Pemimpin yang Mendidik Anak Bangsa

Oleh :
Maswan
Penulis adalah, Dosen Unisnu Jepara, Kandidat Doktor Unnes, Asesor Bap-Sm Prov. Jateng

Sering kita baca berita tentang arogansi para politisi yang ditampakkan dalam perilaku menang-menangan dan bertindak salah nalar dalam adu pendapat yang berujung pada salah kebijakan. Sering kita dengar para anggota dewan yang hidup berfoya-foya, dan rasa tidak malu dalam menghambur-hamburkan uang negara, dengan dalih kunjungan kerja. Dan sering kita amati, para politisi berperilaku tidak jujur dan tidak taat azas terhadap hukum, serta  menerabas dengan melakukan korupsi uang negara.
Fenomena-fenomena tersebut, terus mencuat dalam putaran sejarah yang tidak kunjung berhenti. Kerusakan tatanan kehidupan bangsa, justru dilakukan oleh pejabat publik yang seharusnya menjadi panutan. Terjadi kontradiktif, bangsa yang konon sedang gencar-gencarnya membangun moralitas dan mental masyarakat,  dicabik dan dirusak sendiri oleh pejabat yang membuat kebijakan dan pelaku pembangunan.
Tindak perilaku para pejabat publik yang menyimpang seperti yang tergambar di atas, dapat dibaca oleh generasi muda, terutama para siswa yang masih di bangku sekolah dan mahasiswa yang masih di bangku kuliah. Dan tentu saja, hal-hal tersebut dijadikan cermin dan pelajaran bagi anak-anak bangsa.
Ada sesuatu yang delimatis, jika dipandang dari sudut dunia pendidikan. Pada satu sisi anak-anak sekolah dididik dengan tata nilai dan ajaran yang positif, seperti kejujuran, berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur, namun di luar sekolah anak dididik oleh pemimpin bangsa dengan pembelajaran yang tidak mendidik.
Prinsip pendidikan yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara, yaitu Ing Ngarso Sung Tulodho (di depan sebagai contoh teladan), tidak dilakukan oleh para pemimpin di negeri ini. Perilaku keteladanan yang dilakukan oleh pemimpin bangsa, merupakan proses pendidikan yang dapat ditiru oleh anak-anak atau generasi muda. Karakter yang baik, sangat penting dimiliki oleh pemimpin, karena penataan sistem pendidikan nasional, yang kini diperjuangkan dalam dunia pendidikan adalah ingin membentuk karakter bangsa kuat.
Di antara karakter anak-anak sekolah yang terus digembleng adalah sikap mental yang santun, kejujuran dan mempunyai rasa malu berbuat yang menyimpang. Sebagai bangsa yang bercita-cita membentuk manusia berkepribadian, sangat perlu penyatuan pola pendidikan humanistik yang ada di sekolah dengan pola cerminan pendidikan politik bangsa yang terbebas dari kebohongan dan ketidakmaluan dari para politisi yang memimpin bangsa ini.
Kehilangan Jati Diri
Berita yang sering muncul adanya para pemimpin bangsa, baik para birokrat, politisi (anggota dewan) dan bahkan para penegak hukum yang melakukan korupsi, manipulasi jabatan dan penyalahgunaan wewenang.  Seharusnya pejabat publik tersebut dapat berpikir rasional, berpandangan lurus dengan menggunakan dasar-dasar moral dan hukum yang normatif dalam membangun negeri ini. Sebagai pengatur kekuasaan pemerintahan, agar mempunyai wibawa di mata rakyatnya, harusnya punya malu jika melakukan yangyang menyimpang dari hukum perundangan yang dibuatnya.
Intinya, para pemimpin bangsa harus mempunyai kesadaran hukum, dan merasa malu jika melakukan tindak kejahatan yang merugikan negara. Selain itu, juga harus  mempunyai keimanan terhadap Tuhannya, bahwa setiap kejahatan yang dilakukan ada balasan dosa di akhirat.
Ya, malu adalah bagian dari iman. Dan orang yang sudah tidak punya iman, cenderung membuat keonaran dan mudah melakukan penggrusakan tatanan dan melanggar hukum. Hal ini sesuai dengan Sabda Rasulullah, “Sesungguhnya di antara kata-kata kenabian terdahulu yang masih diingat oleh masyarakat adalah: “Jika kamu sudah tidak punya rasa malu lagi, maka berbuatlah sekehendakmu” (HR. Al-Bukhari).
Memaknai kata-kata bijak yang berdimensi moralitas dalam politik bangsa, para birokrat, para penegak hukum dan para politisi (anggota dewan yang terhormat) harusnya sadar diri bahwa kehancuran sebuah bangsa karena para pemangku kepentingan sudah banyak yang kehilangan jati diri. Kehilangan integritas rasa malu dan memudarnya iman di hatinya, lantaran tergerus oleh gemerlapnya dunia.
Dengan landasan iman dan rasa malu berbuat kejahatan tersebut, akan terarah pada jalan yang lurus. Dengan demikian, muncul kesadaran diri, bahwa kepemimpinan banagsa yang dipegangnya adalah sebuah amanat yang harus dipertanggungjawabkan kepada Allah Yang Maha Kuasa. Ini perlu dipahami oleh pemimpin bangsa, agar tidak membuat aturan atau kebijakan yang bertentangan norma kehidupan berbangsa.

                                                                                     ————- *** —————

Rate this article!
Tags: