Pemerintah Harus Cabut PPN dan Longgarkan Aturan SNI

Foto: ilustrasi

Ribuan Ton Gula Menumpuk di Gudang
Jakarta, Bhirawa
Pemerintah perlu mengatasi permasalahan penumpukan ribuan ton gula hasil petani nasional yang terjadi di berbagai daerah karena hal tersebut terkait dengan kesejahteraan para petani gula tersebut.
“Penumpukan ribuan ton gula hasil petani yang terjadi di berbagai daerah harus segera disikapi serius oleh pemerintah. Regulasi yang dikeluarkan harus memudahkan dan menguntungkan petani,” kata Ketua Komisi IV DPR RI Edhy Prabowo dalam rilis di Jakarta, Selasa (29/8).
Menurut Edhy, langkah yang harus dilakukan antara lain adalah mencabut PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dan memberi kelonggaran terkait SNI (Standar Nasional Indonesia).
Hal itu, ujar dia, karena pada prinsipnya gula bukanlah sesuatu yang berbahaya untuk dikonsumsi, kecuali bagi pengidap penyakit gula, sehingga pemberian label SNI harus lebih fleksibel.
Politisi Partai Gerindra itu berpendapat, jangan hanya karena warna gula sedikit kuning, langsung dinyatakan tidak SNI dan pabriknya langsung ditutup. “Pemerintah perlu arif dan bijaksana, dimana rata-rata pabrik milik petani sudah berusia tua dan kalah oleh pihak swasta yang peralatannya jauh lebih modern,” ucapnya.
Edhy juga mengingatkan agar pemerintah juga harus memiliki neraca kebutuhan gula yang tepat dan jelas agar dapat memprediksi kebutuhan gula dan menjaga stabilitas harga. Jumlah kebutuhan yang tepat tersebut, lanjutnya, dinilai penting karena gula hasil petani nasional di berbagai daerahpun harus disesuaikan harganya agar dapat bersaing dengan gula impor.
“Sangat ironis bila gula hasil impor dapat laku di pasaran, sementara gula hasil petani kita sendiri tak laku dan menumpuk di gudang. Apalagi ada dugaan gula impor sudah menyasar konsumen gula petani,” ucapnya.
Ia menyatakan bila kondisinya seperti ini terus maka lebih baik pemerintah jangan melakukan impor gula sebelum gula dari petani lokal laku di pasaran, baik untuk sektor industri hingga untuk memenuhi kebutuhan rumahan.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Azam Azman Natawijana mengemukakan, gula merupakan komoditas yang mempunyai nilai strategis bagi ketahanan pangan dan peningkatan pertumbuhan perekonomian masyarakat Indonesia sehingga perdagangan gula di dalam negeri perlu diawasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sebagaimana diwartakan, asosiasi Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia meminta kepada pemerintah agar membatasi impor gula konsumsi sesuai dengan kebutuhan dan tidak boleh dipasarkan pada saat musim giling.
“Gula tani saat ini tidak laku karena banyaknya gula impor masuk pasar konsumsi baik dari gula impor untuk konsumsi maupun dari rembesan gula rafinasi. Termasuk yang menyebabkan harga gula turun adalah adanya PPN, akan tetapi saat ini gula tani sudah bebas PPN,” demikian pernyataan sikap Dewan Pimpinan Nasional Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) ditandatangani Ketua Umum Soemitro Samadikoen dan Sekretaris Jenderal M Nur Khabsyin yang diterima di Jakarta, Senin (28/8).
Pernyataan sikap yang tergabung dalam Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia ( APTRI) disampaikan dalam unjuk rasa tanggal 28 Agustus 2017 di Istana Negara, Kantor Menteri Perdagangan dan Kantor Menteri BUMN.
Dikatakan, harga gula tani tahun ini merosot tajam yakni rata-rata Rp9.000-Rp 9.500 per kilogram dibanding tahun 2016 bisa mencapai rata-rata Rp11.000-Rp11.500 per kilogram. Ada kerugian yang sangat besar yakni Rp2.000 per kilogram kalau dikalikan seluruh gula tani sekitar 1.000.000 ton maka total kerugian mencapai Rp2 triliun.
Kebutuhan gula konsumsi pada tahun 2016 sebesar 2,7 juta ton, sedangkan produksi gula dalam negeri 2,3 juta ton sehingga masih ada kekurangan 400.000 ton. Impor gula pada tahun 2016 sekitar 1,6 juta ton sementara kebutuhan hanya 400.000 ton sehingga ada kelebihan 1,2 juta ton yang membanjiri pasar pada tahun 2017 ini, akibatnya gula tani musim giling tahun 2017 tidak bisa terserap pasar alias tidak laku. [ant]

Tags: