Pemimpin Ing Ngarso Sung Tulodho

Indah Khoirotun NisaOleh :
Indah Khoirotun Nisa’
Mahasiswa Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang dan Penerima Beasiswa Mahasantri Monash Institute

Krisis kepemimpinan menjadi salah satu masalah serius yang sedang dihadapi oleh Bangsa Indonesia. Pemimpin yang bisa mengarahkan pada kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang kini diidamkan oleh masyarakat. Sosok pemimpin sekiranya seperti ratu keadilan yang membawa Indonesia pada perubahan masa depan gemilang.
Membahas tentang pemimpin, sebenarnya, kecerdasan masyarakat dalam memilih seorang pemimpin menjadi kunci utama pemimpin yang diinginkan. Berdiri lima menit di balik bilik suara, menjadi penentu nasib bangsa Indonesia lima tahun kedepan. Apakah pemimpin yang terpilih akan membawa Indonesia pada kemakmuran atau kesengsaraan.
Jika diibaratkan, hajatan pemilu tahunan seperti pisau yang bermata dua. Disatu sisi, rakyat Indonesia memiliki kekuasaan penuh untuk memilih siapa yang akan membawa Indonesia pada kemakmuran. Di sisi lain, kekuasaan tersebut hanya bersifat semu karena hanya menjadi obyek pemuas nafsu para kaum elit politik. Terlihat jelas bahwa, perjalanan demokrasi Indonesia mengarah pada bias kekuasaan rakyat. Hal tersebut dibuktikan pada setiap hajatan pemilu Indonesia diadakan.
Calon pemimpin menebar janji manis, bahkan mendadak menjadi orang yang sangat dermawan. Para pejabat yang biasanya sehari-sehari duduk di kursi mewah, ruangan ber-ac, tiba-tiba turun gunung. Berbaur bersama rakyat, ada yang ke jalan raya, pasar bahkan rela panas-panasan membantu bekerja untuk rakyat. Sayangnya, janji hanyalah sebuah janji. Semua itu hanyalah sebuah skenario yang sudah dibentuk sedemikian rupa untuk mendulang suara.
Pemimpin Teladan
Ketika terpilih menjadi seorang pemimpin, secara otomatis, mereka memiliki tanggung jawab yang besar. Masyarakat telah memberikan kepercayaan pada mereka untuk memimpin negara. Akan tetapi, pada realitanya, mereka masih menggunakan tampuk kekuasaanya untuk kepentingan pribadi semata. Mereka telah mengkhianati kepercayaan rakyat yang telah diberikan kepada mereka.
Harapan memiliki pemimpin teladan sangat mungkin terwujud melalui pemilu. Asalkan, masyarakat bijaksana dalam menentukan pilihan. Partisipasi rakyat dalam memilih pemimpin harus didasarkan keinginan perubahan untuk bangsa, bukan karena iming-iming beberapa lembar rupiah. Yang menjadi pertanyaan, pemimpin seperti apakah yang sedang dibutuhkan Indonesia saat ini?
Jika meminjam salah satu semboyan Ki Hajar Dewantoro yang berbunyi “Ing Ngarso Sung Tulodho”, yang secara bahasa ing (di), ngarsa (depan), sung (jadi), tuladha (panutan/contoh). Maknanya adalah di depan (pemimpin) menjadi panutan atau contoh. Terlihat jelas dari semboyan tersebut bahwa, seorang pemimpin harus memberikan contoh yang baik untuk masyarakat.
Salah satu bentuk dari pemimpin teladan adalah pemimpin yang taat kepada hukum. Misalnya, Komitmen pemberantasan korupsi. Jangan sampai keinginan mulia tersebut seperti layaknya pisau dapur, tajam kebawah, namun tumpul keatas. Pemimpin yang harusnya membuktikan kualitas diri melalui kerja nyata. Bukan hanya berteriak lantang dalam memberikan perintah kepada bawahan, tetapi melalui kerja konkret yang efektif untuk masyarakat berkomitmen ikut memajukan Indonesia.
Tidak hanya itu, mereka harus menolak dengan tegas segala bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Bahkan lebih dari itu, para pemilik jabatan perlu berdiri dengan tegak di posisi paling depan menghukum seberat-beratnya para koruptor yang secara langsung telah merugikan bangsa Indonesia.
Salah satu ciri negara yang maju adalah kesejahteraan bagi masyarakat. Dan kesejahteraan rakyat adalah bentuk keberhasilan dari kepemimpinan. Jika meminjam pepatah jawa, terdapat konsep Gemi Nastiti. Gemi memiliki makna hemat, cermat, dan bersahaja. Secara globalnya, Gemi berarti mengelola perekonmian yang rasional, menghitung segala pencapaian secara efektif dan efesien.
Sedangkan Nastiti berkaitan dengan tindakan bagaimana mempergunakan dan mengelola harta. Orang jawa adalah orang yang sangat perhitungan dalam mempergunakan harta. Prisnsipnya adalah pengeluaran tidak boleh melampaui dari pemasukan yang diperoleh, karena akan menimbulkan hutang. Pemimpin harus bijak memilih dan memilah mana yang menjadi kebutuhan bagi kesejahteraan rakyat.
Namun, berkaca pada kondisi sekarang, para pemimpin dengan bangganya menyia-nyiakan uang milyaran rupiah demi memperoleh kursi mewah dan toilet baru. Padahal, tidak jauh dari sekitar tempat mereka bekerja, pengemis, gelandangan, pengamen jalanan yang tidak mampu sekolah bahkan anak-anak yang menangis kelaparan.
Berdasarkan konsep kedua pepatah jawa tersebut, masyarakat bisa menilai pemimpin bangsa sekarang ini. Memang terlihat terlalu sederhana menghakimi mereka untuk menentukan seberapa kemampuan dalam memperbaiki nasib Indonesia. Tetapi paling tidak, konsep Ing Ngarsa Sung Tuladha dan Gemi Nastiti adalah filosofi yang perlu dihayati oleh pemimpin negeri sebagai landasan utama mensejahterakan rakyat Indonesia. Wallahu ‘alam bissowab.

                                                                                                            ——————— *** ———————-

Rate this article!
Tags: