Peluang Judicial Review Pemilu Serentak

Oleh :
Jamil, SH, MH
Anggota Bawaslu Kabupaten Sidoarjo

Pemilihan umum serentak didasari oleh Putusan Mahkmah Konstitusi (Putusan MK) Nomor 14/PUU-XI/2013. Berdasar putusan MK aquo pembentuk undang-undang (DPR dan Eksekutif) mengakomudir dalam Pasal 167 ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan pelaksanaan pemilu serentak pertama terjadi pada April tahun 2019 lalu.
Pemilu serentak adalah pemilihan umum yang menggabungkan antara pemilihan presiden dan wakil presiden, dengan pemilihan DPR dan DPD dalam satu jadwal pelaksanaan.
Sedangkan untuk pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak didasari oleh Pasal 3 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-undang.(UU Pilkada 2015). Dan dilaksanakan secara bertahap hingga nanti tahun 2024 menjadi pelasanaan pemilihan kepala daerah serentak nasional.
Belum sempat terlaksana pemilihan kepala daerah serentak nasional, Perludem salah satu NGO yang bergerak dibidang pemilu dan demokrasi, melakukan judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi untuk dapat merubah pola keserentakan dalam pemilihan yang saat ini didasarkan klasifikasi rezim pemilu dan pilkada menjadi keserentakan berdasarkan pola pemilihan berbasis pusat dan daerah. Maksud pemilihan berbasis pusat adalah pemilihan untuk memilih President dan wakil president, anggota DPR RI dan anggota DPD, sedangkan pemilihan berbasis daerah adalah pemilihan untuk memilih kepala daerah (gubernur, Bupari dan Wali kota) dan anggota DPR Daerah. Dengan kata lain pemilihan President dan wakli Presiden, DPR RI dan DPD menjadi satu paket dalam pemilihan pusat sedangkan pemilihan anggota DPRD dan kepala daerah juga menjadi satu paket dan dilaksanakan serentak di daerah setempat.
Dasar kuat pengajuan judicial review tersebut adalah pemilihan dengan basis rezim terbukti tidak efektif dan banyak menimbulkan masalah diantaranya adalah: (1) 2.249 TPS harus melakukan pemungutan suara susulan karena terkendala logistic baik karena terlambat, rusak, maupun tertukar. (2). Pemungutan dan penghitungan suara terlalu panjang dan melelahkan sehingga berakibat 527 orang anggota KPPS meninggal dunia dan 11239 yang sakit belum termasuk petugas di bawah structural Bawaslu. (3). Suara tidak sah juga sangat meningkat hingga mencapai 17,5 juta untuk pemilihan legislative. (Jawa Pos 21 September 2019).
Perubahan pola keserentakan dari basis rezim ke basis wilayah kepemimpinan ini, juga direkomendasikan oleh Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) melalu Konferensi 6 yang dilaksanakan di Hotel Luwansa Jakarta awal September kemaren, bahkan KPU RI sebagai leading sector utama dalam pelaksanaan pemilu juga merekomendasikan pemisahan pemilu serentak berdasarkan wilayah. (https://tirto.id/kpu-rekomendasi-pemilu-serentak-dipisah-jadi-dua-nasional-daerah-dmVw).
Tulisan ini akan manakar peluang dikabulkannya permohonan judicial review atas keserentakan dalam pemilihan. Pendekatan yang digunakan adalah statute approach yaitu pendekatan perundang-undangan terutama kontruksi UUD NRI 1945 dalam mendesain sitem pemilu di Indonesia.
Pertama, Desain Pemilihan Umum dan Kepala Daerah Berdasar UUD NRI 1945. Pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diatur dalam Pasal 22E ayat (2) UUD NRI 1945. Sedangkan pemilihan kepala daerah diatur dalam pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945. Bila mencermati pengaturan dalam UUD NRI 1945 tersebut maka, desain konstitusi dalam membagi rezim pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah sudah sangat jelas secara expressis verbis pemilihan anggota DPR, DPD Presiden dan wakil Presiden dan DPRD menjadi satu paket dalam pemilihan umum sedangkan pemilihan kepala daerah merupakan rezim tersendiri.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (UU Penyelenggara Pemilu 2007) memang sempat menggolongkan pemilihan kepala daerah masuk rezim pemilihan umum yang kemudian dikuatkan dengan lahirnya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemda yang mengalihkan wewenang Mahkamah Agung dalam menangani sengketa hasil pilkada ke Mahkamah Konstitusi. Atas dasar itu istilah pilkada menjadi jamak dikenal dengan istilah Pemilukada.
Namun kedua undang-undang tersebut, saat ini sudah tidak berlaku lagi. UU Penyelenngara Pemilu 2007 dicabut oleh Pasal 136 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, sedangkan undang-undang 12 Tahun 2008 sudah diganti oleh undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang pilkada sendiri yang sudah mengalami perubahan hingga dua kali dan terkhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016. Mahkamah konstitusi sendiri juga telah secara tegas mengatakan bahwa pilkada memiliki rezim sendiri yang berbeda dengan rezim pemilu. (putusan MK No. 97/PUU-XI/2013 ) atas dasar aquo MK menindaklanjutinya dengan menyerahkan kewenangan penyelesaian sengketa hasil pilkada ke Mahkamah Agung, maskipun pada akhirnya pemerintah tetap mendelegasikan penanganan sengketa hasil pilkada kepada Mahkamah Konstitusi sebelum terbentuknya peradilan Khusus (Pasal157 ayat (3) UU Nomor 8 Tahun 2015).
Berdasar beberapa fakta hukum di atas, penulis berpendapat sangat kecil peluang bagi mahkamah konstitusi untuk mengabulkan judicial review untuk merubah pola keserentakan pemilihan berbasis wilayah karena tidak mungkin mahkamah mengingkari desain pemilihan sebagaimana yang sudah jelas diatur dalam UUD NRI 1945.
Kedua, Secercah Harapan, Harapan yang masih tersisa bagi pemohon JR adalah sistem pemilihan pilkada yang diatur secara multi tafsir yaitu frasa “secara demoktratis”. Saat ini undang-undang memberi tafsir atas frasa secara demokratis dalam pemilihan kepala daerah dengan sistem pemilihan langsung dan dengan memilih pemilihan langsung dalam pemilihan kepala daerah berarti sudah memasukkan salah satu unsure prinsip pemilihan umum kedalam unsure pemilihan kepala daerah (Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945). Unsure pemilu lain yang diadopsi oleh pemilihan kepala daerah adalah pelaksanaan pemilihan kepala daerah oleh penyelenggara yang sama. Hakikatnya konstitusi mengamanahkan penyelenggaraan pemilihan kepada suatu komisi pemilihan umum hanya untuk pemilihan umum (pasal 22E ayat (5)) namun faktanya undang-undang juga mengamanahkan pelaksanaan pilkada kepada organ yang sama. Kemiripan unsure-unsur pemilu dan pilkada ini juga pernah diakui oleh MK dalam putusannya bernomor. 072-073/PUU-II/2004.
Melebburnya dua unsure pemilihan umum ke pemilihan kepala daerah tersebut, bisa jadi secercah harapan bagi pemohon agar mahkamah dapat memberi tafsir bahwa pola keserentakan dapat dipisah berdasarkan kewilayahan kerena pada hakikatnya sistem pemilu di Indonesia adalah satu rezim sehingga pembedaan sebagaimana dalam desaian pengaturan konstitusi tersebut sebenarnya tidak dimaksud untuk membeda-bedakan rezim pemilihan antara paket pemilihan umum yang memilih DPR,DPD, Presiden dan DPRD dengan pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.

———- *** ————

Tags: