Pemkab Banyuwangi Menargetkan Produksi Ikan 76 Ribu Ton

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

Banyuwangi, Bhirawa
Nelayan di Kabupaten Banyuwangi tahun ini diharapkan merealisasikan target kenaikan produktivitas sektor perikanan. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Banyuwangi menargetkan produktivitas perikanan sebesar 76 ribu ton pada 2014. Kenaikan itu diupayakan dengan memperluas area tangkapan di lautan lepas Samudera Hindia.
Pasalnya, nelayan Banyuwangi yang mayoritas bermukin di Kecamatan Muncar, semakin sulit memperoleh ikan di Selat Bali dan perairan sekitarnya. “Khususnya ikan lamuru. Ikan ini sekarang sulit ditemukan di Selat Bali,” kata Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Banyuwangi, Pujo Hartanto kepada Bhirawa, Senin (11/8).
Pihaknya mensinyalir kerusakan terumbu karang dan minimnya upaya konservasi biota laut merupakan pemicu sulitnya mendapatkan ikan lamuru di Selat Bali. Target produktivitas perikanan itu naik dibanding realisasi tahun 2013 sebesar 72 ribu ton ikan. Dari jumlah itu, kontribusi ikan tangkap sebesar 49 ribu ton dan sisanya hasil ikan budidaya.
Pada tahun 2012, kata Pujo, produktivitas perikanan Kabupaten Banyuwangi sebanyak 66 ribu ton, terdiri atas ikan tangkap menyumbang 42 ribu ton dan sisanya hasil ikan budidaya. “Tahun ini, targetnya 76 ribu ton ikan, seiring daerah tangkapan diperluas ke lautan selatan,” ujarnya.
Dinas mencatat, kini nelayan di Banyuwangi mencapai 25 ribu orang. Sebanyak 80 persen nelayan masih terkonsentrasi di Kecamatan Muncar yang menjadi lumbung penghasil ikan tangkap. Sisanya tersebar di Pancer, Grajagan, Wongsorejo dan sejumlah daerah pesisir lain. Perairan lepas Banyuwangi, kata Pujo, masih menyimpan potensi perikanan yang berlimpah, seperti ikan lamuru, tongkol dan layang.
Melihat potensi ini, Pujo mengaku keberatan bila nelayan di Banyuwangi terimbas pembatasan solar bagi nelayan. Dalihnya, aturan itu menyulitkan nelayan saat musim puncak tangkapan ikan sekaligus berpotensi menghambat realisasi target produktivitas sektor perikanan Banyuwangi. Padahal mayoritas nelayan masih menggantungkan bahan bakar solar bersubsidi saat melaut. Selain itu, semua nelayan tradisional Banyuwangi termasuk kategori nelayan kecil yang menggunakan kapal berbobot dibawah 30 Gross Tonage (GT).
Kepada pemerintah pusat, ia mengusulkan agar skema proteksi diberlakukan pada nelayan kecil. Pembelian bahan bakar solar dikelompokkan kepada tiga kategori nelayan, yakni kecil, sedang dan besar. Dengan cara ini, dia yakin konsumsi solar lebih tepat sasaran.
Ratusan nelayan ikan di Kecamatan Muncar, sebelumnya menolak pembatasan penggunaan bahan bakar solar bersubsidi bagi nelayan. Seorang nelayan Muncar, Agus Sutikno, menuturkan kebijakan itu akanĀ  menyulitkan aktivitas mereka. Ia berharap, pemerintah membatalkan kebijakan itu di Kecamatan Muncar. “Nelayan pasti keberatan dengan pembatasan solar. Saya khawatir akan sulit mendapatkan solar untuk melaut,” kata Agus.
Namun, Agus mengaku belum mengetahui kepastian pembatasan BBM solar nelayan di daerahnya. Ia menjelaskan, kebutuhan BBM untuk nelayan ikan tidak menentu. Konsumsi BBM, kata Agus, bergantung jarak tempuh nelayan saat melaut. Semakin jauh jarak tempuh, kebutuhan BBM semakin banyak. Bila konsumsi BBM solar dibatasi, Agus memastikan para nelayan kesulitan menjaring ikan di lautan lepas.
Kapal berukuran kecil misalnya, membutuhkan minimal 100 liter solar untuk sekali melaut karena lokasi pencairan ikan semakin jauh dari bibir pantai. Jika nelayan dipaksa membeli solar nonsubsidi, membuat biaya operasional tinggi. [mb5]

Tags: