Pelakor: Perempuan Selalu (Jadi) Korban

Suprihatin

Oleh :
Penulis adalah Dosen Ilmu Komunikasi di Stikosa-AWS.

Beberapa minggu ini beredar video tentang seorang isteri pejabat yang disebut-sebut bernama Bu Dendy, sedang melemparkan berlembar-lembar uang (?) ke arah seorang perempuan. Video berdurasi 2 menit 19 detik itu viral dengan tagar pelakor. Pelakor sendiri adalah label yang disematkan masyarakat kepada perempuan yang dianggap merebut laki (suami) orang lain.
Dalam sehari, ada ratusan cuitan di twitter yang membahas tentang pelakor. Sementara di youtube, video yang sama muncul dalam berbagai versi dan ditonton orang puluhan hingga ratusan kali. Sebagian warganet yang menonton video ini, membagikan ke linimasanya sembari memberi komentar yang rata-rata menghujat perempuan yang dituduh sebagai ‘pelakor’. Sebagian lagi hanya menonton sambil menghujat atau malah tertawa terbahak-bahak karena menganggapnya sebagai sesuatu yang lucu.
Kita tidak tahu, apakah video itu asli atau rekayasa belaka. Namun, yang sudah pasti adalah fakta bahwa masyarakat kita masih sangat patriarkal. Tanpa sadar, kita telah bersikap tidak adil kepada perempuan yang kita anggap sebagai pelaku dengan tuduhan yang tidak kita ketahui kebenarannya. Bahkan dengan entengnya hujatan dan kecaman itu disebarluaskan ke berbagai media sosial, termasuk menjadi objek guyonan.
Pelakor, bisa mengidentifikasi bagaimana masyarakat modern punbelum terbebas dari ideologi patriarkal. Konstruksi yang dibangun oleh ketidaksadaran kita bahwa perempuan lagi-lagi menjadi korban. Ketika terjadi peristiwa di mana seorang pria yang sudah menikah, mencintai perempuan lain dan berkhianat dari pasangan sahnya, maka hal itu adalah kesalahan perempuan. Baik perempuan yang hadir belakangan, maupun perempuan yang menjadi pasangan sah (isteri). Perempuan lain, diberi stempel ‘perebut’, dengan sederet label negatif lainnya: pelacur, gila harta, materialistis, tidak punya harga diri, dst. Sementara bagi isteri, masyarakat menjadikannya bahan gosip karena dianggap tidak mampu membahagiakan suami, tidak merawat diri, dst.
Laki-laki sebagai pelaku, seringkali dilenyapkan kehadirannya dalam ruang eksekusi sosial karena dianggap merupakan kodrat, jika tergoda perempuan. Sebab dia (laki-laki) tidak akan melanjutkan niatnya, jika si perempuan tidak memberikan kesempatan. Hal ini bisa kita lihat dari transkrip video tersebut yang kira-kira demikian:
“Kowe butuh duwik? Iyo, kowe butuh duwik, mangkane kowe njaluki duwik bojoku koyo ngunu kuwi. Opo? Kowe ndhak pernah njaluk? Ok. Jenenge wong wedok nek kowe gak nanggapi, bojoku ra mungkin neruske niate.Terus apa sebutan yang pantas saya sebut? Lonthe? Ki lo duwik, ki duwik. Butuhmu mung duwik. Ki duwik. Nyoh, silakan. Puas? Nyoh, kowe ngomong duwik? Iki golek dengan keringat kita berdua. Kok penak men. Nyoh duwik, kenek mbok nggo tuku omah…”.
Identitas Perempuan
Kutipan transkrip dari video ‘Bu Dendy’ ini menarik untuk dicermati. Bagaimana perempuan mengidentifikasi perempuan lain. Dan bagaimana ia memberi identitas terhadap dirinya. Dari video ini kita melihat bagaimana identitas perempuan dikonstruksi dan dikonsumsi. Identitas bukanlah satu konsep yang mandiri. Identitas selalu berkorelasi dengan konteks di mana identitas itu berada. Sebagaimana dinyatakan oleh Laura Gray-Rosendale:
“Identitas, apakah dipahami sebagai konteks politik, institusional, atau konteks, tidak pernah merupakan hasil dari individu tersebut. Sebaliknya, identitas sering ditentukan oleh lingkungan sosial atau praktik-praktik diskursus”.
Identitas perempuan yang menjadi objek dalam video tersebut kemudian kita terima sebagai bentuk diskursus yang baru: perempuan, merebut suami orang lain, hanya menginginkan uang, dan … lonte. Diksi-diksi yang kita temukan sebagai kepingan identitas ini merupakan hasil konstruksi dari narasi perempuan lain yang diberi identitas sebagai Bu Dendy: perempuan yang menjadi korban pelakor, isteri pejabat, korban, dan banyak uang.
Lonte, misalnya, menurut Kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai perempuan jalang, wanita tunasusila, pelacur, sundal. Pilihan kata tersebut adalah konstruksi makna melalui bahasa. Identitas perempuan yang diposisikan sebagai pelaku dilekatkan pada stigma-stigma tertentu sebagai upaya untuk meligitimasi perilaku perempuan yang diberi identitas sebagai Bu Dendy.Sementara identitas Bu Dendy dimanipulasi sedemikian rupa sesuai tujuan yang diharapkannya.
Entah video ini fakta atau sekadar rekayasa, bangunan identitas yang disuguhkan dalam video inisangat dipengaruhi oleh bagaimana para pemerannya berinteraksi. Korban atau aktor, keduanya merupakan identitas yang tidak serta merta hadir melainkan dibangun dan dihadirkan, alih-alih kebenaran. Begitu juga dengan persepsi kita sebagai penonton terhadap identitas kedua perempuan tersebut, merupakan hasil dari perjalanan panjang pengalaman, pengetahuan, dan interaksi kita terhadap orang-orang di sekeliling kita.
Era digital menantang warganet untuk mampu bersikap bijak menerima, memilih, mengonsumsi, dan menyebarluaskan informasi. Hal-hal yang tidak jelas kebenarannya, informasi yang tidak diskriminatif terhadap kelas sosial tertentu termasuk perempuan, mesti disikapi dengan hati-hati dan arif. Tidak perlu bersikap paranoid sehingga antiinformasi, karena hal itupun tak bermanfaat. Namun kita dapat bertanya kepada diri kita sendiri sebelum membagikannya kepada orang lain: apakah informasi ini berguna? Apakah ada kecenderungan merendahkan pihak lain dari konten yang kita baca/dengar/lihat? Saring, sebelum sharing.

——— *** ———

Tags: