Pemekaran Wilayah Harus Menyejahterakan, Bukan Jadi Beban Fiskal

Jakarta, Bhirawa.
Tujuan utama pemekaran wilayah, menurut anggota DPR RI Herman Khaeron (Demokrat), adalah untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi rakyat dan mensejahterakan rakyat. Pemekaran wilayah atau pembentukan daerah otonomi baru, jangan sampai membawa beban fiskal dan beban aspek sosial serta aspek-aspek lain yang memberatkan.
“Setiap pemekaran wilayah harus melalui kajian-kajian dan persiapan matang. Sangat tidak tepat bila otonomi daerah hanya dari keputusan politik. Lalu membuat rakyatnya menjadi tidak sejahtera, juga membebani penghasilan rakyatnya. Kemudian fiskalnya juga lebih besar terhadap operasional ya, dari pada pembangunannya,” ungkap Herman Khaeron dalam diskusi bertema “Pemekaran Papua, Sebuah Keniscayaan atau Petaka ?”, Kamis sore (5/3). Nara sumber lain, Andi Bataralifu, Direktur Penataan Daerah, Otsus dan DPOD, Dirjen Otoda Kemndagri, Adrian Elizabeth dari LIPI dan Hironimus Hilapok Direktur Papua Circle Institute.
Tentang moratorium atau penundaan pemekaran wilayah sejak 2014, didasarkan pada penilaian ke-efektifan dan efisiensi terhadap hasil yang dilakukan atas terjadinya daerah otonomi baru. Moratorium  ini dilakukan berdasarkan hasil evaluasi dan penilaian. Karena sangat tidak efektif, jika pemekaran hanya didasarkan pada keputusan politik. Moratorium yang diputuskan lewat Kepres, tujuannya untuk memberikan ruang yang cukup untuk meng-kaji ulang, untuk me-review. Apakah keputusan pembentukan daerah otonomi baru, betul-betul bertujuan untuk men-sejahterakan rakyatnya.
“Pemekaran wilayah haruslah akan menjadi sumber pendanaan baru, fiskal baru, baik bagi provinsi atau kabupaten/kota induk, maupun daerah otonomi baru. Karena ada banyak cara untuk bisa men-sejahterakan dan meningkat kan pendapatan rakyat. Banyak cara untuk mendekatkanpelayanan publik. Sehingga rakyat merasa pelayanan publik menjadi lebih baik,” jelas Herman Khaeron.
Andi Bataralifu secara umum mengatakan, tujuan pemekaran wilayah adalah alat untuk menciptakan kesejahteraan daerah. Sebagai alat, bisa saja disebut penggabungan. Terkait dengan penataan daerah, daerah yang relatif cepat ber-akselerasi setelah status berubah menjadi otonom. Itu adalah sebagian besar, bahkan hampir seluruhnya  adalah daerah- daerah mantan, menjadi daerah. 
“Akselerasinya langsung runing well, jalan dengan baik. Sedang daerah daerah yang muncul karena mekar secara murni, ini perlu Pendampingan dan supervisi yang lebih intens. Supaya bisa ber-akselerasi dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan.”papar Herman.
Tentang pemekaran wilayah, kata Andi, tidak sepenuhnya menjadi jawaban terhadap pencapaian kesejahteraan. Sepanjang seluruh pihak berkomitmen untuk menjadikan pemekaran sebagai alat menuju kesejahteraan, itu baik. Bukan alat untuk mencapai kekuasaan, bukan alat untuk mendapatkan jatah dan lain- lain. Kalau berbeda, pastilah tujuan itu sulit dicapai.
“Dalam UU nomor 23/2014 diatur rentang waktu kurang lebih 3 tahun dalam bentuk daerah persiapan, untuk menyelesaikan dan menuntaskan masalah. Agar tidak terjadi, pada saat sudah menjadi daerah otonom, sudah tidak ada lagi maslah batas wilayah. Tidak ada lagi masalah asset. Contoh pulau Berhala yang sampai bertahun-tahun baru selesai,” tandas Andi Bataralifu.
Hironimus Hilapok, sebagai warga asli Papua, mengusulkan; agar Papua dipecah menjadi beberapa provinsi, kemudian kabupaten/kota. Tetapi harus ada seperti Gubernur Jenderal nya, atau badan yang meng- koordinir semua provinsi. Mengingat wilayah Papua selain luas, jarak wilayah satu ke yang lain juga sangat sulit dijangkau kendaraan umum biasa. Kondisi wilayah di Papua tidak sama dengan kondisi wilayah lain di Indonesia. Sehingga Papua memerlukan cara tersendiri dalam pemekaran wilayahnya. [ira]

Tags: