Pemenuhan Kuota Perempuan Masih Sebatas Syarat Administratif

Wahyuni Refi Setya Bekti

Wahyuni Refi Setya Bekti

Jalan Terjal Perempuan Menuju Parlemen (3 – habis)
Surabaya, Bhirawa
Dibandingkan Pemilihan Umum (Pemilu) sebelumnya, dalam Pemilu 2014 ini perempuan yang ingin menjadi calon legislatif (caleg) lebih lapang jalannya.  Sebab, partai politik dipaksa untuk mematuhi ketentuan 30% keterwakilan perempuan. Jika tidak terpenuhi, pengajuan daftar caleg  parpol akan dinyatakan tidak memenuhi syarat oleh Komisi Pemiluhan Umum (KPU).
“Parpol tugasnya ternyata hanya di tataran norma dan target untuk bisa menang, tapi dalam implementasi papol tidak care pada kebutuhan caleg,” keluh Caleg perempuan DPR RI dari Partai Golkar untuk Dapil Jatim 1 Dr Hesti Armiwulan, SH MH. Menurut Hesti, parpol seolah membiarkan para caleg bertanding dengan cara masing-masing sehingga sering terjadi konflik antar caleg karena etika sudah tidak jadi pertimbangan.
“Affirmative action seharusnya tidak hanya berhenti pada pemenuhan 30 % calegnya adalah perempuan, tetapi parpol seharusnya juga memberi perhatian dan perlakuan khusus pada caleg perempuan selama proses kampanye,” jelasnya. Kalau kondisi seperti itu terus terjadi lanjut Hesti, maka keberadaan caleg perempuan masih diposisikan sebagai sarana untuk tercapainya syaat administrasi yang diwajibkan UU.
“Bagaimanapun parpol semestinya ikut membantu caleg perempuan agar tidak bertarung bebas di arena yang selama ini dikuasai laki-laki,” pinta Hesti lagi.
Senada dengan Hesti, Caleg perempuan DPR RI dari Partai Golkar untuk Dapil V (Malang Raya, red) Umi Azizah Rachmawati mengakui dalam kondisi politik yang serba transaksional ini caleg laki-laki lebih banyak yang diuntungkan.
“Selain karena umumnya mereka (laki-laki, red) lebih memiliki modal, juga mereka lebih berani khususnya dalam melakukan sesuatu yang bersifat transaksional,” jelasnya. Namun demikian, Iim tidak terlalu merisaukan hal itu karena masyarakat yang disasarnya berbeda dengan caleg laki-laki.
“Kebetulan saya lebih fokus pada ibu-ibu pengajian yang mungkin tidak banyak dilirik caleg laki-laki,” jelasnya sambil tersenyum.
Dalam bahasa yang berbeda, Caleg DPR RI dari partai PAN untuk Dapil Jatim V (Malang Raya) Wahyuni Refi Setya Bekti, SH MH menilai  secara prosedural ketentuan tentang kuota 30% memang sudah terpenuhi, tetapi secara substantif dalam konteks penguatan positioning perempuan dalam politik melalui salah satu mekanisme pileg masih jauh dari harapan.
“Penguatan perempuan di ranah politik melalui pileg tidak sekadar artifisial, tapi harus serius. Pembangunan Indonesia ke depan butuh perempuan cerdas dan amanah,” tegas Refi yang saat ini menjabat sebagai wakil sekretaris DPP PAN. Namun demikian mantan Presidium PP GMNI ini mengingatkan bahwa semua itu juga kembali kepada kesiapan mental, pikiran dan energi perempuan sendiri untuk terus menerus melakukan up grade dirinya agar benar-benar tangguh di ranah politik.
“Sebenarnya kuota 30% perempuan itu hanya stimulus, selebihnya jika perempuan mampu menguatkan dirinya maka tidak perlu lagi ada persyaratan kuota,” tambah aktivis Cipayung Surabaya era 96-an.
Wakil Ketua DPD Demokrat Jatim Nur Muhyidin tidak sependapat kalau caleg perempuan harus terus mendapatkan perlakuan khusus dalam Pileg. Menurut anggota Komisi E DPRD Jatim ini, di Partai Demokrat yang menurut dia sudah mapan sistem rekrutmennya, caleg perempuan yang direkrut adalah yang berkualitas termasuk lihai dalam menggalang dukungan.
“Terbukti caleg perempuan yang lolos ke DPRD Jatim bahkan suaranya melebihi caleg laki-laki,” jelas mantan aktivis mahasiswa era 98 yang kembali maju lewat Dapil Jatim VI ini.
Kecenderungan parpol yang bersikap pragmatis dalam memenuhi kuota 30% diamini pengamat politik dari Universitas Airlangga Priyatmoko. Menurut Priyatmoko Partai tentu berharap perempuan yang direkrut adalah yang bisa mendulang suara dan menguntungkan partai, tetapi tentu jumlah itu terbatas, akibatnya tentu mereka mencari siapa saja yang mau menjadi caleg.
“Bagi partai besar yang sudah mapan sistemnya mungkin kualitas caleg perempuannya lebih memadai, tetapi bagi partai-partai baru tentu akan kesulitan untuk mendapat caleg yang berkualitas,” tutur Priyatmoko lagi. Lebih lanjut menurut Priyatmoko, kalau mengamati bagaimana partai politik menyusun daftar calegnya, maka nampak kalau partai belum memiliki persiapan yang memadai untuk mendorong peran politik perempuan.  [wahyu kuncoro sn]

Tags: