Pemberantasan Ijazah Palsu Harus Dimulai dari Atas

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

Jakarta, Bhirawa
Maraknya jual beli gelar atau titel harus segera diberantas dan sistem pendidikan Indonesia yang sulit dijalani rakyat kecil harus diubah. Sebab pendidikan merupakan fondasi untuk membentuk bangsa beradab. Pemberantasan ijasah palsu harus dimulai dari atas, dari posisi strategis terlebih dulu baru kemudian ke bawah.
Demikian benang merah dari 3 narasumber dalam dialektika demokrasi bertajuk  Ijazah Palsu Cederai Dunia Akademik di pressroom DPR RI, Kamis (28/5) kemarin. Ketiga narasumber adalah Waka Komisi X DPR RI Shohibul Iman (PKS), Prof Musni Umar dari UIN Hidayatullah dan Chusnul Mariyah pakar politik UI.
Shohibul Iman menyarankan, untuk merevisi UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi (PT). Sebab UU tersebut sangat liberal, di mana negara asing ðengan leluasa bisa membuka PT di Indonesia. Payahnya, pengawasan dan kontrol pemerintah terhadap PT asing tersebut sangat minim. Sehingga dengan mudahnya PT asing itu berbuat semaunya. Contohnya Universitas Barkeley dan Jakarta Internasional School (JIS) yang menghebohkan.
“Kehadiran PT asing ini bisa dimaklumi sebab negara belum mampu menggelar PT yang berkualitas. Walau pun demikian, pemerintah tidak boleh membiarkan PT asing merusak tatanan pendidikan yang ada. Menristek harus menangani masalah ijazah palsu ini secara tuntas. Jika tidak, maka permasalahan ini akan terkubur tetapi akan terjadi lagi di kemudian hari,” ujar Shohibul.
Prof Musni Umar melihat, ijazah palsu yang diminati banyak kalangan terkait dengan budaya. Di mana gelar atau title itu dianggap sangat penting sebagai simbol untuk memperoleh kehormatan. Gelar Juga dianggap bisa mengangkat status sosial dalam masyarakat. Akibatnya, gelar diburu untuk didapat dengan menghalalkan segala cara. Termasuk jual beli ijazah, seperti yang selama ini terjadi.
“Jual beli ijazah pada umumnya dilakukan kalangan pejabat untuk meningkatkan kedudukannya. Sementara rakyat kecil fokus bergulat untuk bisa memperoleh pendidikan terendah sekalipun. Namun dari keterbatasannya, untuk meraih tamat SD saja sulit.  Lebih dari separo ( 51,5%)Tenaga Kerja Indonesia (TKI) hanya berijazah SD dan berijazah SMP 18,5%,” jelas Musni Umar.
Chusnul Mariyah menceritakan pengalamannya sewaktu menjabat di KPU. Dari penelitian di KPU didapati para calon pejabat yang ikut Pemilu, sekitar 70 ijazah mereka meragukan. Namun karena waktu itu timÍngnya belum seperti sekarang ini, jadi tidak bisa dilakukan tindakan apapun.    “Menurut saya, gelar profesor itu untuk pencapaian administratif, sedang gelar doktor pencapaian akademik,” tutur Chusnul. [ira]

Tags: