Pemilu 2014: Tantangan dan Harapan Rakyat

darmadiOleh:
H.Darmadi
Kandidat Doktor Manajemen SDM Universitas Persada Indonesia (UPI) YAI  Jakarta
Pemilu 2014 sebentar lagi akan digelar di seluruh penjuru tanah air. Pelaksanaan pencontrengan pemilihan anggota legislatif  itu direncanakan akan dilaksanakan secara serentak pada tanggal 9 April 2014, dan diharapkan bisa memenuhi harapan rakyat. Namun di balik rencana itu apa saja tantangan dan harapan rakyat dalam pemilu  nanti ?
Masih ada sejumlah tantangan  yang akan dihadapi agar pemilu 2014 itu bisa membangun sistem demokrasi dan melahirkan wakil rakyat yang berkualitas.
Pertama, masalah ketimpangan kelembagaan: desentralisasi pemerintahan minus desentralisasi kepartaian. Politik lokal hingga kini masih tetap terintegrasi ke dalam politik nasional, lengkap di dalamnya juga struktur psikis ketergantungan para politisi lokal terhadap elite politik di Jakarta.  Konsekuensinya terjadi kondisi buruk dalam kehidupan kepartaian yakni, devolusi kewenangan dalam matra suprastruktur, yakni desentralisasi pemerintahan, tidak  serta merta lalu diikuti dengan desentralisasi kepartaian (infrastruktur politik). Devolusi yang macet ini, dari segi institusional, menyebabkan partai-partai di daerah tidak berubah dari statusnya sebagai cabang; dan secara fungsional hanya berperan sebagai replikasi kepentingan dari partai (elite) pusat.
Dalam konteks ini, pemilu sulit dikatakan memilih secara  langsung, karena calon anggota legislatif yang akan dipilih rakyat boleh jadi bukanlah orang yang berasal dari ‘bawah’. Kemunculannya yang dimungkinkan melalui pencalonan oleh partai di daerah biasanya direduksi dengan ‘titipan’ nama-nama calon oleh elite partai pusat. Dalam kondisi seperti ini, pemilu  menjadi tak sepenuhnya bermakna, karena mereka memilih orang yang tidak diproses melalui kelembagaan arus bawah partai.
Kedua, politisasi agama dan adat. Sengaja atau tidak, dari pengalaman dalam pelaksanaan pemilu sebelumnya telah tampak usaha sistematis dan terorganisasi oleh kandidat untuk menggunakan, mengambil kesempatan menggandeng elemen agama untuk setidak-tidaknya mendapat sambutan, penerimaan, memperoleh pembenaran dan pembelaan. Politisasi adat juga terjadi pada pemakaian beberapa istilah adat. Masyarakat dipaksa untuk menerima tafsiran-tafsiran tunggal istilah-istilah tersebut dari kandidat yang disampaikan lewat media cetak maupun audio visual sebagai bentuk politik citra.
Ketiga, refleksi budaya politik kaula. Pada umumnya masyarakat pemilih di pedesaan masih merefleksikan  Tipe Budaya Politik Subjek atau Kaula dalam terminologi Almond dan Verba (1984). Dalam tipe ini masyarakat patuh dan ikut serta dalam pemilu karena dianggap sebagai kewajiban semata atau  akibat adanya kontrol sosial. Sebagian besar rakyat berduyun-duyun mendatangi  bilik suara, walau tidak memahami visi, misi, dan rencana strategis sang kandidat/caleg, tidak tertarik  dengan materi kampanye yang disodorkan, tidak begitu kenal calonnya dan tidak perduli dengan hasil pemilu nanti. Tetapi, hal itu dilakukan semata-mata menghindari kontrol sosial dan kecemasan yang muncul karena melanggar norma yang sudah mapan di masyarakat.
Keempat, Pragmatisme politik dan praktek ‘politik uang’. Jika demokrasi tanpa dikelola dengan baik dan pada sisi lain kesejahteraan rakyat tidak juga baik maka disitulah awal hancurnya demokrasi. Sedikitpun tiada keraguan bahwa pemilu merupakan ekspektasi demokrasi yang sangat tinggi karena  ruang partisipasi rakyat dalam menentukan pemimpinnya atau wakilnya yang akan duduk di kursi parlemen menjadi sangat besar. Ruang bagi rakyat untuk mencari pemimpin atau wakilnya di parlemen yang lebih baik menjadi lebih besar pula. Akan tetapi, karena tingkat pendidikan yang masih rendah, tingkat kemiskinan yang masih tinggi dan mulai tumbuhnya ‘budaya memberi’ dari para calon dan ‘budaya menerima’ rakyat dalam setiap kunjungan kampanye, akan mengakibatkan pengambilan keputusan dalam memberikan pilihan saat pemilu tidak selalu bersifat ideal.
Ada lebih banyak pertimbangan pragmatis dalam pengambilan keputusan itu. Berbagai kasus ‘money politics’ dalam pelaksanaan pemilu (walau sangat sulit dan sedikit yang terungkap ke permukaan) bisa terjadi  dalam kondisi masyarakat pemilih yang lebih mengutamakan pertimbangan pragmatis daripada rasional. Disinilah kelemahan demokrasi, yang sering tidak bisa dihindari karena yang menang dalam pemilu adalah suara mayoritas tanpa peduli terhadap kualitasnya.
Kelima, potensi konflik pada akhir kompetisi. Selalu ada kemungkinan terjadi gejolak massa dan konflik karena sikap penolakan massa simpatisan pendukung atas kekalahan calonnya. Hal ini karena ketidakpuasan pada mekanisme pemilihan maupun hasil akhir kompetisi. Berbagai  gejolak massa dan  konflik yang merebak dalam pemilu sejatinya merupakan potret tahap perkembangan dari kedewasaan politik  masyarakat pemilih. Perbedaan afiliasi dan orientasi politik yang berujung pada gejolak massa dan konflik itu bisa memunculkan fragmentasi politik yang tidak saja merendahkan kualitas pilihan, tetapi juga berpotensi  memperdalam disintegrasi dan instabilitas. Kondisi sosial politik masyarakat  yang bersifat heterogen, kemudian ditambah  dengan adanya pemilahan  berdasarkan aspirasi dan orientasi politik,  turut memperkuat potensi konflik yang bersifat laten maupun yang sudah mewujud (manifest).
Harapan Rakyat
Ada begitu banyak harapan rakyat sejatinya yang ditumpukan pada pemilu 2014 nanti terutama dalam rangka penguatan legitimasi demokrasi.
Pertama, rakyat semestinya otonom dari ekspansi dan pemaksaan baik oleh tim sukses, kandidat/caleg  maupun parpol pengusung dalam pendaftaran pemilih, pencalonan, kampanye, pemberian suara dan penghitungan suara.  Segala bentuk partisipasi politik rakyat dalam setiap tahapan pemilu tersebut murni berasal dari kesadaran sendiri dan tidak ada campur tangan serta mobilisasi dari pihak lain.
Kedua,  adanya akses pemilih, sebagai salah satu prasyarat keberadaan masyarakat sipil dalam mengetahui dan memahami siapa figur yang akan dipilih dan apa yang akan dilakukannnya nanti seandainya terpilih. Dengan begitu masyarakat pemilih sudah dapat mengetahui dan memahami dengan baik track record, figur, visi, misi, program dan rencana strategis masing-masing kandidat/caleg  yang akan dipilihnya.
Ketiga, berkembangnya arena kompetisi yang sehat dimana masing-masing kandidat/caleg bisa mengatur diri mereka sendiri dengan tetap mengembangkan saling pengertian yang mutual diantara mereka. Penggunaan cara-cara intimidasi, paksaan, money politics, dan berbagai jenis sumbangan berlabel ‘dana amal’ oleh para calon  sejatinya tidak sejalan dan menghambat tujuan legitimasi demokrasi dalam pemilu. Keempat, birokrasi, TNI-Polri, pers dan KPU/KPUD  tetap bersikap netral dan adil terhadap semua calon. Semua institusi ini tidak boleh memihak walaupun mantan pimpinannya atau salah satu anggota korps-nya ikut berkompetisi dalam pemilu.
Kelima, ada harapan dalam pelaksanaan pemilu 2014, kompetisi antar kandidat/caleg bisa dimaknai sebagai pencarian solusi bersama, yang di dalamnya  tidak saja berisi kesiapan saat memperoleh kekuasaan (konsekuensi kemenangan), tetapi juga rela menerima kekalahan (prinsip toleransi) dan (yang terpenting) mau membangun bersama-sama. Hal itu berarti, lewat pemilu, setiap kandidat/caleg tidak hanya berani maju untuk ‘siap menang’, tetapi juga ‘siap kalah’. Inilah manifestasi sejati demokrasi dimana pemenang hari ini bisa jadi kalah di kemudian hari.
Mereka yang kalah selalu punya harapan untuk menang berdasarkan aturan main yang sudah disepakati bersama. Kandidat/caleg, baik yang menang maupun yang kalah selanjutnya diharapkan tetap mengembangkan sikap dialog, negosiasi, persuasi, komunikasi, dan saling pengertian yang mutual demi keberlanjutan  pembangunan  Indonesia ke depan. Semoga.

Tags: