Pelembagaan Perilaku (sesuai) Pancasila

(Pembentukan Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila)

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior Penggiat Dakwah Sosial Politik

“Kita harus berani berkata bahwa kita semua belum melaksanakan Pancasila dengan sempurna. Dan ini kita sadari bersama.”
(Pidato pak Harto, pada pelantikan BP-7, dimuat dalam “Jejak Langkah Pak Harto 29 Maret 1978 – 11 Maret 1983”)
Sejarah nasional mengenang, dan meng-abadikan dua kali percobaan mengganti dasar negara Pancasila, dengan filosofi lain. Skenario telah dilakukan oleh partai politik (parpol) terlarang, melalui kerusuhan sosial. Namun dua kali pula rakyat semesta melawan secara gigih. Dua kali gagal, menunjukkan bahwa Pancasila sebagai falsafah kenegaraan telah final. Pencantuman (Pancasila) dalam muqadimah UUD, memenuhi formalitas dasar kenegaraan.
Sesungguhnya, realita sosial telah meng-gambar-kan “nafas” Pancasila dalam keseharian masyarakat. Sesuai dengan karakter Indonesia yang majemuk secara etnis ke-suku-an, serta plural dalam keyakinan sosial keagamaan. Kini, seluruh komponen bangsa berkewajiban merealisasi komitmen ber-Pancasila. Lebih kukuh. Serta pemerintah (presiden Jokowi), telah mengukuhkan unit kerja ke-presiden-an untuk pembinaan ideologi Pancasila ((UKP-PIP).
Sebagai “pe-ruwat” falsafah negara, tugas UKP-PIP, lebih mengukuhkan Pancasila sebagai wawasan kebangsaan. Terutama sebagai think-thank (peng-gagasan) Pancasila bisa terwujud dalam Ketetapan (TAP) MPR-RI. Seperti dulu,   terdapat panduan pengamalan Pancasila dibentuk dengan Ketetapan MPR Nomor  II/MPR/1978. Panduan bertajuk Ekaprasetia Pancakarsa menjabarkan kelima asas dalam Pancasila menjadi 36 butir pengamalan.
Pedoman praktis bagi pelaksanaan Pancasila, panduan kondang disebut P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Presiden Soeharto, saat itu (April 1979) di istana negara, membentuk lembaga negara bernama BP7 (Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan P-4). Di seluruh daerah (propinsi serta kabupaten dan kota) juga didirikan lembaga BP-7. Lembaga ini di daerah dipimpin pejabat senior, setingkat Asisten Kepala Daerah.
Tugas BP-7, menjadi think-thank Pancasila, agar dapat disosialisasikan pada seluruh jenjang pendidikan. Pancasila, menjadi kurikulum wajib mulai SD (sekolah dasar) sampai perguruan tinggi. Pancasila sebagai pelajaran wajib, di-inovasi menjadi mata pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila). Sekaligus menggantikan mata pelajaran budi pekerti dan ke-warganegara-an (Civic). Berbagai Kementerian juga menyelenggarakan penataran P4.
Yang paling masif diselenggarakan oleh Kementerian Dalam Negeri, menjadi program wajib seluruh daerah (kabupaten dan kota). Sertifikat lulus Penataran P4, menjadi sertifikat wajib untuk calon pimpinan Karang Taruna, serta seluruh organisasi kemasyarakatan. Bahkan untuk calon pejabat tinggi, lulus P4 menjadi kewajiban sebelum masuk (menjadi peserta) kursus Lemhanas.
Melindungi seluruh Rakyat
Seiring gerakan reformasi (tahun 1998), P4 menjadi salahsatu produk MPR periode orde-baru yang dihapus. Konon, butir-butir P4, dicurigai sebagai “pesaing” ajaran agama. Maka TAP MPR Nomor II tahun 1978, dinyatakan tidak berlaku, dicabut dengan Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998. MPR hasil Pemilu 1997 ini, dua bulan sebelumnya (Maret 1998) memilih kembali Pak Harto, sebagai presiden RI. Namun pada Mei 1998, Pak Harto menyatakan lengser keprabon, mundur karena memperhatikan desakan rakyat.
Boleh jadi, pembentukan UKP-PIP oleh presiden Jokowi, mirip dengan BP-7 yang dibentuk oleh pak Harto. Walau tidak sama persis, karena kebutuhan zaman yang berbeda. UKP-PIP, dipimpin oleh mantan anggota Kabinet (Yudi Latief). Tetapi “di atas” Kepala UKP-PIP, masih terdapat susunan (sembilan) personel sebagai Dewan Pengarah. Seluruhnya, tokoh-tokoh senior lintas agama, juga mantan pejabat tinggi negara.
Misalnya, terdapat mantan presiden (Megawati Soekarnoputri) mantan Wakil Presiden (Jenderal Try Sutrisno), serta Profesor Mahfud MD (mantan Ketua Mahkamah Konstitusi). Juga terdapat Ketua MUI (KH Ma’ruf Amin), Ketua PB-NU Prof KH. Said Agil Siraj, dan mantan Ketua PP Muhammadiyah (Profesor Ahmad Syafi’i Ma’arif). Serta mantan pimpinan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Ketua Majelis Buddhayana Indonesia, dan Ketua Parisadha Hindu Dharma Indonesia.
Personel Dewan Pengarah PIP, sudah komplet (dan tepat). Walau tidak seluruhnya merupakan tokoh yang “sejalan” dengan Jokowi, saat Pilpres (2014), maupun Pilkada Jakarta (2017). Tetapi seluruh personel telah menunjukkan dedikasi ke-Pancasila-an, dan menjunjung tinggi pluralisme (ke-bhineka-an) Indonesia. Pancasila, merupakan keniscayaan kebangsaan Indonesia, yang dibangun oleh berbagai suku (etnis).
Pada tataran teori bernegara, terdapat asas Pactum Unionis. Yakni perjanjian antara masyarakat dan kelompok masyarakat untuk membentuk suatu negara yang melindungi warganya. Sebagaimana di “negara” Madinah, dahulu dikenal adanya perjanjian Shahifah Madinah  (ditulis tahun 622 masehi). Tujuannya untuk seluruh warga Madinah, tanpa pembedaan suku dan agama. Prinsipnya adalah egalitarian, persamaan hak setiap rakyat yang dijamin dan dilindungi oleh negara.
Peng-gagas-an Pancasila senafas dengan Shahifah Madinah. Senafas dengan Magna Carta, milik Inggris yang digagas pada 15 Juni 1215. Senafas pula  dengan Declaration of Independence of USA (Kemerdekaan Amerika Serikat). Juga senafas dengan deklarasi revolusi Perancis “La Déclaration des droits de l’Homme et du citoyen.” Melalui dasar negara, sistem penyelenggaraan negara diatur sesuai adat dan budaya bangsa.
Sudah Final
“Pancasila sebagai dasar negara, sudah final.” Begitu pidato Rais Aam Syuriyah PB-NU, (alm) KH Achmad Shiddiq, setelah terpilih pada Muktamar NU ke-27. Sebagai pucuk pimpinan NU (Nahdlatul Ulama), perlu memberikan pernyataan publik terhadap hasil muktamar yang diselenggarakan di Situbondo, Jawa Timur (tahun 1984). Terutama isu strategis, perihal asas tunggal Pancasila, yang menjadi perdebatan kalangan agama.
Pernyataan ulama filsuf muslim Indonesia (KH Achmad Shiddiq) itu, bagai “kata putus.” Pertanda dimulainya pengakuan Pancasila sebagai asas setiap ormas dan partai politik. Sejak pidato itu, tiada lagi perdebatan tentang Pancasila. Berselang setahun, pemerintah (bersama DPR) menerbitkan UU (undang-undang) tentang organisasi kemasyarakatan. Lalu disusul UU tentang organisasi politik. Seluruhnya, wajib ber-asas Pancasila.
Selama tiga dekade (sejak 1984), kalimat yang sama diucapkan oleh lima Presiden. Dimulai peniruan oleh pak Harto, lalu disusul KH Abdurrahman Wahid, Megawati, SBY dan Jokowi. Dengan kata-kata yang persis pula! Pengucapan final-nya Pancasila, biasanya terjadi pada tanggal 1 Juni, sebagai hari penggagasan Pancasila. Serta pada hari kesaktian Pancasila (1 Oktober). Namun tak jarang, juga diucapkan secara tegas, ketika terjadi upaya pengingkaran terhadap dasar negara.
Tetapi akhir-akhir ini, geliat psikologi sosial di-risau-kan dengan adanya isu merebaknya pengingkaran terhadap Pancasila. Isu dipaparkan oleh Menteri Dalam Negeri, serta Menteri Koordinator bidang Politik dan Keamanan. Maka presiden Jokowi, meng-anggap perlu menegaskan final-nya Pancasila. Artinya, siapapun tidak boleh meng-ingkari Pancasila sebagai dasar negara. Karena Pancasila menjadi bagian dari muqadimah UUD.
Batang tubuh UUD boleh di-amandemen, disempurnakan sesuai kebutuhan zaman. Tetapi muqadimah UUD (yang di dalamnya terdapat lima sila Pancasila) tidak boleh diubah. Sebab peng-gagas-an dasar negara (Pancasila) oleh para pendiri negara, terbukti sesuai dengan ke-bhineka-an Indonesia. Meski UUD 1945 ditetapkan kembali sebagai dasar negara sejak dekrit Presiden 5 Juli 1959. Namun sesungguhnya Pancasila merupakan “potret” sosial sejak awal adanya bangsa Indonesia.
Maka Pancasila sebagai dasar negara, wajib dilaksanakan oleh seluruh penyelenggara negara, dan seluruh rakyat Indonesia. Namun harus diakui, penyelenggara negara belum sepenuhnya dapat memenuhi amanat Pancasila. Seperti pernah diakui pak Harto.

                                                                                                                   ——— *** ———

Tags: