Pemerintah Matangkan Perlindungan Konsumen Properti

Kabag Hukum dan Komunikasi Publik Kementerian PUPR Dedi S Budisusetyo berdiskusi meminta masukan terkait strategi nasional perlindungan konsumen di Gunawangsa Hotel, Surabaya, Kamis (28/3).

Surabaya, Bhirawa
Pengaduan konsumen di bidang properti menjadi kasus yang paling banyak diterima Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN). Karena itu, pemerintah terus berupaya menguatkan perannya dalam memberikan perlindungan kepada konsumen. Khususnya terkait pembiayaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Kabag Hukum dan Komunikasi Publik Dirjen Pembiayaan Infrastruktur PU dan Perumahan Dedi S Budisusetyo menjelaskan, secara umum pemerintah telah berupaya memberikan perlindungan terhadap konsumen dengan terbitnya Perpres 50 tahun 2017 tentang perlindungan konsumen. Selanjutnya, setiap sektor pemerintahan diminta menyusun strategi untuk perlindungan di bidangnya masing-masing.
“Kita di Kementerian PUPR, khususnya dalam pembiayaan perumahan sejak dua tahun ini telah menyusun strategi nasional. Sekarang 2019, kemabali meminta masukan kepada stake holder, perbankan, pengembang dan sebagainya,” tutur Dedi saat ditemui di sela-sela kegiatannya di Surabaya, Kamis (29/3).
Dedi mengakui, berbagai permasalahan muncul dari pengaduan konsumen di bidang properto. Misalnya tentang uang muka yang telah dibayar namun tidak sampai pada proses realisasi jual beli. Terkait hal itu, terdapat mekanis Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang mengatur terhadap uang muka yang sudah dibayarkan konsumen.
“Itu akan diatur dalam Permen yang saat ini sedang difinalisasi. Dalam aturan tersebut, akan diperjelas tentang uang muka yang telah dibayar konsumen,” tutur dia. Kalau yang membatalkan konsumen, lanjut Dedi, apakah akan hilang atau dipotong?
“Kita juga harus memperhitungkan hak pengembang. Karena ada kerugian administrasi dan sebagainya,” imuhnya. Dedi mengakui, kendati pemerintah akan memprioritaskan MBR, namun pihaknya akan tetap memperhatikan keberadaan pengembang.
Pemerintah bisa melalui kebijakan atau skema seperti PP 64 tahun 2016 yang mengatur dua hal terkait keringanan perizinan terhadap pengembang. Tapi konsekuensinya rumah yang dibangun harus layak dengan dibuktikan Sertifikan Layak Fungsi (SLF).
“UU nomor 1 tahun 2011 menyebutkan, hasil yang tidak sesuai dengan perjanjian bisa dituntut. Dan sanksinya adalah pidana penjara dan denda, bukan perdata,” tutur Dedi.
Pihaknya mengaku, pengembang melalui marketingnya kerap menawarkan konsep pembangunan dan fasilitas yang tidak sesuai kenyataan. Karena itu, masyarakat bisa menuntut hal itu. “Kita sering dipanggil oleh Kepolisian sebagai saksi ahli karena ada rumah yang dibangun tidak sesuai perjanjian,” ungkap dia.
Selain untuk perorangan, perlindungan juga diberikan jika pengembang tidak membangun sesuai rencana kawasannya. Dalam Izin Mendirikan Bangunan (IMB) akan terlihat mana letak didirikan rumah, jalan dan fasilitas umum beserta ukurannya. “Kalau tidak sesuai, warga bisa menuntut. Karena itu yang termasuk dijanjikan,” pungkas dia. [tam].

Tags: