Pemkot-PT KAI Saling Lempar Tanggungjawab

Perlintasan Kereta Api (KA) di Jalan Gayung Kebonsari dijaga oleh warga setempat, Minggu (10/1) kemarin. Inisiatif warga tersebut mengingat perlintasan kereta tersebut tak berpalang pintu. [Gegeh Bagus/bhirawa]

Perlintasan Kereta Api (KA) di Jalan Gayung Kebonsari dijaga oleh warga setempat, Minggu (10/1) kemarin. Inisiatif warga tersebut mengingat perlintasan kereta tersebut tak berpalang pintu. [Gegeh Bagus/bhirawa]

Surabaya, Bhirawa
Angka kematian seseorang masih banyak terjadi di jalan raya. Kelalaian pengguna jalan pun bisa membuat nyawa melayang. Seperti di Kota Surabaya,  masih banyak perlintasan kereta api (KA) di Surabaya yang tidak berpalang pintu. Padahal perlintasan kereta itu berlokasi di daerah yang cukup padat kendaraan.
Salah satunya rel KA di Jalan Gayung Kebonsari. Palang pintu di perlintasan KA ini tidak berfungsi. Penjagaan hanya dilakukan oleh sukarelawan warga setempat untuk membatu pengguna jalan saat melintas rel KA tersebut. Demikian halnya di rel KA daerah Pagesangan, tepatnya di bagian barat Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya.
Kepala Bidang Pengendalian dan Operasional Dinas Perhubungan Kota Surabaya, Subagio Utomo mengatakan, Pemkot Surabaya melalui Dishub hanya menangani pintu perlintasan KA di Jalan Margorejo, dekat Giant Hypermart, serta di Jalan Margomulyo.
“Di Margomulyo itu ada dua sisi. Pemkot hanya bertanggungjawab untuk pintu perlintasan di sisi barat, sedangkan sisi timur ditangani oleh PT KAI,” ujarnya saat dihubungi Bhirawa, Minggu (10/1) kemarin.
Sementara, sebagian besar pintu perlintasan KA di Surabaya masih berada di bawah tanggungjawab PT KAI. Banyaknya perlintasan KA yang tidak berpalang pintu, kata Subagio, memang masih menjadi problem. Sebab, tren kecelakaan lalu lintas di perlintasan KA pada 2015 lalu meningkat cukup signifikan.
Dari data Analisa Evaluasi Kamtibmas Polda Jatim Akhir Tahun 2015 menyebutkan, kecelakaan lalu lintas di perlintasan KA di Jatim meningkat 21,05 persen pada tahun 2015. Tidak sedikit kecelakaan lalu lintas terjadi di perlintasan KA yang sudah berpalang pintu. Apalagi, kalau masih banyak terdapat perlintasan tanpa palang pintu.
Menurut pria asal Bojonegor, pemasangan palang pintu perlintasan ini karena sulitnya izin dari PT KAI. Terutama bagi pengembang infrastruktur jalan maupun real estat. “Sebenarnya, yang terpenting bagi Pemkot Surabaya adalah keselamatan, apalagi sudah ada Instruksi Presiden (Inpres) 4/2013 tentang keselamatan jalan,” katanya.
Namun, Subagio mengakui, selama ini koordinasi antara Pemkot Surabaya dengan PT KAI mengenai palang pintu perlintasan KA belum ada. Padahal, dalam pilar pertama Program Dekade Aksi Keselamatan Jalan yang termuat dalam Inpres 4/2013, adalah mengenai manajemen keselamatan jalan.
Salah satu fokus pilar pertama ini adalah penyelarasan dan koordinasi keselamatan jalan. Namun, Subagio, menjawab masalah minimnya koordinasi ini karena keinginan PT KAI untuk mengelola dan menguasai sendiri aset-asetnya. “Seharusnya, karena ini menyangkut keselamatan orang banyak, setidaknya proses perizinan palang pintu ini dipermudah,” ujar Subagio.
Sementara itu, Manajer Humas KAI Daop VIII Surabaya, Suprapto mengatakan, sebenarnya palang pintu perlintasan kereta api (KA) bukan tanggung jawab PT KAI. Sesuai dengan pasal 94 ayat (1) Undang-undang nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, sebidang perlintasan kereta api yang berpotongan dengan jalan harus ditutup demi keselamatan perjalanan kereta api dan pemakai jalan.
Penutupan sebidang perlintasan ini, sesuai ayat kedua pasal dan undang-undang yang sama, dilakukan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Penutupan ini termasuk dalam hal penyediaan palang pintu perlintasan, sirine, serta petugas penjaga pintu perlintasan KA.
“Penyediaan tenaga petugas penjaga palang pintu, sesuai UU 22/2009 tentang Lalu Lintas, adalah wewenang Pemda. Mohon dipelajari lagi,” katanya kepada wartawan, Minggu (10/1) kemarin.
Masih dikelolanya sebagian besar palang pintu perlintasan KA di Surabaya oleh PT KAI, kata Suprapto, karena memperhitungkan faktor kearifan lokal. “Kalau mau saklek, ya kami cabut semua palang pintu dan penjaga pintu perlintasan. Tapi kan enggak begitu juga,” ujarnya.
Mengenai perizinan pengadaan palang pintu perlintasan, Suprapto mengatakan, sebenarnya bukan merupakan kewenangan PT KAI. Sifat PT KAI dalam penyelenggaraan sarana transportasi kereta api, kata Suprapto, hanya sebagai operator kereta api. “Sesuai aturan, pengajuan izin bukan ke KAI, wewenangnya ada di Dirjen Perkeretaapian di bawah Kementerian Perhubungan,” ujarnya.
Perizinan palang pintu perlintasan KA ini telah termuat dalam Peraturan Pemerintah (PP) 72/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api. “Malah di situ sudah disebutkan fotmat permohonannya,” ujar Suprapto.
Secara umum sebenarnya palang pintu perlintasan, sirine, dan petugas penjaga pintu perlintasan KA bukan alat utama pengamanan di perlintasan kereta api. “Alat utamanya, sesuai UU 23/2007 adalah rambu-rambu larangan melintas. Sedangkan ketiganya itu hanya alat bantu pengamanan perlintasan KA,” katanya.
Filosofinya, kata Suprapto, karena palang pintu dan sirine di perlintasan KA bisa rusak. “Sedangkan penjaga palang pintu bisa ketiduran,” ujarnya.
Keselamatan berkendara saat melewati perlintasan KA seharusnya menjadi kesadaran masing-masing pengguna jalan. “Disiplin itu ada dua, disiplin karena kesadaran sendiri, ada disiplin karena takut oleh sanksi,” tambahnya.
Sebab itulah dia mengajak semua pihak turut terlibat dalam hal sosialisasi keselamatan lalu lintas. Karena sebenarnya yang menjamin keselamatan yang diri masyarakat masing-masing. Dengan cara disiplin, tidak melanggar perlintasan kereta api. (geh)

Tags: