Pemerintah mengakui telah terjadi 12 pelanggaran HAM berat yang terjadi di berbagai daerah, serta skala nasional. Selanjutnya pemerintah akan berusaha untuk memulihkan hak-hak korban pelanggaran HAM berat secara adil dan bijaksana. Juga akan mengupayakan penyelesaian yudisial. Namun pemerintah juga wajib ekstra seksama menentukan status “korban,” dan (terutama) pelaku. Berbagai bukti faktual wajib bisa digali, dan dibuktikan.
Masyarakat internasional telah mencetuskan Universal Declaration of Human Rights, UDHR). UDHR (deklarasi HAM), pada muqadimah alenia kedua, menyatakan “bahwa mengabaikan dan memandang rendah rendah HAM telah mengakibatkan perbuatan-perbuatan bengis yang menimbulkan rasa kemarahan… .” Disadari benar, bahwa tindakan anarkhis, kemarahan, dan kebencian, bisa dipicu oleh pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Antara lain, memandang rendah hak orang lain. Karena berbeda warna kulit, dan bahasa.
Selanjutnya pada alenia ketiga, dinyatakan, “… hak-hak manusia perlu dilindungi oleh peraturan hukum supaya orang tidak akan terpaksa memilih pemberontakan sebagai usaha terakhir dalam menentang kezaliman dan penjajahan.” Frassa terakhir, “penjajahan,” (kolonialisasi) diakui sebagai salahsatu bentuk pelanggaran HAM yang nyata. Ironisnya, bangsa-bangsa Eropa, nyata-nyata telah melakukan pelanggaran HAM berat di Kawasan Asia, dan Afrika. Bahkan hingga kini masih bisa dilihat nyata.
Selain penindasan antar-bangsa, pelanggaran HAM berat juga biasa terjadi pada saat perebutan kekuasaan pada suatu negara. Di Indonesia, terjadi dua kali perebut kekuasaan dengan cara ekstremitas kiri. Namun tidak berhasil. Sejarah penumpasan ke-ganas-an ekstremitas kiri pada tahun 1948, dan tahun 1965, menjadi bukti perlawanan rakyat. Sampai lembaga politik tertinggi menerbitkan Ketetapan MPRS Nomor XXV tahun 1966. Serta dikukuhkan dengan TAP MPR Nomor I Tahun 2003. PKI dan ajaran komunisme dilarang. Hingga kini tidak pernah dicabut.
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) hasil pemilu legislatif (tahun 2009, 2014, dan 2019) juga tidak pernah mencabut TAP MPRS Nomor XXV tahun 1966. Walau terdapat wacana (terbatas) berkeinginan meninjau ulang. Namun peninjauan ulang, bisa jadi, memperkuat TAP MPRS Nomor XXV tahun 1966. Misalnya, men-sejajar-kan ekstremitas PKI dengan kejahatan pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) berat. Terdapat bukti-bukti pelanggaran HAM di sekitar Madiun (Jawa Timur) 1948, dan di Lubang Buaya, Jakarta, 1965.
Berdasar temuan Tim PPHAM (Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM), Presiden Jokowi mengakui terdapat 12 pelanggaran HAM berat di Indonesia. Dimulai dari peristiwa Gestapu 1965, disusul tragedi penembakan misterius (sering disebut Petrus, 1982– 985) terhadap pelaku kejahatan jalanan. Serta peristiwa Talangsari (Lampung, 1989), dan tragedi Rumoh Geudong, dan Pos Sattis (Aceh, 1989), lalu peristiwa penghilangan orang secara paksa (1997–1998).
Juga terdapat peristiwa Trisakti dan Semanggi I – II (tahun 1998–1999), dan peristiwa Pembunuhan Dukun Santet (1998 – 1999). Beberapa peristiwa lain berkait pembunuhan yang diakui sebagai pelanggaran HAM berat, adalah peristiwa Simpang KKA (Aceh 1999), tragedi Wasior (Papua, 2001 – 2002), peristiwa Wamena (2003), dan peristiwa Jambo Keupok (Aceh 2003). Tim PPHAM, dibentuk berdasar Keppres Nomor 17 tahun 2022.
Pengakuan pelanggaran HAM berat, berkonsekuensi memulihkan hak-hak korban pelanggaran HAM berat secara adil dan bijaksana. Juga tetap berupaya penyelesaiaan secara yudisial. Pemerintah wajib ekstra waspada, karena intrik politik akan selalui memaksakan kehendak. Termasuk dengan memutar balikkan fakta, dan dokumen palsu. Semakin rumit manakala terdapat pelaku yang menjadi rezim (berkuasa).
Melepas sejarah kelam (ekstremitas, dan mengakui pelanggaran HAM berat) selalu terdapat hikmah (pembelajaran), menuju rekonsiliasi, semacam ishlah tanpa provokasi kegaduhan politik.
——— 000 ———