Pemkot – Pakuwon Main Mata, 200 KK di Keputih Tak Bisa Akses Air Bersih

Warga Keputih Timur Pompa Air, Kelurahan Keputih Sukolilo mengecek patok yang tertancap di tanah kawasan pemukimannya, Rabu (21/9). [gegeh bagus setiadi]

Warga Keputih Timur Pompa Air, Kelurahan Keputih Sukolilo mengecek patok yang tertancap di tanah kawasan pemukimannya, Rabu (21/9). [gegeh bagus setiadi]

Surabaya, Bhirawa
Sungguh memilukan nasib warga Kota Surabaya yang ada di kawasan Keputih Timur Pompa Air, Kelurahan Keputih Sukolilo. Hanya ingin mendapatkan air bersih, warga harus merogoh koceh hingga ratusan ribu per bulannya. Padahal penghasilan warga yang mayoritas nelayan ini tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan air bersih. Namun, demi kesehatan dan kebutuhan sehari-hari, mereka rela menanggungnya.
Mirisnya, sudah 17 tahun warga yang berjumlah 200 KK (Kepala Keluarga) di delapan RW Kampung Keputih Timur Pompa Air ini harus membeli air. Dengan kalkulasi per gerobak air bersih dibeli seharga Rp 20 ribu. Jika dikalikan dengan jumlah warga, mereka mengelurkan biaya Rp 600 ribu per bulan untuk memenuhi kebutuhan air bersih untuk keluarganya.
Salah satu warga di sana, Joko Salamun mengakui harus membeli air di kampung sebelah dengan gerobak dorong, dengan kapasitas jeriken 20 liter air bersih. Memang tidak terlalu jauh, apalagi aktivitas membeli air bersih ini sudah berlangsung hingga puluhan tahun. Joko yang tinggal bersama istrinya, sedangkan anak-anaknya bekerja di luar pulau, mengaku sudah terbiasa akan hal itu.
“Untuk kebutuhan keluarga di rumah, satu geledekan itu habis dalam sehari. Ya mau bagaimana lagi,” kata pria yang berprofesi sebagai nelayan, Rabu (21/9) kemarin.
Joko harus membayar satu geledekan air itu seharga Rp 20 ribu. Sehingga, dia harus mengeluarkan biaya sekitar Rp 600 ribu per bulan untuk memenuhi kebutuhan air bersih keluarganya. Padahal, penghasilan Joko yang kesehariannya nelayan, tidak seberapa dengan kondisi dan musim saat ini. Demikian halnya dengan 200 KK lain yang ada di delapan RW kampung Keputih Timur Pompa Air.
Warga Keputih Timur Pompa Air, Hendrix Kurniawan yang memperjuangkan keberadaan air bersih di kampungnya mengatakan, sudah sejak 17 tahun lalu warga di sana tidak bisa mengakses air bersih. Menurutnya, warga sebenarnya sudah mengajukan berkali-kali untuk bisa mendapatkan air bersih.
“Dari 2009 lalu, kemudian pada 2012, kami sampai mengajukan ini ke partai (politik,red). Tetap tidak bisa tembus,” katanya.
Menurut dia, PDAM Surya Sembada sebagai Badan Usaha Milik Pemkot Surabaya, sebenarnya mau memasang jaringan itu. Namun, selalu kandas dan tidak terealisasi lantaran ada kendala sehingga PDAM tidak bisa segera masuk ke kampung itu.
Kendalanya, tanah yang ditempati warga bukan tanah milik Pemkot Surabaya. Menurut Hendrix, tanah itu milik Dinas PU Pengairan Provinsi Jawa Timur. Hendrix mengklaim, warga juga sudah memegang izin pemakaian tanah sempadan saluran Keputih Kejawan itu dari Dinas PU Pengairan Provinsi Jawa Timur nomor 503.593.1/0011/111.3/2016.
Dikonfirmasi terpisah, Lurah Keputih Yuli Utomo meyakini bahwa tanah yang ditempati warga di Kampung Keputih Timur Pompa Air masih berbatasan dengan tanah milik PT Pakuwon Jati Tbk. Karena itulah, Yuli tidak bisa memberikan tanda tangan izin pemasangan jaringan pipa tersier PDAM di kampung itu. Padahal salah satu syarat administratif dari PDAM adalah tanda tangan lurah setempat.
“Begini lho. Sertifikat Pakuwon ada di sana,” kata Yuli.
Ia mengatakan, dia lebih suka pihak-pihak yang berkaitan dengan kepemilikan tanah, yakni PT Pakuwon Jati Tbk, Dinas PU Pengairan Provinsi Jatim dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Surabaya bertemu di satu meja. “Saya tidak ingin di sisi lain nanti menjadi bumerang  bagi saya. PU Pengairan Provinsi juga sudah menyampaikan, nanti akan diundang lagi untuk bertemu. Makanya, saya tidak bisa menyetujui dulu,” ujarnya.
Kemarin pagi, perwakilan dari seluruh pihak di atas memang telah mendatangi lokasi Kampung Keputih Pompa Air untuk meninjau batas kepemilikan tanah antara PT Pakuwon Jati Tbk dengan milik PU Pengairan Provinsi Jatim.
Manajer Sekretariat dan Humas PDAM Surya Sembada Ari Bimo Sakti membenarkan, PDAM tidak bisa masuk ke wilayah yang tanahnya masih dalam sengketa. Selain itu, Bimo juga membenarkan harus ada tanda tangan dari lurah setempat sebagai persyaratan administratif pembangunan pipa tersier PDAM.
“Sebenarnya, PDAM memang tidak mempermasalahkan tanah siapapun asalkan warga mempunyai izin dari pemiliknya. Tanda tangan lurah itu memang sebagai syarat administratif,” ujar Bimo.
Warga yang gerah dengan kebijakan lurah ini telah melaporkan masalah pemasangan pipa tersier air bersih ini kepada Ombudsman RI Perwakilan Jawa Timur. Baik lurah, serta perwakilan Bidang Pemerintahan Pemkot Surabaya, serta PDAM Surya Sembada, juga sudah bertemu dengan Ombudsman RI Perwakilan Jatim.
Ketua Ombudsman RI Perwakilan Jatim Agus Widyarta mengatakan warga memang melaporkan hal ini kepadanya.”Laporan masuk ke kami, dan kami tindaklanjuti. Kami panggil lurah, juga Bidang Pemerintahan Pemkot Surabaya. Jawabannya sama, karena ada sertifikat Pakuwon. Ya saya tanya, apa itu tidak salah,” ujar Agus.
Agus mempertanyakan kenapa hal itu bisa terjadi? Sebab menurutnya, kalau memang pengelolaan tanah itu ada pada Dinas PU perairan, bagaimana bisa PT Pakuwon memiliki sertifikat tanah di sana.

Rencana Undang BPN
Dalam waktu dekat, Dinas PU Pengairan Jatim berencana akan memanggil Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang telah menyertifikatkan lahan aset dari provinsi, dan juga akan mengundang masyarakat.
“Tadi kita sudah meninjau lokasi dan Dinas PU Pengairan juga akan bersurat pada BPN agar nantinya ada pengukuran ulang. Namun, khawatirnya pengukuran ulang akan mengundang protes warga,” kata Kepala Dinas PU Pengairan Jatim melalui Kasie Pengendalian dan Pengawasan Ruse Rante, Rabu (21/9).
Sebelumnya, Ruse menjelaskan kalau lahan itu dulunya merupakan kewenangan provinsi, setelah otonomi daerah pengelolaan diserahkan Kota Surbaya. Kendati demikian, asetnya masih dalam kewenangan provinsi.
Pada 1999, ada lahan yang dekat dengan rumah pompa air itu dan kini terdapat permukiman warga itu sudah mendapatkan izin pemanfaatan dari Dinas PU Pengairan Jatim . “Setelah itu , sempat tidak diperpanjang, tahun lalu kemudian diperpanjang kembali. Awalnya memang ada 30 KK  dan sekarang menjadi 120 KK,” jelasnya.
Selanjutnya pada 2015, lahan tersebut yang kini ditempati warga itu sudah disertifikatkan Pakuwon.  “Ternyata dalam sertifikatnya itu, hampir semua lahan disertifikatkan. Yang jadi masalah, di belakang rumah itu ada tiga atau empat patok yang sudah ketemu. Batas BPN batas tanah negara dengan tanah tambak masyarakat. Masih untung ada patoknya,” katanya.
Dikatakannya meskipun ada batas patok yang masih ada, sayangnya Pakuwon sudah menyertifikatkan lahan itu termasuk sempadan sungai. “Ketika kita ingin mengetahui kreteg desa, anehnya dari lurah tidak mau membukanya kreteg desa tersebut. Untungnya ada warga yang sudah mencopy kreteg desa, termasuk surat lurah lama yang menunjukkan kalau tanah itu tanah negara,” paparnya.
Ia pun juga mempertanyakan pada BPN terkait sertifikat seluruh lahan di wilayah tersebut. “Tidak semua tambak masyarakat itu merupakan tambak masyarakat. Padahal ada lahan yang merupakan aset dalam kewenangan provinsi,” katanya.
Dijelaskan juga, ketika diukur melalui patok,  lahan permukiman hingga sempadan sungai saat ini sekitar 40 meter dari bibir sungai. Diperkirakan total luasan 4.000 m2 dengan luasan bervariasi dari bibir sungai. “Ada yang  30 meter dan ada 40 meter, namun rata-rata 40 meter,” ujarnya. [geh,rac]

Tags: