Pembebasan Ratu Mariyuana

Terpidana Schapelle Leigh Corby, memperoleh pembebasan bersyarat. Sebelumnya, “ratu mariyuana” itu sukses mendapat pengurangan hukuman lima tahun penjara setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani pemberian grasi pada  20 Mei (2012) lalu, menjadi 15 tahun. Ini menjadi catatan kemunduran penegakan hukum terhadap pengedar narkoba, karena Corby tak cukup bekerjasama untuk membongkar kejahatannya.
Corby ditangkap membawa ganja seberat empat kilogram di Bandar Udara Ngurah Rai, Bali, pada Oktober 2004. Karena perbuatannya itu, Pengadilan Negeri Denpasar mengganjar Corby 20 tahun penjara karena terbukti menyelundupkan ganja seberat 4,2 kilogram dari Australia. Pihak Corby mengajukan grasi setelah dinyatakan mengalami gangguan jiwa oleh dua dokter berbeda. Kasus ini memperoleh perhatian luas media serta publik Indonesia dan Australia, termasuk kalangan DPR-RI.
Berdasarkan amanat UUD 1945 pasal 14 ayat (1) Presiden secara prerogatif memiliki hak memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan MA (Mahkamah Agung). Lebih lanjut, amanat UUD itu di-brekdown dengan UU Nomor 22 tahun 2002 tentang Grasi. Pada pasal 11 UU 22 tahun 2002 mensyaratkan pertimbangan MA.
Tetapi grasi, tidak segampang bagai memberi angpao imlek. Terdapat PP (Peraturan Pemerintah) 99 tahun 2012 tentang Syarat dan Tatacara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. PP tersebut merupakan pengejawentahan UU Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Pada pasal 14 ayat (1) disebutkan terdapat 13 hak napi. Dengan PP itu dimaksudkan pemberian remisi lebih ketat, dengan persyaratan khusus.
Yang patut dikaji seksama adalah persyaratan khusus yang disebut pada pasal  34A, ayat (1) huruf a. Yakni, apabila “bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya.” Dengan kerjasama itu sekaligus menjadi pertanda pertobatan.  Namun dalam hal ini, sindikat yang terkait dengan 4,2 kilogram mariyuana yang dibawa oleh Corby masih tetap tak terbongkar. Maka pemberian grasi itu yang mengecewakan.
Namun grasi yang menciderai penegakan hukum pemberantasan narkoba, bukan hanya sekali pada Corby. Ada pula yang lebih mengecawakan, sampai kalangan DPR-RI berniat meng-impeachment  Presiden SBY. Bahkan UU Nomor 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, mengamanatkan penyelidikan kebijakan pemerintah. Pada pasal 77 ayat (3) hak itu dimandatkan kepada DPR berkaitan dengan hal penting, strategis dan berdampak luas, yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.   
Bagai ibarat, nasi sudah menjadi bubur. Grasi dan remisi tidak membuat jera pelaku kriminal berat. Seperti grasi yang diberikan kepada Meirika Franola melalui Keppres Nomor 35/G/2011) bertanggal 26 September 2011. Konon tak sesuai prosedur. Siapa memberi “bisikan maut” sampai Presiden tetap memberikan grasi tanpa pertimbangan MA? Sehingga seketika grasi dikeluarkan, sudah direaksi negatif di tataran praktisi hukum. Dan lebih lagi ketika diketahui Franola tetap mengendalikan haram dari dalam penjara. Hujatan (sampai cacian) tertuju pada Presiden.
Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Againts Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances (tahun 1988). Yakni melalui UU No 7 tahun 1997. Konvensi itu, memberi label khusus perdagangan obat narkotika dan bahan psikotropika sebagai kejahatan serius. Dalam Pasal 3 ayat (6) disebutkan bahwa pemerintah harus memastikan pengenaan sanksi yang maksimum. Juga tidak perlu memberi remisi, apalagi grasi.
Remisi yang diberikan kepada Corby, konon sudah sesuai prosedur. Juga dengan pertimbangan banyak WNI memperoleh perlakuan yang sama di Australia. Konon pula terdapat pertimbangan “barter” pemulangan buron koruptor Indonesia. Tetapi sudah terlalu banyak grasi diberikan untuk sindikat narkoba internasional.  Namun rakyat siap jihad melawan sindikat narkoba, walau harus berhadapan dengan kekuatan maha-besar sekalipun.

Rate this article!
Pembebasan Ratu Mariyuana,5 / 5 ( 1votes )