Pembangunan Partisipatif, Suluh dalam Melahirkan Kemandirian Masyarakat

Oleh :
Abdus salam As’ad
Penulis Adalah Direktur Kedai Jambu Institute dan Koordinator Kota KOTAKU Kota Surabaya

Pembangunan itu bukan soal angka. Panjang kali lebar dan jumlah unit sebagai indikasi bahwa pembangunan sudah berjalan dengan baik. Itu semua hanya menjadi bagian terkecil dalam pembangunan. Pembangunan infrastruktur yang berkualitas tanpa dibarengi dengan pembangunan manusia akan melahirkan borok yang menjijikkan. Dan pada gilirannya akan melahirkan perilaku masyarakat yang tidak baik-baik saja.

Reformasi memberi ruang dan keleluasaan kepada masyarakat untuk menjadi bagian penting dalam pembangunan. Selama rezim Orde Baru model pembangunan masyarakat hanya menjadi penonton dan penikmat pembangunan. Sentralisasi kekuasaan yang abai terhadap partisipasi masyarakat berimplikasi terhadap model pembangunan yang tidak menyelesaiakan ragam persoalan masyarakat. Pembangunan hanya bertumpu pada kepentingan proyek dan target kebijakan yang tidak menjawab dan memenuhi kebutuhan masyatakat.

Kebijakan sentralistik dengan menggunakan kaca mata kuda melahirkan banyak masalah dikemudian hari. Masyarakat sebagai entitas makhluk sosial disandra dan dikebiri atas nama pembangunan. Dan pada gilirannya, pembangunan hanya menggugurkan kewajiban semata.

Sentralisasi pembangunan lebih mengedepankan angka-angka untuk mengukur parameter keberhasilan. Misalnya seperti indikator pembangunan diukur angka pertumbuhan ekonomi, angka pendapatan perkapita, nilai ekspor, dan hasil pembangunan infrastruktur menunjukkan kinerja yang bagus. Angka rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia bahkan pernah mencapai kurang lebih 7,7 persen pertahun pada kurun waktu tahun 1971-1981 (Hill, 1996).

Pembangunan berbasis angka disetiap orde baik Orde Lama, Orde Baru bahkan Orde Reformasi menjadi rujukan dan parameter sohih bagi negara. Suguhan data untuk mengkalkulasi akan keberhasilan pembangunan menjadi tolak ukur tak terbantahkan. Berapa angka kemiskinan, berapa angka pengangguran, berapa prosentasi luas kumuh yang sudah terkurangi. Tentu, deretan angka sebagai parameter keberhasilan sah -sah saja, tetapi pembangunan kemanusiaan yang menempatkan manusia sebagai subyek pembangunan mutlak adanya. Filosofi pembangunan untuk memanusiakan manusia menjadi proyeksi utama dalam cita-cita pembangunan. Jika tidak infrastrukturnya baik dan mega, tetapi perilaku masyarakatnya bobrok.

Hal ini juga ditegaskan oleh Daoed Joesoef mantan menteri Pendidikan Nasional Kabinet Pembangunan III, mengatakan pembangunan nasional seharusnya jangan hanya berorientasi pada ekonomi saja melainkan juga warga negara. Kekeliruan yang terjadi adalah pembangunan nasional ditransformasikan menjadi pembangunan ekonomi,” ujar Daoed dalam seminar budaya yang diselenggarakan Yayasan Suluh Nuswantara Bakti di Jakarta, Sabtu (1/8/2015) Pembangunan seharusnya bertujuan membuat warga negara bahagia, untuk bisa memiliki nilai tambah dan menjadi lebih berdaya dan bukan sekedar menaikkan pendapatan.

Tafsir pembangunan selama ini selalu berbanding lurus dengan perubahan fisik, perbaikan fisik. Sementara sisi mental perubahan perilaku masyarakat tidak menjadi proyeksi utama dalam konteks pembangunan. Tragisnya pembangunan seringkali membajak nilai-nilai lokal budaya lokal masyarakat. Atas nama pembangunan, kearifan dan kebajikan terhadap budaya lokal harus tereleminasi. Tentu ini menjadi refleksi dan perenungan bersama bahwa pembangunan tidak hanya bertumpu terhadap infrastruktur masyarakat tetapi abai terhadap suprastruktur yang menjadi identitas dan nilai -nilai yang sudah tumbuh dan berkembang dalam tradisi kehidupan masyarakat.

Munculnya regulasi Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 25 Tahun 2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional mencakup lima pendekatan dalam seluruh rangkaian perencanaan yang meliputi: Pertama Politik, Kedua Teknokratik Ketiga, Partisipatif Keempat, atas bawah (Top Down) Kelima, bawah atas ( bottom up). Secara regulatif sudah diatur mengenai model perencanaan. Tetapi sebagaimana kita ketahu bersama regulasi tak berbanding lurus dengan fakta yang ada di lapangan

Ruang perencanaan sudah diatur sedemikian rupa, tetapi menjadi problem utama jika kultur dan perilaku masyarakat tidak meletakkan regulasi sebagai pijakan dasar dalam mengimplementasikan perencanaan tersebut. Munculnya elit elit kecil yang berwatak feodalistik di masyarakat tentu menjadi fakta umum yang sulit dibantah

Banyak program pemerintah yang memposisikan perencanaan partisipatif sebagai medium dan gelanggang masyarakat untuk terlibat dalam pembangunan. Mulai dari Musrenbang, Musyawarah desa (Musydes), bahkan program pemberdayaan masyarakat seperti Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) Program Keluarga Harapan (PKH) PNPM Mandiri Perkotaan yang saat ini bertransformasi menjadi Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) Sanitasi Desa (SANDES) Sanitasi Berbasis Masyarakat (SANIMAS) dan banyak program pemerintah yang berbasis pemberdayaan masyarakat.

Program tersebut di atas menjadi panggung bagi seluruh masyarakat tanpa tebang pilih untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Akan tetapi tentu tidak semudah membalik telapak tangan masyarakat tiba-tiba aktif dan berpartisipasi dalam pembangunan. Paradigma akut yang mengendap dalam memori kolektif masyarakat adalah bahwa pembangunan masih dinilai masyarakat sebagai panggung yang bisa diwakilkan kepada RT, RW, kadus atau tokoh masyarakat.

Nyatanya, fakta yang ada dalam masyarakat seringkali, tokoh-tokoh struktural seperti RT, RW atau tokoh masyarakat tak berdaya dan tidak artikulatif terhadap permasahalah yang dihadapi oleh masyarakat.

Syahdan, RT atau RW menjadi elit baru yang berwatak oligarkis dimana perencanaan pembangunan seringkali hanya berkutat di lingkungan keluarga pak RT. Bias perencanaan, bias penerima manfaat dan tidak tepat sasaran akibat watak ketua RT yang seolah-olah paling paham terhadap permasalahan warganya, dan yang terjadi sebaliknya.

Tidak ada upaya lain, tidak ada metode dan formula yang jitu dalam pembangunan kecuali melibatkan masyarakat rentan dalam perencanaan pembangunan. Artinya, masyarakat lah yang menjadi pelaku utama dalam pembangunan. Perempuan rentan/miskin, kelompok difabel atau kelompok miskin yang menjadi subyek pembangunan.

Membincangkan kemiskinan, yang paling tahu dan paham adalah orang miskin itu sendiri, jika kita merencanakan pembangunan yang ramah terhadap kaum difabel, maka kaum difabel yang paling mengerti dan tahu akan kebutuhan dan permasalahan kaum difabel itu sendiri

Ruang kesadaran dan perubahan cara pandang masyarakat itulah yang harus didorong dan difasilitasi bahwa yang paling paham akan persoalan masyarakat adalah masyarakat itus sendiri. Bukan pendamping, bukan RT, bukan Lurah atau kades. Relung kesadaran masyarakat rentan selama ini belum optimal, sehingga partisipasi dalam pembangunan tidak maksimal. Pembangunan seolah hanya menjadi ritual dan proyek tahunan pemerintah yang tidak menuntaskan ragam masalah yang mendera masyarakat.

Pembangunan yang seolah-olah partisipatif hanya menjadi instrumen untuk menyalurkan proyek-proyek pemerintah tetapi tidak efektif dalam melahirkan kesadaran kritis, penyadaran masyarakat, sehingga pembangunan semata-mata untuk kebutuhan pembangunan, tetapi tidak bisa menjadi suluh dalam melahirkan perubahan sosial yang mampu mengantarkan masyarakat menjadi berdaya dan mandiri.

———- *** ———–

Tags: