Pemkot Surabaya Tampung Keluhan Masyarakat terkait Pendidikan

Karikatur Ilustrasi

Pemkot Surabaya, Bhirawa
Banyaknya keluhan dari siswa putus sekolah yang masuk ke Pemkot Surabaya mengundang keprihatinan Wali Kota Tri Rismaharini.
Dia mengungkapkan, bahwa banyak Organisasi Perangkat Daerah (OPD) seperti Dinas Pendidikan, Dinas Pengendalian Penduduk, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Dinas Sosial, hingga Bagian Kesejahteraan Rakyat yang mendapatkan keluhan dari masyarakat.
Risma menjelaskan banyaknya siswa SMA/SMK yang harus menghabiskan waktu berjualan nasi goreng, hingga ojek online di sela-sela aktivitas belajar mengajar. Para siswa tersebut lantas didata dan di outreach hingga ke rumah masing-masing. Hasilnya, para siswa itu berpotensi putus sekolah.
Menurut Risma, hal tersebut bertentangan dengan semangat kemerdekaan, di mana seharusnya seluruh lapisan masyarakat berhak mengenyam pendidikan minimal wajib belajar dua belas tahun.
“Masa hanya yang mampu saja yang bisa bersekolah. Kalau begini kan sama saja saat era penjajahan dulu,” katanya saat dijumpai di kediaman Wali Kota, Rabu (20/6).
Oleh karenanya, Pemkot Surabaya tidak tinggal diam. Selama ini, para pelajar yang putus sekolah atau kedapatan berada di tempat-tempat yang tidak semestinya didata dan didampingi.
Salah satu wali murid, Welly Hariyanto akhir-akhir ini cukup pusing. Apalagi setelah beredarnya wacana kenaikan SPP bagi SMA/SMK.
Otomatis ayah empat anak ini harus memikirkan biaya pendidikan anak-anaknya. Apalagi, salah seorang anaknya tahun ini bakal masuk ke jenjang SMA/SMK setelah lulus dari SMP.
Dengan usaha membuka warung kopi, tidak banyak pilihan dari Welly untuk mengumpulkan uang dari sumber pendapatan. Sang istri, Heni Purwanti, sebagai ibu rumah tangga sesekali membantu menjaga warung kopi miliknya.
“Ya, kalau SPP naik, agak pusing juga. Untuk biaya hidup sehari-hari saja sudah pas-pasan,” kata Welly ketika dimintai pendapat terkait wacana kenaikan SPP.
Hal senada juga dialami Djumain. Pria 48 tahun yang sehari-hari sebagai kuli batu ini juga mempunyai seorang putera yang kini sudah tak bersekolah.
Seharusnya, puteranya bersekolah di jenjang SMA/SMK, namun karena tidak ada biaya, maka keputusan berhenti mengenyam bangku pendidikan pun harus diambil.
Dengan penghasilan Rp 2 juta per bulan, Djumain harus menghidupi istri dan empat anaknya. “Ya, jujur sebenarnya sedih ketika anak saya tidak bisa bersekolah. Tapi, ya mau gimana lagi,” tuturnya dengan nada pasrah. [dre]

Tags: