Pemilu Belum Bersahabat Penyandang Disabilitas

Simulasi-catur-orang-yang-diperankan-siswa-penyandang-disabilitas-menjadi-simbol-hak-demokrasi-kaum-difabel-dalam-pemilihan-umum. [adit hananta utama/bhirawa]

Simulasi-catur-orang-yang-diperankan-siswa-penyandang-disabilitas-menjadi-simbol-hak-demokrasi-kaum-difabel-dalam-pemilihan-umum. [adit hananta utama/bhirawa]

UM Surabaya, Bhirawa
Jumlah penyandang disabilitas yang memiliki hak suara dalam pemilihan umum (Pemilu) serentak pada 9 Desember mendatang ternyata cukup besar. Di Jatim, jumlahnya berkisar mencapai 200 ribu orang. Sayangnya, proses pemilihan belum sepenuhnya memihak pada kepentingan penyandang disabilitas.
Fakta ini diungkap Ketua Pusat Pemilu Akses Penyandang Disabilitas Jatim Wuri Handayani disela diskusi publik bertema Difabel & Aksesibilitas Hak Demokrasi Dalam Pilkada Kota Surabaya, digelar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, kemarin (27/10).
“Selain penyandang disabilitas kesulitan menuju TPS, mereka yang sudah datang kerapkali batal memilih karena tidak bisa mendengar ketika namanya dipanggil. Terutama bagi yang tuna wicara dan tuna rungu. Akhirnya hak suaranya hilang,” tutur Wuri. Pengalaman itu, diketahuia saat pilkada Surabaya 2010. Memang petugas KPPS tidak perlu harus menjemput disabilitas. Tapi setidaknya bisa menyediakan kemudahan akses.
Direktur D’ Care Surabaya ini juga terus mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU) Surabaya melakukan sosialisasi ke para disabilitas. Termasuk sosialisasi cara pencoblosan. “Sesungguhnya kami juga mengapresiasi KPU yang mulai menyiapkan surat suara yang didesain sesuai standar bagi disabilitas. Terutama bagi tuna netra,” urai perempuan yang kemana-mana mengenakan kursi roda.
Komisioner KPU Surabaya Bidang Hukum dan SDM, Purnomo, yang juga ditemui di kampus UM Surabaya membenarkan pihaknya sudah memesan surat suara layaknya tulisan braille. Surat suara ini mencantumkan nama serta nomor urut pasangan calon (Paslon) yang bisa diraba mereka yang tuna netra.
“Sosialisasi sudah kami lakukan dengan surat suara simulasi yang bergambar buah. Khusus untuk surat suara aslinya nanti bisa membantu pemilih karena mencantumkan tulisan nama maupun angka yang bisa diraba,” paparnya.
Di Surabaya, kata Purnomo, terdapat sekitar 1500 pemilih disabilitas sebagaimana Daftar Pemilih Tetap (DPT). “Namun jumlah itu belum sepenuhnya valid. Bisa saja ada silent disabilitas yang belum terdata,” kata Pur, sapaannya.
Soal teknik disabilitas masuk bilik suara, menurut Pur, bisa dibantu dari keluarganya. Atau petugas TPS. “Soal pendamping sudah diatur dalam PKPU Nomor 10. Pendamping bisa dari keluarga dan petugas TPS,” tambahnya.
Sementara itu, disela diskusi publik kemarin, mahasiswa FH UM Surabaya serta pelajar disabilitas memainkan catur raksasa. Sesuai namanya, bidak catur berukuran besar. Anak caturnya adalah mahasiswa dan pelajar yang mengenakan topi yang menggambarkan anak catur.
Ini mengingatkan pemangku kepentingan soal pilkada bahwa kaum disabilitas memiliki hak yang sama dalam kontestasi politik di Indonesia. Dekan FH UM Surabaya, Hari Wahyudin menjelaskan aksi yang diinisiasi fakultasnya adalah usaha menyadarkan publik bahwa perhatian kepada disabilitas perlu menjadi perhatian banyak pihak. Pemerintah, perguruan tinggi, ormas, dan pihak lain. “Kami gandeng KPU Surabaya untuk minta pertimbangan dalam menyusul sebuah model pendidikan yang ramah dan anti diskriminatif untuk mencetak kader pemimpin dari kaum difabel,” ulas Hari. [tam]

Tags: