Pelajaran Cerdas Pascapilpres

nurudin7Oleh :
Nurudin
Penulis adalah Dosen Fisip Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

Pemilihan Presiden (Pilpres) telah usai. Namun demikian tidak serta merta persoalan ikut selesai pula. Pencoblosan memang sebesai, tetapi proses yang mengikutinya masih panjang.   Ada beberapa fakta yang terjadi. Pertama, dua kubu saling klaim sebagai penenang (versi quick count/hitung cepat); kedua, syahwat kemenangan dan nafsu tidak terima masih menjangkiti para pendukung Calon Presiden (Capres) pilihannya; ketiga, quick count dijadikan tolok ukur utama.
Saling Klaim Menang
Sebagaimana bisa dilihat di stasiun televisi, dua kubu (Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK) mengklaim saling menang dengan alasan sendiri-sendiri. Seolah dua kubu itu sudah memastikan kemenangan hanya berdasar penghitungan cepat (quick count). Tidak salah memang karena selama ini penghitungan cepat juga bisa dijadikan dasar selanjutnya bagaimana hasil penghitungan di Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Masalah timbul berkaitan dengan; pertama,  soal dampak sikap kandidat pada para pendukungnya. Pendukung masing-masing kubu tentu akan berupaya bertindak sedemikian rupa agar calon dukungannya tetap memenangkan kompetisi. Bagaimana jika kedua kubu pendukung itu tersulut amarah kemudian bertindak anarkis?
Semoga saja hal demikian tidak terjadi, namun demikian antisipasi buruk  masih berpeluang muncul. Pendukung Jokowi-JK (misalnya) diunggulkan lebih banyak lembaga survei daripada Prabowo-Hatta. Kalau dilihat dari berita-berita di media massa, keyakinan pendukung pasangan nomer 2 itu sudah merasa menang. Kemudian mereka bertindak diluar batas kewajaran dalam merayakan kemenangan. Bahkan terkesan mengejek kubu lain.
Perilaku itu tentu sangat berbahaya. Mengapa? Keyakinan kuat akan kemenangan bisa menimbulkan sentiman pendukung kelompok Prabowo-Hatta. Seolah kelompok pasangan nomor 1 itu diejek sedemikian rupa. Sebenarnya tidak masalah, hanya melihat  kedewasaan kita berbeda pendapat selama ini, masih sangat jauh dari cerdas.
Kedua, munculnya spiral kekerasan di masyarakat. Dalam perspektif Dom Helder Camara (2005) perilaku-perilaku yang tidak dewasa masyarakat akan menciptakan spiral of violence (spiral kekerasan). Sikap-sikap mabuk kemenangan yang berlebihan justru akan memunculkan perilaku kekerasan. Artinya, pemicu kekerasan dari pasangan yang kalah jangan-jangan berasal dari pasangan yang mengklaim menang. Dampak ini tentu tidak kondusif bagi kehidupan masyarakat di masa datang. Artinya, semua pihak harus mengendalikan diri, bukan hanya menuruti nafsu syahwat politik.
Hal demikian diperparah dengan fakta bahwa antar kelompok Capres mengklaim saling menang. Deklarasi siap kalah yang pernah dikatakan beberapa waktu lalu seolah menguap. Jika kedua kubu saling klaim menang sebelum ada keputusan resmi KPU, bahkan dirayakan secara hingar bingar, jangan-jangan kita justru ditertawakan oleh bangsa asing, betapa bodohnya kita.
Itulah kenapa setiap pihak harus menahan diri untuk tak bertindak diluar kewajaran. Berharap menang boleh, tetapi tanpa harus memancing reaksi pihak lain yang dianggap kalah. Yang kalah tidak perlu hilang akal dengan mencari kesalahan-kesalahan pihak yang menang.
Soal Quick Count  
Hasil penghitungan sementara memang bisa dijadikan dasar awal untuk memetakan siapa yang akan memenangkan kompetisi Pilpres. Masalahnya, bukan rahasia umum lagi bahwa lembaga-lembaga survei sarat kepentingan politik. Tanpa memandang sebelah mata usaha cerdas lembaga survei, hasil itu justru menekan dan membuat tidak nyaman lembaga pemilihan umum seperti KPU.
Apalagi hasil hitung cepat juga dipercaya masyarakat bahwa calonnya yang memenangkan pertarungan. Lebih parah lagi muncul deklarasi pemenangan dari kandidat yang mendapat suara tinggi. Seolah hasil penghitungan cepat itu mengharuskan KPU nanti  untuk memutuskan secara resmi calon yang diunggulkan lewat hitung cepat tersebut. Padahal proses penghitungan KPU belum resmi dilakukan.
Bagi  kelompok kandidat pemenang ini sangat dinikmati karena bisa menekan kinerja KPU, sementara bagi kandidat yang kalah akan merasa dirugikan. Analisis ini tidak untuk membela siapa-siapa. Hanya dalam jangka panjang pengaruh psikologis (siapapun kandidatnya) perlu dipikirkan secara lebih jernih.
Masalah Pemimpin
Bagaimanapun juga, Pilpres menjadi tolok ukur bagaimana kita mengukur dan melihat kualitas pemimpin kita. Justru watak pemimpin kita kelihatan aslinya saat menyikapi perbedaan pendapat hasil pernghitungan cepat. Saling klaim menang cenderung dibesar-besarkan sementara berbicara siap kalah hanya ada dalam wacana saja.
Kalau para pemimpinnya seperti itu, bagaimana dengan masyarakat kebanyakan? Dalam perspektif Weberian, faktor pemimpin memegang peranan utama atau memengaruhi sikap dan perilaku masyarakat. Jika pemimpin baik maka baiklah masyarakatnya, dan juga sebaliknya. Para pemimpin kita tentu harus lebih arif menyikapi setiap gejolak dan perbedaan yang muncul.
Kalau tidak, spiral kekerasan akan muncul dimana-mana. Jika sudah begitu, masyarakatlah yang cenderung akan disalahkan, padahal sumber utamanya ada pada para pemimpin  tersebut. Siapapun presiden terpilih itu adalah pimpinan kita dan kewibawaan bangsa ini juga ikut ditentukan di tingkat global. Inilah pelajaran penting pasca Pilpres.

————– *** —————

Rate this article!
Tags: