Pemerintah, Pers, dan Publik

Oleh:
Moh. Mahrus Hasan
Penulis adalah pengurus Pesantren Nurul Ma’rifah Poncogati Bondowoso dan guru MAN Bondowoso 

Judul tulisan ini sengaja menggunakan kata pers, bukan kata media. Mengapa? Karena pers sudah pasti media, tetapi belum tentu sebaliknya. Apalagi di era media informasi digital berbasis internet saat ini, utamanya media online dan medsos. Media online tumbuh bak cendawan di musim hujan. Data mutakhir Dewan Pers mencatat ada 43.400 media online. Sayangnya, hanya sebanyak 234 yang memenuhi syarat undang-undang pers. Terlebih medsos yang semua pengguna gawai bisa menjadi “wartawan”nya.
Judul tulisan ini boleh dibolak-balik, tetapi kata pers harus tetap di tengah. Mengapa? Pertama, karena pers harus menjadi mitra yang strategis tetapi kritis bagi pemerintah dan publik. Maka, sebagai mitra yang baik, pers harus mengkritik pemerintah dan publik secara sehat dan beradab dengan prinsip “Qulil haqq walaw kaana murron. Katakanlah yang sebenarnya walau pahit dirasa.” Juga karena “Shodiiquka man shodaqoka laa man shoddaqoka. Mitramu (yang sebenarnya) adalah yang membuatmu menjadi benar, bukan yang membenar-benarkanmu” dan “Shodiiquka man yanhadhuka shodaaqotuhu. Mitramu adalah yang kemitraannya bisa membangkitkan (motivasi, inspirasi, dan hal-hal baik lainnya) bagi dirimu.”
Dan prinsip itu bertujuan agar sesama mitra tetap sehat, karena mitra yang sakit lebih sukses menularkan “virus”nya kepada mitra lainnya. Kiranya kata bijak “La tashabil kaslaana fii haalatihi, kam sholihin bi fasaadi aakhoro yafsudu. Janganlah bermitra dengan yang nakal, karena banyak yang baik menjadi rusak karenanya,” penting untuk diperhatikan.
Selanjutnya, pers jangan menjadi-meminjam istilah Bupati Bondowoso Amin Said Husni-agen “CNN” (Cuma Nekan-Nekan) kepada mitranya. Tulisan wartawan jangan digunakan untuk menakut-nakuti, apalagi memeras mitranya. Tetapi, wartawan harus menulis secara obyektif sebagai informasi dan edukasi kepada publik (Jawa Pos Radar Ijen, 24/2/2018).
Kedua, pers harus menjadi penyambung (di tengah) antara pemerintah dan publik. Maka, pers tidak boleh memihak kepada salah satu diantara kedua pihak tersebut. Selain itu, pers harus menjadi mediator (juru damai) jika ada konflik antara pemerintah dengan publik.
Ketiga, pers harus netral (di tengah). Karena itu, pers-khususnya pers “plat merah” atau pers beridentitas tertentu-harus mewartakan secara berimbang. Jangan yang “terang-terang” saja atau yang “gelap-gelap” saja. Pada Silaturahim Masyayikh dan Tokoh Masyarakat di Pesantren Nuruth Thalabah Pancoran Bondowoso (28/12/2017) yang lalu, Amin Said Husni berharap agar pers dan publik melihat progress pembangunan yang dilakukan pemerintah dengan “kaca mata terang”, tidak menggunakan “kaca mata gelap”. “Orang yang berkaca mata gelap akan terus melihat kegelapan ke segala penjuru di semua waktu. Maka, tidak heran kalau ada yang menulis dan memotret yang ‘gelap-gelap’ saja, karena memang kaca matanya gelap,” katanya.Oleh karena itulah diperlukan cover both side dalam setiap peliputan, bahkan kalau perlu cover all side. Sudah saatnya adagium “Bad news is a good news” ditambah dengan “Good news is a good news.”
Terlebih di tahun politik 2018 ini dan 2019 mendatang. Ketua Dewan Pers Yosep Stanley Adi Prasetyo mengatakan bahwa saat ini Dewan Pers mengeluarkan surat edaran nomor 1 tahun 2018 yang meminta semua wartawan tetap independen dalam peliputan politik. Dan para pemilik atau pemimpin media yang menjadi paslon pilkada harus mengajukan cuti. (Jawa Pos, 22/2/2018).
Dan keempat, pers harus menjadi pemantau (wacth dog) dan evaluator. Maka, posisi di tengah merupakan tempat yang sangat strategis untuk memantau kanan-kiri dan depan-belakangnya daripada menjadi oposisi kanan atau kiri. Istilahnya, kanan kiri oke. Fungsi pers sebagai evaluator sangat diperlukan karena tidak ada manusia yang sempurna. Terlebih, “Idzaa tammal amru badaa naqsuhu. Suatu hal sudah selesai (dikerjakan), tampaklah kekurangannya.” Maka, evaluasi dalam rangka perbaikan mutlak terus menerus dilakukan.
Karena posisinya di tengah, maka pers harus siap “diserang” oleh pemerintah dan publik dan sangat mungkin “maju kena mundur kena”. Seperti kasus dua kali penggerudukan massa PDI-P ke kantor Radar Bogor pada 30/5/2018 dan 2/6/2018 karena memberitakan hak keuangan Megawati Soekarnoputri sebesar 112 juta rupiah lebih/bulan sebagai ketua dewan pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Ditambah lagi ketua PDIP Jawa Tengah Bambang Wuryanto yang mengatakan bahwa jika penggerudukan itu terjadi di Jawa Tengah, maka kantor Radar Bogor itu bisa rata dengan tanah.
Tetapi, apa pun alasannya,penggerudukan itu sama sekali tidak dibenarkan karena bertentangan dengan UU Nomor 40 tahun 1999 tentang kebebasan pers. Dan ucapan bernada arogan itu tidak pantas dilontarkan, bahkan oleh seorang petinggi partai sekali pun. Apalagi penggerudukan massa itu dilakukan di bulan suci ramadhan, bulan yang mestinya diisi dengan kesabaran dan menahan diri dari ucapan dan tindakan yang melanggar hukum dan tidak beretika. Jika merasa keberatan dengan pemberitaan pers, maka ajukan saja kepada Dewan Pers.
Walhasil, tanpa pers, kontrol terhadap pemerintah tidak berjalan optimal. Dan publik tidak bisa menyuarakan aspirasinya kepada pemerintah secara bertanggungjawab. Dan pastinya, jika jurnalis (pers) diratakan dengan tanah, maka sangat mungkin kebenaran informasi akan tertimbun tanah dan demokrasi juga akan runtuh berkalang tanah. Demikian. Semoga berkah!

——— *** ———-

Rate this article!
Tags: