Pemuda, Dekadensi, dan Harapan Negeri

Khalilatul AzizahOleh :
Khalilatul ‘Azizah
Disciple Monash Institute 2015 dan Peraih Beasiswa BLU FDI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pemuda merupakan elemen vital dalam pembangunan peradaban suatu bangsa. Hampir dalam setiap pergerakan, pemudalah yang menjadi motor penggeraknya. Perlu diketahui bahwa, berbagai potensi, bakat serta kecenderungan, baik yang mengarah pada kebaikan maupun keburukan, mengalir kuat ketika masa muda. Sehingga, proses tersebut berdampak cukup signifikan bagi pembentukan karakter serta kematangan kepribadian seseorang di masa tuanya. Itulah sebabnya, masa transisi menuju dewasa ini merupakan periode keemasan bagi setiap insan.
Dewasa ini, di tengah derasnya arus globalisasi yang melanda dunia, tak terkecuali Indonesia, menimbulkan berbagai dampak dalam berbagai aspek, terutama pengaruh bagi kawula muda dalam proses pembentukan karakter mereka. Dekadensi moral, merupakan pemandangan yang sudah tidak asing lagi pada generasi penerus negeri ini. Namun, terasa aneh karena dilema-dilema terkait moral justru marak terjadi di negara yang mayoritas berpenduduk muslim seperti Indonesia ini. Tata aturan serta nilai berkehidupan yang sebelumnya telah terbentuk nampaknya telah tergeser dari porosnya. Pemuda seakan kehilangan ruh dan jati diri kepemudaan mereka, sehingga mereka salah kaprah dalam mengekspresikan hakikat jiwa mudanya. Lebih dari itu, tugas yang diembankan pada mereka tidak dapat terealisasi dengan baik, karena mereka tersesat jauh dari fungsi utama mereka sebagai tiang kehidupan umat dan bangsa. Sangat disayangkan, realitas dekadensi moral pemuda bangsa ini justru terjadi di era globalisasi yang serba maju seperti ini. Pemuda cenderung gagu dalam memfilter arus globalisasi. Dalam hal ini, tidaklah bijak jika kita begitu saja menyalahkan proses globalisasi atas apa yang terjadi pada pemuda sekarang. Karena, globalisasi merupakan suatu rangkaian historis yang tidak dapat terlepas dari peningkatan kemampuan pemberdayaan akal manusia.
Apabila kita telisik lebih dalam, mental pemuda jaman sekarang cenderung berkiblat pada budaya barat, yang begitu lantang menyuarakan kebebasan akan hak individu. Bukti kebobrokan mental mereka pun sudah nyata adanya. Jadi, secara tidak langsung generasi ini sedang mengalami internalisasi liberalisme. Padahal, budaya Indonesia sangatlah bertolak belakang dengan budaya barat, terlebih bagi kita selaku umat Islam yang memiliki aturan sedemikian rupa dalam setiap sendi kehidupan. Peran media, baik cetak maupun elektronik sangatlah massif dalam penyebarluasan tontonan serta suguhan informasi yang kurang mendidik dan jauh dari nilai norma yang berlaku.
Coba perhatikan tayangan yang disajikan di televisi yang mengangkat tema tentang sekolah, namun, sama sekali tidak menggambarkan kegiatan belajar mengajar yang ideal, sebaliknya, justru lebih menonjolkan pada aspek pacaran, bermewah-mewahan, hidup bebas serta hura-hura. Bahkan tanpa kita sadari, terkadang media tersebut digunakan secara terstruktur oleh pihak-pihak tertentu untuk melancarkan misinya. Karena, sudah menjadi rahasia umum bahwa. media kita memiliki kecenderungan untuk menayangkan sesuatu yang lebih berpihak pada kepentingan si pemilik media. Dan bukan tidak mungkin, jika misi pihak-pihak tertentu itu mengandung unsur destruktif bagi moralitas generasi muda.
Kerusakan moral dan jati diri umat serta bangsa ini, tidak lepas dari upaya jahat pihak luar yang menginginkan bangunan atas nama -Islam dan Indonesia ini- hancur perlahan-lahan. Sementara itu, upaya pembendungan mobilisasi dari upaya penjajahan karakter ini sangatlah lemah, bahkan hampir tidak ada. Keadaan ini diperparah dengan lemahnya peran instrumen penegak hukum serta terbatasnya ulama’ dan tokoh masyarakat yang dapat diharapkan. Sebagai generasi muda, kita harus peka, bahwa musuh kita sekarang bukanlah lagi meriam, tank, granat, dan senjata api lainnya. Namun, musuh kita sekarang adalah racun yang dibungkus dengan ribuan kenikmatan semu, termasuk di dalamnya adalah ideologi liberalisme yang mengajarkan kita pada kebebasan mutlak. Di samping itu, pengaruh teknologi saat ini yang sudah sangat mengurat syaraf, terutama di kalangan remaja, menimbulkan dampak gaya hidup instan, bermalas-malasan, serta mengurangi rasa empati terhadap sesama, karena penikmat akut dari teknologi dapat dikatakan memiliki dunianya sendiri. Keadaan mental dan moral pemuda yang semakin rapuh karena dampak negatif yang tak terelakkan ini, disebabkan karena semakin berkurangnya generasi muda Islam khususnya, yang masih mau menginternalisasikan nilai-nlai substansi Al Qur’an di dalam dirinya, sehingga mereka lupa bahwa mereka adalah pemimpin dan harapan umat.
Pemuda, Harapan Umat dan Bangsa
Dari Abu Barzah Al Islami, berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Tidak akan beranjak kaki seorang hamba pada hari kiamat dari hadapan Allah sampai ia ditanya mengenai empat hal, yaitu tentang umurnya untuk apa ia menghabiskannya, tentang jasadnya (masa mudanya) bagaimana ia menggunakannya, tentang ilmunya bagaimana ia mengamalkannya, dan mengenai hartanya dari mana ia memerolehnya serta kemana ia mentashorrufkannya”. (HR. Turmudzi).
Dari hadist tersebut, terlihat bahwa Islam menaruh perhatian cukup besar terhadap eksistensi dan peran pemuda sebagai pewaris tahta peradaban suatu umat dan bangsa. Tidak salah jika dikatakan bahwa kemajuan bangsa terletak pada kemajuan pemudanya. Pernyataan tersebut mengisyaratkan bahwa pemuda merupakan simbol serta tolak ukur kemajuan umat dan bangsa. Dalam pernyataan lain, Imam Syafi’I secara jelas menyatakan bahwa, “Syubbanul yaumi Rijaalul Ghod”, pemuda hari ini adalah pemimpin di keesokan hari.
Sudah sepatutnya pemuda menyadari, bahwa mereka adalah bagian dari keberlangsungan peradaban umat dan bangsa, kontribusi mereka sangat menentukan kemana arah bahtera suatu bangsa akan tertuju. Maka, setidaknya ada empat hal penting yang harus diperhatikan sebagai upaya perbaikan karakter umat dan bangsa, yaitu kepribadian, intelektualitas, moralitas, serta sosiabilitas, yang mana kesemua aspek tersebut harus bersandar pada Al Qur’an dan As Sunnah. Aspek-aspek tersebut bersifat integral, yakni saling terkait satu sama lain, jadi, tidak dibenarkan jika meninggalkannya walaupun hanya satu aspek saja. Sehingga, dengan modal tersebut, diharapkan pemuda mampu membaca permasalahan secara objektif dan komprehensif. Di samping itu, pengetahuan terkait dengan sejarah teladan kepemudaan dianggap perlu untuk sekedar refleksi dan kontemplasi, sudahkah kita mengalami kemajuan atau justru dekadensi yang terjadi.
Wallahu a’lam bi al-showaab.

                                                                                                    —————— *** —————-

Rate this article!
Tags: