Pemilu yang Ternoda

Umar Sholahudin

Umar Sholahudin

Oleh :
Umar Sholahudin
Dosen Sosiologi Hukum Unmuh Surabaya
Pemilu 2014 telah usai dan menghadirkan kejutan-kejutan politik. Salah satunya meningkatnya perolehan suara partai-partai Islam, PKB, PAN, PPP dan PKS, yang dalam survey sebelumnya diprediksi hanya akan mendapatkan suara di bawah 5%. Namun kenyataannya, partai-partai Islam tersebut memperoleh suara di atas 5%.. Ini setidaknya bisa kita lihat pada hasil quick account, di mana ada peningkatan yang cukup signifikan perolehan suara partai islam yakni mencapai 32%, lebih tinggi dibanding Pemilu 2019 yang memperoleh 24%.
Selain itu, Pileg 2014 ini melahirkan pemenang baru, yakni PDI-P yang mengusung Jokowi. Jokowi effect yang sebelumnya diprediksi akan melambungkan elektabilitas PDI-P, ternyata pengaruhnya tidak signifikan. Target PDI-P meleset dari 27,5% menjadi 19,5%. Singkat kata, terjadi penyebaran suara yang cukup merata di antara partai-partai menengah.
Pemilu sebagai instrumen demokrasi telah melahirkan “angka-angka politik” yang diwujudkan dalam perolehan suara setiap kontestan Pemilu. Namun apakah pemilu 2014 ini masih layak dinilai sebagai Pemilu yang demokratis?. Pertanyaan ini sangat layak dimunculkan, mengingat selama ini masyarakat politik kita menilai Pemilu yang demokratis adalah pemilu yang hanya melahirkan angka-angka politik statistik yang diwujudkan dalam perolehan suara tersebut. Tapi tidak melihat bagaimana suara rakyat itu diraih. Dengan kata lain, masyarakat kita lebih melihat hasil Pemilu, daripada prosesnya. Padahal proses jauh lebih penting dari sekedar hasil yang didapat.
Ternoda
Perlu diakui secara jujur, bahwa Pemilu 2014 ini sejak pra dan pasca pemilihan telah menyisakan berbagai masalah yang itu bisa mengurangi kualitas proses Pemilu sendiri. Ada beberapa masalah serius yang menodai proses demokrasi (baca: Pemilu) 9 April lalu.
Pertama, masih maraknya praktik politik uang (money politics). Praktik politik uang ini sepertinya sudah “mentradisi” dalam setiap hajatan lima tahunan. Para caleg dan parpol -terutama yang berkantong tebal- tidak tanggung-tanggung mengoboral dan mengumbar uang ke pemilih. Bahkan suara rakyat sudah seperti dagangan politik. Uang adalah sumber utama bagi kekuatan politik dalam memenangi kekuasaan atau tetap mempertahankan kekuasaan. Uang dalam politik merupakan hak yang instrumental dan signifikansinya terletak pada bagaimana  ia digunakan untuk memperoleh pengaruh politik dan digunakan untuk mendapatkan kekuasaan karena uang tidak terdistribusikan dengan merata, akibatnya kekuasaan juga tidka terdistribusikan secara merata dalam masyarakat (Nassmacher, 2001:9)
Bahkan praktik politik uang di Pemilu 2014 semakin semarak dibanding pemilu 2009 lalu. Ini mengingat diterapkannya sistem suara terbanyak. Para caleg yang berkantong tebal ramai-ramai membeli suara rakyat demi untuk meraih kursi kekuasaan. Praktik money politics terjadi merata di hampir semua partai. Kuantitas dan kualitas semakin meningkat. Praktik ini terjadi pada masa kampanye sampai pada masa tenang kampanye.
Kedua, maraknya kertas surat suara yang tertukar, baik antar Dapil di kabupaten maupun di propinsi. Dalam catatan KPU, kasus surat suara tertukar terjadi di 722 TPS di 30 propinsi. Ini yang kemudian menjadikan proses pemilihan semakin semrawut. Kasus tertukarnya kertas surat ini sebenarnya sudah mulai muncul sebelum pemilihan. Tepatnya pada saat pendistribusian kertas suara ke daerah. Bahkan di beberapa daerah, tertukarnya kertas surat suara ini diketahui pada saat penhitungan suara. Sehingga banyak yang menuntut pemungutan suara diulang. Kasus ini tidak saja sifatnya lokalitas, tapi sudah menasional. Hampir setiap kab/kota dan propinsi terjadi kasus tersebut.
Ketiga, praktik kecurangan pemilu juga terjadi pada saat proses pencontrengan. Sebut saja misalnya di Blitar, seorang ketua KPPS mencoblos sendiri 110 surat suara untuk partai Gerindra, dan di beberapa daerah lain terjadi kasus sejenis seperti di Blitar dengan tingkat kemasifan yang cukup tinggi. di Jombang, pemilih ketika mencontreng didampingi saksi masing-masing partai. Dan bahkan ada tekanan politik dari pada saksi partai kepada pemilih. Contoh lain, di Jatim ada sekitar 96 TPS yang direkomendasikan Panwas setempat untuk dilakukan pencoblosan ulang karena diindikasikan kuat curang dan surat suara tertukar.
Keempat, pada saat perhitungan. Munculnya penggelembungan suara. Ini terjadi -salah satunya- karena pihak KPPS di tingkat TPS kelurahan ketika terjadi pencontrengan pada partai dan calegnya dihitung dua hitungan. Sehingga menggelembungkan partai dam caleg tertentu.
Kelima, kotak suara yang dibukan ditengah jalan dan penghitungan suara yang tidak dihadari para saksi parpol secara lengkap. Dan masih banyak masalah serius lainnya, baik yang mengarah pada pelanggaran administrasi maupun pidana. Namun selama ini, pelanggaran-pelanggaran Pemilu kurang dirasa mendapatkan tindakan tegas dari Panwas setempat.
Kesemrawutan pelaksanaan Pemilu 2014 ini tentu saja berdampak pada kualitas pelaksanaan Pemilu 2014. Azaz pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil kurang nampak pada proses pemilu kali ini. Dengan maraknya kecurangan dan masalah lainnya, muncul kesimpulan yang cukup wajar apabila legitimasi politik Pemilu 2014 ini sangat lemah, bahkan patut dipertanyakan. Lemahnya legitimasi Pemilu 2014ini tentunya saja berdampak pada kemenangan politik PDI-P. Dengan kata lain, kemenangan politik PDI-P juga memiliki legitimasi politik yang lemah. Karena diraih melalui proses elektoral yang penuh masalah.

Rate this article!
Pemilu yang Ternoda,5 / 5 ( 1votes )
Tags: