Surabaya Bantah Serapan Rendah

Serapan Anggaran RendahSurabaya, Bhirawa
Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya membantah adanya pernyataan dari sejumlah legislator bahwa serapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Surabaya pada tahun anggaran 2015, rendah.
“Kalau ada yang bilang sekarang kok masih 42,41 persen, maka itu masih sangat baik jika dibanding rata-rata kabupaten/kota yang hanya 24 persen. Bisa dicek berapa serapan pemda lain. Data dari mana kok ada yang bilang bahwa Surabaya serapan terendah,” kata Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya Agus Sonhaji,  Selasa (25/8).
Ia mengatakan karakteristik proyek fisik di Kota Surabaya biasanya akan ada penyerapan tinggi di triwulan terakhir (Oktober-November-Desember) saat progres fisik proyek mencapai titik optimalnya. “Pengalaman empat tahun terakhir penyerapan APBD Kota Surabaya diakhir tahun seputaran 80 persen lebih, ini sangat luar biasa. Coba bandingkan dengan kota/kabupaten lain. Jadi Insya Allah tahun ini pemkot juga akan mencapai serapan tinggi seperti tahun-tahun sebelumnya,” katanya.
Mengenai catatan dari Kementerian Keuangan bahwa Kota Surabaya memiliki dana menganggur terbanyak di perbankan atau anggaran tidak terserap sejak 2011, Agus menjelaskan bahwa sebenarnya yang menjadi fokus Menteri Keuangan adalah daerah yang APBD-nya banyak bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil yang diambilkan dari APBN. “Nah harapan pemerintah bahwa anggaran tersebut harus terserap dengan baik dan akan jadi stimulasi ekonomi riel di daerah,” ujarnya.
Jelas, lanjut dia, hal ini wajar jika pemerintah daerah yang 80 persen lebih APBD-nya berasal dari DAK/DAU/Dana Bagi Hasil akan malas-malasan melaksanakan anggaran yang mereka minta tersebut.
“Hal ini yang membuat menteri keuangan berang. Tahu gitu kan lebih baik diserahkan ke pemda lain yang lebih giat bekerja membangun,” katanya.
Ia mengatakan banyak pemda yang anggarannya dari pusat dibuat deposito untuk nambah pendapatan daerah. “Memang ada hasilnya tapi kan yang dibutuhkan rakyat di daerah tersebut adalah adanya proyek dan program dari APBD yang bisa menyerap tenaga kerja lokal dan menggerakkan ekonomi setempat, kalau di simpan di bank apa bisa seperti itu?” ujarnya.
Sementara Pemkot Surabaya, lanjut dia, APBD untuk dana dari DAU/DAK/Dana Bagi Hasil hanya 20 persen, dan sisanya adalah dari kekuatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). “Sampai sekarang pun serapannya sangat besar karena DAU dipakai untuk bayar gaji PNS yang jumlah lebih dari 20 ribu (termasuk guru) saja kurang, sedang DAK sangat kecil,” katanya.
Sehingga tidak ada relevansinya serapan anggaran pada Agustus ini hanya 42,2 persen ini dengan kepentingan Kementerian keuangan. Hal ini dikarenakan dari anggaran pendapatan di APBD yang Rp1,5 triliun dari pemerintah pusat itu saat ini baru cair masuk kas daerah senilai Rp919 juta.
“Itu sudah terserap semua dan malah kekurangannya dicukupi oleh sumber pendapatan asli daerah untuk menutup penyerapan yang sudah Rp3 triliun per 20 Agustus 2015,” katanya.
Artinya, lanjut dia, Surabaya sudah baik. “Jadi duit transfer dari pusat begitu turun ke kas daerah langsung diserap, dan malah kurang sehingga memakai sumber PAD,” katanya.
Anggota DPRD Surabaya dari Partai NasDem Vinsensius Awey sebelumnya mengatakan bahwa predikat dana menganggur terbesar di Indonesia bukanlah sebuah prestasi yang patut dibanggakan. Tingginya dana idle menunjukan rendahnya serapan APBD, khususnya serapan di Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Pematusan Surabaya yang mana sampai Agustus 2015 baru terserap 18 persen.
Sedangkan di Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang sampai dengan Agustus baru sekitar 29 persen. Total Realisasi Belanja Pemkot sampai Agustus baru 39 persen.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, sebelumnya mengatakan sejak 2011 hingga Juni 2015 masih ada dana pemerintah daerah di perbankan, yang “menganggur” hingga Rp273,5 triliun dan jumlahnya berpotensi meningkat, apabila tidak ada terobosan dalam hal pencairan anggaran.
Kondisi ini bisa menghambat pendanaan belanja daerah, terutama belanja modal untuk pembangunan sarana infrastruktur yang dibutuhkan untuk menggairahkan kinerja perekonomian, agar tidak terus-terusan mengalami kelesuan.
Kementerian Keuangan mencatat lima provinsi yang masih memiliki dana menganggur terbanyak di perbankan atau “idle” sejak 2011 antara lain DKI Jakarta, Jawa Barat, Riau, Papua dan Kalimantan Timur.
Sedangkan untuk tingkat pemerintah Kota yang masih mempunyai dana menganggur atau “idle” di bank Nasional dan bank daerah hingga Juni 2015, Surabaya menduduki posisi teratas disusul Medan, Cimahi, Tangerang dan Semarang. Sedangkan tingkat Pemerintah Kabupaten, Kutai Kertanegara menduduki posisi teratas disusul Kabupaten Malang, Bengkalis, Berau dan Bogor. [gat,ant]

Rate this article!
Tags: