Pemkot Diminta Batasi Pendirian Hotel Baru

Anggota Komisi VI bidang BUMN DPR RI, Bambang Hardjo didampingi GM Hotel Inna Simpang, Maryanto. [achmad tauriq]

Anggota Komisi VI bidang BUMN DPR RI, Bambang Hardjo didampingi GM Hotel Inna Simpang, Maryanto. [achmad tauriq]

Surabaya, Bhirawa
Keberadaan hotel bintang dua hingga lima di Surabaya yang sudah over suplay dan membuat iklim industri hotel tidak sehat. Untuk itu Komisi VI bidang BUMN DPR RI meminta pemerintah Surabaya supaya membatasi pendirian hotel baru.
Menurut Anggota Komisi VI bidang BUMN DPR RI, Bambang Hardjo saat mengunjungi Hotel Inna Simpang Surabaya, Selasa (3/5) kemarin mengungkapkan hotel di Surabaya mencapai 390 hotel bintang 2 sampai 5 dengan 23 ribu kamar, belum termasuk hotel budget maupun hotel melati serta puluhan hotel yang baru mau beroperasi atau masih dalam tahap pembangunan.
“Tidak sehat dan bisa membuat gulung tikar, yang terjadi perang tarif guna memperebutkan tamu yang jumlahnya tidak bertambah sementara kamar hotel terus meningkat. Tidak itu saja, bisa jadi hotel menurunkan standar layanan yang justru membuat citra buruk pariwisata khususnya bila yang menggunakan wisatawan asing,” jelasnya usai pertemuan dengan  management Inna Simpang Hotel Surabaya.
Bambang menambahkan, moratorium hotel baru di Surabaya sangat mendesak dilakuan, sementara Pemkot Surabaya tidak bisa membiarkan kondisi tidak sehat dengan terus mengeluarkan izin pendirian hotel baru karena okupansi hotel bintang di Surabaya tidak sampai 50 persen.
Apalagi sekarang Indonesia sedang gencar menggalakan pariwisata sebagai motor devis, sehingga eksistensi hotel sangat penting. Karena di Thailand saja yang hanya memiliki satu raja serta budaya dan alam tidak sebagus Indonesia bisa mendatangkan turis 40 juta, sementara Indonesia dengan banyak kerajaan dan aneka budaya hanya mampu mendatangkan 10 juta turis.
“Kualitas layanan hotel menjadi syarat utama mampu menarik wisatawan selain budaya dan destinasi wisata. Kondisi hotel di Surabaya yang over supply harus ditindaklanjuti pemkot dengan segera moratorium, bila tidak bakal hancur semua ,” pungkas Bambang.
Ditambah lagi sinergi antar sesama perusahaan BUMN tidak efektif, bahkan perintah Menteri BUMN juga tidak diindahkan alias tak berjalan dilapangan. “Tidak diindahkannya instruksi Menteri BUMN terlihat dari rendahnya okupansi tamu yang menginap dan pelaksanaan acara dari BUMN yang ada di Hotel Inna Simpang,” ujarnya.
Tampak pada kuartal pertama tahun ini (Januari – Maret 2016), jumlahnya okupansi hanya 3 persen saja. Padahal pada kuartal yang sama tahun 2015 lalu, jumlahnya masih mencapai 20 persen. “Inikan sangat aneh,  ada instruksi agar sesama BUMN melakukan sinergi, tamu malah turun. Mestinya tamu dari BUMN yang menginap bisa naik menjadi 60 persen,” tandasnya.
Padahal dari 119 perusahaan BUMN yang ada di Surabaya, 10 persennya saja yang mau menggunakan Hotel Inna Simpang, tamu pasti sudah cukup banyak. Apalagi kamarnya sangat layak untuk orang BUMN dan pejabat negara.
“Lokasinya juga strategis, cukup nyaman dan mendukung produktifitas, Selain itu jumlah hotel milik BUMN yang ada di Surabaya saat ini juga masih sangat sedikit hanya sekitar enam hotel saja,” katanya.
Sementara menurut GM Hotel Inna Simpang, Maryanto mengatakan, pihaknya terus meningkatkan kualitas layanan agar masyarakat mau menginap di hotelnya. Tujuannya, supaya target okupansi minimal 60 persen di hotel bintang empat ini bisa terwujud.
“Ini penting agar hotel tak merugi, saat tamu dan acara yang digelar BUMN di Hotel Inna Simpang turun drastis, tamu dan acara yang digelar pemerintah daerah, dalam hal ini Pemprov Jatim malah meningkat tajam,” ujarnya Maryanto. [riq]

Tags: