Pemilu Melelahkan, Memakan Banyak Korban

Ada Indikasi Pelanggaran HAM dalam Pemilu
Surabaya, Bhirawa
Pesta demokrasi yang melelahkan berbuntut duka mendalam dengan gugurnya para penyelenggara dan aparat keamanan yang bertugas. Terlebih, jumlah petuga Pemilu yang gugur terus bertambah. Hingga kemarin, tercatat 40 petugas meninggal hanya di wilayah Jatim.
Menurut Direktur Pusat Studi Anti-korupsi dan Demokrasi (PUSAD) Universitas Muhammadiyah Surabaya Satria Unggul WP dalam proses pemungutan dan perhitungan suara berpotensi terjadi pelanggaran HAM yang serius. Sebab, jika dilihat dari sisi ketenagakerjaan, banyak pelanggaran terkait waktu kerja. “Dalam perspektif ketenaga kerjaan ini jelas melanggar hukum. Dan siapa yang bertanggungjawab, KPU,” katanya, Kamis (25/4).
Satria mengakui, kendati petugas itu tidak termasuk dalam kategori tenaga kerja, tetapi ada regulasi tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dalam UU Ketenagakerjaan. Ketika mereka, para petugas mendapatkan beban kerja maka dia memiliki hak dan kewajiban yang jelas. “Sementara kondisinya berbeda. Dengan durasi waktu yang mepet, petugas harus bekerja seharian penuh,” ungkap dia.
Sayangnya, PKWT dalam konteks Pemilu ini tidak diatur. Sehingga tidak ada jaminan kesehatan yang bisa diakses oleh petugas. Baru setelah peristiwa ini banyak terjadi, petugas kesehatan turun untuk memberikan layanan kesehatan. “KPU tidak pernah memprediksi hal ini akan terjadi. Karena itu tidak ada PKWT. Seharusnya, aturan dibuat untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi,” pungkas dia.
Sementara itu Dosen Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Dr Suko Widodo prihatin dengan fenomena yang terjadi dalam Pemilu 2019 ini. Karena secara teknis, pemilu tahun ini begitu melelahkan. Maklum, pemungutan dan penghitungan yang melibatkan lima surat suara sekaligus menjadi begitu menyita energi. Di sisi lain, ketegangan selama tujuh bulan kampanye telah menumpuk respon publik terhadap moment ini.
“Petugas tidak secure dan tidak bisa maksimal dalam bekerja karena tertekan situasi yang datang dari peserta pemilu maupun informasi di media sosial. Perang opini dalam kampanye, menurut teori kultivasi telah menumpuk respon publik untuk satu moment pemungutan dan perhitungan suara,” ungkap Suko Widodo kemarin, Kamis (25/4).
Menurut Suko Widodo, para penyelenggara mendapat tekanan dari tingginya kecurigaan peserta pemilu terhadap proses pemungugtan dan penghitungan suara. Di sisi lain, lingkungan kerja penyelenggara yang begitu ketat di bawah pengawasan Bawaslu dan aparat keamanan menambah situasi yang menegangkan. “Petugas juga harus berhadapan dengan instrument pemilu yang begitu banyak. Ini sangat melelahkan dua kali lipat,” ungkap dia.
Selain situasi yang berkembang di lapangan media sosial juga mempengaruhi penyelenggara menjalankan tugas. Sebab, sekecil apapun kesalahan penyelenggara akan menjadi konsumsi publik dan memberikan persepsi bermacam-macam. Sementara, kekeliruan secara administrasi dalam pemungutan maupun perhitungan suara telah memiliki mekanisme sendiri untuk menyelesaikannya.
“Padahal kesalahan kecil itu bisa jadi manusiawi dan bisa diperbaiki dengan mekanisme yang sudah diatur KPU,” tutur Suko Widodo.
Hal itulah, kata Sukowidodo, yang membuat penyelenggara lelah secara lahir dan batin. Karena itu, sistem demokrasi yang serentak harus dilakukan evaluasi. Kalaupun serentak presiden dan DPR RI, kemudian gubernur dengan DPRD provinsi dan seterusnya. “Karena kalau semuanya serentak, maka pemilihan presiden maupun kepala daerah ini telah berpartisipasi dalam menambah angka kematian penyelenggara,” pungkas dia. [tam]

Tags: