Pelajaran dari Media Sosial

Najamuddin Khairur RijalOleh :
Najamuddin Khairur Rijal
Dosen Prodi Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

Demokrasi yang bergulir di Indonesia pada awalnya adalah demokrasi yang digerakkan oleh kekuatan rakyat (democracy by people), dalam hal ini mahasiswa. Mei 1998, ketika teriakan-teriakan mahasiswa berhasil menuntut mundur Presiden Soeharto, euforia reformasi yang beriringan dengan demokrasi menemui momentumnya. Masyarakat kita seolah baru saja lepas dari sebuah penjara kebebasan yang mematikan nalar kritis.
Pada saat yang sama, di tengah euforia itu, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memfasilitasi kita untuk bersuara di ruang publik. Kebebasan berpendapat dan berekspresi, baik dengan lisan maupun tulisan menjadi jargon demokrasi kita. Ditambah dengan hadirnya media sosial dengan beragam fiturnya membawa kita ke arah demokrasi yang digerakkan oleh media (democracy by media), utamanya media sosial.
Hadirnya new media, seperti berbagai macam media sosial membawa perubahan tersendiri bagi ekspresi kebebasan berdemokrasi kita. Sistem komunikasi yang lahir sebagai bagian dari revolusi bidang teknologi komunikasi yang berbasis komputer itu  disebut new media atau media komunikasi baru karena eksistensinya berbeda dengan media-media komunikasi sebelumnya. New media mendefinisikan kembali gagasan tentang posisi sosial dan tempat, memisahkan pengalaman dari lokasi fisik dan sebaliknya membawa bersama-sama kelompok-kelompok yang berbeda melalui komunikasi, kata Idi Subandy Ibrahim (2007).
Memang, media sosial dan aneka fitur-fitur internet lainnya sebagai media baru memiliki satu keunggulan dibanding media tradisional (televisi, radio, koran), yakni lebih demokratis dan membuka medium dengan arus informasi yang terus mengalir setiap saat. Melalui  koneksi jejaring media sosial, berita dan arus informasi menjadi kekuatan tersendiri dalam mengungkap sebuah realitas. Keadaan tersebut dipercepat oleh perubahan cepat dalam bidang teknologi. Salah satu perubahan itu adalah convergence. Convergence diartikan sebagai menyatunya media massa, komputer dan telekomunikasi ke dalam satu wujud.
Keberadaan media sosial ini pada akhirnya memunculkan terminologi cyber democracy, demokrasi di dunia siber/maya, di mana rakyat menjadi lebih mudah dan bebas dalam menyampaikan tuntutan, kepentingan dan aspirasi politiknya. Melalui perkembangan media sosial dalam kerangka jaringan internet, tercipta public sphere sebagai ruang partisipasi publik secara online yang kemudian dikenal dengan netizen atau kewargaan internet.
Ruang publik cyber berfungsi sebagai ruang-ruang yang merupakan tempat penduduk dari suatu negara datang bersama untuk menyuarakan dan memformulasikan kebutuhan-kebutuhan politik mereka yang tidak dapat dipertemukan. Netizen kemudian mampu menyuarakan suara mereka pada masalah-masalah publik yang mungkin mempertajam gap di antara mereka sendiri dan orang-orang yang berada pada marginal pembuatan keputusan.
Inilah yang dilakukan Haris Azhar, salah satunya, yang mencoba mengungkap lingkaran besar dari jaringan narkoba melalui “curhatannya” di Facebook. Beberapa pekan lalu, Haris menulis tentang testimoni terpidana mati narkoba yang telah dieksekusi beberapa waktu lalu, Freddy Budiman. Tulisan yang kemudian menyebar di jagat maya seketika menjadi trending topic, yang menyita perhatian publik. Apalagi ada institusi TNI, Polri, dan Badan Narkotika Nasional (BNN) yang disebut di dalamnya sehingga menjadikan pegiat Hak Asasi Manusia itu harus berurusan dengan hukum.
Dalam kaitannya dengan itu, Haris Azhar jelas menyadari bahwa media sosial punya kekuatan, termasuk kekuatan untuk menjadikan seorang warga negara berkontribusi terhadap negara dalam menyelesaikan setumpuk persoalan. Haris memanfaatkan ruang publiknya di media sosial sebagai wujud ekspresi dari cyber democracy. Meski kemudian, di pihak yang berlawanan, ekspresi kebebasan itu menemui jalan terjal ketika harus berhadapan dengan tuntutan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan  Transaksi Elektronik (UU ITE).
Haris Azhar tidak sendiri, sebelumnya sudah sedemikian banyak rakyat yang mencoba memanfaatkan ruang publik di dunia maya untuk berkeluh kesah. Dan, setelah Haris juga sudah banyak rakyat yang bicara secara bebas di ruang virtual, terakhir tentang seorang perempuan bernama Nunik Wulandari yang “dibully” dan dituding menghina presiden dan topi Batak yang dikenakan Jokowi. Lalu, semuanya bermasalah dan dipermasalahkan lewat UU ITE.
Apa pelajaran yang dapat dipetik? Ini berarti bahwa sesungguhnya media sosial yang membuka ruang publik yang bebas dan menciptakan cyber democracy punya dua arah. Pertama, lewat revolusi komunikasi yang melahirkan media sosial di saat kita merayakan euforia kebebasan berdemokrasi, kita menjadi lebih kritis, berani bicara dan berekspresi. Hal ini memberi dimensi positif bagi keterbukaan informasi sekaligus bentuk check and balances rakyat terhadap kekuasaan negara dan pemerintah. Pada tataran selanjutnya, memberikan penguatan terhadap konteks demokrasi yang tengah bergulir.
Namun, kedua, lewat media sosial yang membuka ruang publik itu kita menjadi kelewat bebas. Kita menjadi sangat bebas hingga suara kita dipandang sebagai bentuk fitnah, provokasi, ujaran kebencian, pencemaran nama baik, penghinaan, dan lainnya. Artinya, kebebasan di ruang publik yang sifatnya maya tidaklah bermakna tanpa kontrol. Sebab, negara punya kontrol lewat UU ITE jika memiliki muatan-muatan fitnah, kebencian, dan pencemaran nama baik, apalagi terhadap institusi-institusi negara.
Pelajaran yang dapat dipetik sesungguhnya adalah kita dituntut untuk lebih hati-hati dan lebih bijak dalam menyampaikan kritik, keluh kesah, dan suara hati, apalagi tentang persoalan publik kenegaraan. Bukan nalar kritis kita dikekang, bukan pula gairah semangat kita untuk berbicara lantang dikendorkan, tetapi kita perlu untuk lebih bijaksana bahwa kritik disampaikan tanpa provokasi, keluh kesah diungkapkan tanpa kebencian, suara hati dikatakan tanpa fitnah. Lalu, apakah ini tidak demokratis?
Bukankah demokrasi itu adalah kebebasan yang dibatasi? Dibatasi oleh hak pihak lain. Dan, penghargaan terhadap hak pihak lain itu adalah nilai-nilai substansial dalam demokrasi itu sendiri.

                                                                                                                        ———– *** ————-

Rate this article!
Tags: