Pemprov Diminta Turunkan 24 Ribu Warga Jatim Terjangkit HIV/AIDS

 

Mahasiswa Fakultas Ilmu Kesehatan UM Surabaya menggelar refleksi hari AIDS sedunia, Selasa (1/12).

Mahasiswa Fakultas Ilmu Kesehatan UM Surabaya menggelar refleksi hari AIDS sedunia, Selasa (1/12).

DPRD Jatim, Bhirawa
Penderita Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) Jatim menempati rangking dua besar di seluruh Indonesia, setelah DKI Jakarta.
Tingginya angka penderita penyakit mematikan dan belum ada obatnya tersebut, menggugah Komisi E DPRD Jatim untuk mengingatkan masyarakat akan ancaman terhadap melemahnya kekebalan tubuh tersebut.
Untuk itu, antisipasi bahaya penyebaran HIV/AIDS harus menjadi pekerjaan rumah pemerintah. Apalagi, pasca kebijakan Pemprov Jatim menutup seluruh lokalisasi di Jatim ternyata tidak diimbangi dengan pembinaan terhadap eks pekerja komersial, sehingga penyebaran penyakit satu ini belum bisa dideteksi secara ketat.
Anggota Komisi E DPRD Jatim M Eksan, mengatakan penyebaran HIV/AIDS biasanya linier dengan kasus penyalahgunaan narkoba maupun dengan kebebasan seks. Apalagi, Jatim menduduki peringkat dua besar dengan jumlah penderita HIV/AIDS terbanyak di seluruh Indonesia. Karenanya, Pemprov Jatim diminta untuk segera turun tangan untuk mengatasi masalah ini. Termasuk pemberian edukasi ke masyarakat terkait bahaya pemakaian narkoba dan seks bebas ternyata bisa berimbas pada penyakit HIV/AIDS.
“Upaya mencegah HIV/AIDS juga harus diperketat seperti halnya penyebaran narkoba. Untuk itu, peranan pemerintah harus ketat mengawasinya agar ancaman penyakit HIV/AIDS bisa diturunkan,” terangnya yang dihubungi lewat telepon genggamnya, Selasa (1/12).
Ditambahkan Eksan, masih tingginya penyakit HIV/AIDS karena pendekatan yang dilakukan Dinas Kesehatan selama ini, belum efektif. Karena itu ia mengingatkan pendekatan menyeluruh harus dilakukan, sehingga pencegahan dan penanganan kasus penyakit satu ini bisa diselesaikan. Di Indonesia sendiri wilayah yang mempunyai kasus HIV/AIDS tertinggi setelah DKI Jakarta adalah Provinsi Jatim.
Menurut data Kemenkes, sejak 2005 sampai September 2015, terdapat kasus HIV sebanyak 184.929 yang didapat dari laporan layanan konseling dan tes HIV. Jumlah kasus HIV tertinggi yaitu di DKI Jakarta (38.464 kasus), diikuti Jatim (24.104 kasus), Papua (20.147 kasus), Jawa Barat (17.075 kasus) dan Jawa Tengah (12.267 kasus). Kasus HIV Juli-September 2015 sejumlah 6.779 kasus. Faktor risiko penularan HIV tertinggi adalah hubungan seks tidak aman pada heteroseksual (46,2 persen) penggunaan jarum suntik tidak steril (3,4 persen), dan LSL (Lelaki Sesama Lelaki) (24,4 persen).
Data yang didapat menyebutkan, jumlah kasus HIV/Aids dalam sepuluh tahun terakhir secara umum meningkat. Peningkatan ini sejalan dengan makin banyaknya masyarakat yang sadar dan melakukan tes HIV.
Terpisah, Ketua Komisi E DPRD Jatim dr Agung Mulyono menegaskan sudah seharusnya aparat di instansi pemerintahan dilakukan pemeriksaan. Baik urine maupun darah. Dengan begitu pengguna narkoba hingga penderita HIV/AIDS dapat terdeteksi secara dini sehingga dapat dilakukan pemeriksaan. “Mereka yang terjangkit kedua penyakit ini hendaknya jangan dikucilkan. Tapi bagaimana mereka didekati dan dirangkul serta memberikan penguatan terhadap mereka jika penyakitnya sebenarnya dapat dihadapi tentunya dengan hidup normal dan sesuai petunjuk agama,”papar Agung.
Direktur Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Sigit Priohutomo mengatakan meningkatnya jumlah kasus HIV dan AIDS di Indonesia layaknya fenomena gunung es. Namun fenomena tersebut perlahan tapi pasti mulai terangkat. “Makin banyak yang terdeteksi, makin terangkat gunung esnya. Semakin banyak juga masyarakat yang mau melakukan tes dan mengetahui statusnya,” kata Sigit.
Menurutnya, hal tersebut juga tidak lepas dari pergeseran target program deteksi dini dan skrining. Dulu, kata Sigit, yang dites hanya kelompok kunci yang diduga mengidap HIV. “Sekarang tes juga dilakukan ke populasi umum, terutama ke ibu rumah tangga. Ibu rumah tangga menjadi salah satu kelompok pengidap HIV yang tinggi,” imbuhnya.

Surabaya Tertinggi
Berdasarkan data Dinas Kesehatan (Dinkes) Jatim, estimasi penduduk Jatim yang menderita HIV/AIDS sebanyak 57.321 orang. Di mana Kota Surabaya menjadi daerah di Jatim yang jumlah penderitanya paling banyak, yaitu 7.045 orang, disusul Kabupaten Malang sebesar 2.693 orang, Kabupaten Jember sebanyak 2.489 orang. Total ODHA yang meninggal dunia sampai September 2015 mencapai 3.323 orang.
Sedangkan dari Januari hingga September 2015 sebanyak 69 orang meninggal dunia di Jatim akibat HIV/AIDS. Untuk bayi yang lahir dengan HIV pada tahun 2015 sebanyak 78 bayi, di mana 20 di antaranya meninggal dunia.
“Terus meningkatnya kasus HIV/AIDS memang sangat memprihatinkan dan menjadi kecemasan masyarakat. Tapi semakin banyak jumlah ODHA yang terdata dan mendapat pengobatan semakin bagus. Daripada jumlahnya sedikit namun sebenarnya yang belum terdata dan mendapat pengobatan masih banyak,” papar Kepala Dinkes Jatim dr Harsono.
Kepala Rumah Sakit Khusus Infeksi (RSKI) Prof Dr Boerhan Hidayat dr SpA(K) menambahkan yang harus menjadi perhatian pemerintah bukan hanya menemukan dan mendata ODHA tersebut, tapi juga mengajak mereka berobat dan memberikan dukungan moral. Karena kebanyakan penderita ODHA dikucilkan atau mengucilkan diri dari masyarakat, sehingga mereka menutup diri.
Apalagi bagi mereka yang berprofesi sebagai pekerja seks komersial, aktivitas mereka tidak terpantau dan dapat menularkan penyakit tersebut ke lebih banyak orang. “Ini yang menjadi keprihatinan para dokter, kami memiliki kemampuan untuk mengobati mereka, namun memiliki keterbatasan dalam menjangkau dan menemukan mereka,” tegas Burhan.
Dosen Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surabaya Yuanita Wulandari mengatakan sudah saatnya bagi masyarakat di Indonesia untuk lebih ramah terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Bukan sebaliknya, menjauhi atau bahkan mengucilkan mereka. Karena sikap ini justru akan menyulitkan usaha untuk mengintervensi ODHA.
Sikap ramah dan toleran sekaligus menjadi cara yang tepat untuk meningkatkan angka harapan hidup ODHA. Menurut Yuanita, pemahaman mengenai angka harapan hidup orang dengan HIV perlu ditingkatkan oleh seluruh masyarakat. Fakta-fakta tentang angka harapan hidup orang HIV yang mendapatkan medikasi yang baik mampu hidup lebih dari 15 tahun sejak didiagnosa. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa kematian yang terbanyak disebabkan oleh penyakit non AIDS seperti diabetes mellitus, depresi, Hepatitis B dan C, hipertensi dan lainnya.
“Fakta ini memang masih sebatas hipotesis dari rencana penelitian. Tetapi pihak universitas ingin melakukan penelitian ini untuk menumbuhkan optimisme ODHA dalam menjalani hidup,” tutur Yuanita di sela pelaksanaan aksi simpatik hari AIDS sedunia di UM Surabaya, Selasa (1/12).
ODHA, lanjut dia, cenderung memiliki kesadaran tinggi untuk memeriksakan kesehatan. Terutama antisipasi risiko penyakit bawaan. Sedangkan mereka yang bukan Odha cenderung kurang peduli kesehatan.
Sementara itu, refleksi Hari AIDS 1 Desember di UM Surabaya juga menghadirkan tiga ODHA. Di antaranya, Yeni, Mr R serta Mrs L. Yeni merupakan waria yang terpapar AIDS dan kini menjadi relawan peduli AIDS. Sebagai relawan, dia pun sudah siap dikenali identitasnya ODHA. Sedangkan Mr R dan Mrs L merupakan suami istri. Sebelum menikah keduanya sama-sama positif HIV. Dari perkawinan keduanya, kini lahir seorang anak yang justru negatif HIV.
Refleksi juga menghadirkan aksi mahasiswa D-3 Keperawatan dan D-3 Analis Kesehatan Fakultas Ilmu Kesehatan UM. Mereka menyalakan lilin berbentuk pita HIV. Di dada kanan mereka juga terpasang pita merah melingkar, symbol peduli HIV/AIDS. “Refleksi lilin ini untuk ingatkan bahaya HIV/AIDS. Penyakit mematikan ini ada di sekitar kita dan bisa saja mengancam kita,” kata Ach Fauzi, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Kesehatan UM.
Hal senada disampaikan Pramesti Widya Adinda, mahasiswi semester I D-3 Analis Kesehatan. “Penutupan lokalisasi Dolly di Surabaya membuat kontrol pada mereka yang risiko HIV/AIDS sulit dilakukan. Ini menjadi sisi buruk penutupan lokalisasi,” kata Pramesti Widya. [cty,dna,tam]

Tags: