tua tidak, orang tua bersedia anak menolak, anak tidak memiliki motivasi, faktor ekonomi, lingkungan yang tidak mendukung.
Siwi juga menyebut, kurangnya data dan belum menjadi prioritas utama pada masing – masing lembaga pemerintah daerah, serta rendahnya kesadaran masyarakat untuk melaporkan kasus pekerja anak menjadi faktor belum tertanganinya masalah pekerja anak.
Untuk itu, ia mendorong Pemerintah Daerah dan juga para legislatif untuk tidak hanya menyusun program dan kegiatan untuk perlindungan terhadap pekerja anak namun urgensi regulasi yang khusus mengenai kebijakan pengurangan dan penghapusan pekerja anak di daerahnya mutlak diperlukan.
” Karena ketiadaan regulasi di tingkat lokal memicu ketidakjelasan program, dan longgarnya tugas dan tanggungjawab pemerintah daerah pada masalah tersebut,” terangnya. [gat]

Rate this article!
Tags: