Pemuda “Obor” Kebangsaan

Momentum Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928) tak terasa sudah 90 tahun berlalu. Tetapi momentum spirit kebangsaan itu masih menggelora bagai obor yang tak pernah padam. Walau tokoh nasional terdahulu (generasi 1920-an) tak selalu seirama se-iya se-kata. Namun demi pertalian bangsa, perbedaan mestilah diberi batas waktu dan tempat. Berbeda di ruang rapat, berbeda statement di halaman suratkabar, sudah biasa.
Perbedaan dalam visi kebangsaan hanya bagai “bunga-bunga” cara pandang ke-cinta-an dan upaya perjuangan memajukan bangsa. Sehingga Sumpah Pemuda, wajib dicetukan bersama, ber-asas kebangsaan. Sumpah Pemuda, menjadi kelanjutan sejarah mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Padahal sesungguhnya, tidak mudah menghimpun pemuda se-tanah air dari berbagai suku di Indonesia. Namun bersyukur, pertalian ke-keluarga-an telah disambung generasi terdahulu selama ber-abad-abad.
Ke-bhineka-an merupakan keniscayaan Indonesia, sejak abad ke-8. Atau seribu tahun sebelum Amerika Serikat lahir sebagai negara multi-etnis (berbagai bangsa di Eropa). Andai bangsa-bangsa Eropa yang datang ke Indonesia murni untuk berdagang (dan ber-asimilasi), pastilah akan diterima pula dengan baik. Ironisnya, warisan trautama perang salib telah menjadikan bangsa Eropa bagai singa kelaparan. Rakus menguras kekayaan alam di seluruh daerah Indonesia.
Umumnya bangsa Eropa (sat itu) adalah bangsa miskin, karena iklim dan minimnya sumberdaya alam. Sehingga tingkat pendidikannya juga sangat rendah. Ingat JP Coen, pimpinan armada besar Portugis (awal abad XVII), tidak lulus SD. Sebaliknya sejak abad XI, bangsa-bangsa Asia merupakan bangsa yang kaya (sumberdaya alam). Dan terdidik (melalui pendidikan agama Budha, Hindu dan Islam). Karenanya mengerti hukum karma, halal dan haram. Juga lekat dengan etika kesantunan.
Ke-rakus-an, dan penindasan militeristik (pembunuhan dengan senjata api) penjajah, sampai terkenal di seantero dunia. Terutama program tanam paksa. Lebih dari dua dekade 70% perekonomian kerajaan Belanda ditopang oleh rakyat Indonesia. Jika tidak, negara Belanda sudah terhapus dari peta Eropa atau setidaknya di-merjer menjadi koloni Inggris atau Perancis (sebagai pemenang perang). Kondisi pribumi, petani di Jawa hidup dalam kemisikinan yang parah.
Sebaliknya, penguasa negeri jajahan (Indonesia), gubernur jenderal Johannes van den Bosch, dianggap berhasil gemilang, lalu dianugerahi gelar kebangsawanan Graaf, (pada peringatan Natal 1839). Namun politik tanam paksa, tak dapat dilaksanakan selamanya. Karena itu Gubernur Jenderal Johan Paul van Limburg Stirum yang berkuasa sejak 1916 mulai menjalankan politik etis. Berbagai organisasi kedaerahan, dan keagamaan ditolerir.
Hal itu berhubungan dengan situasi internasional pencerahan bangsa-bangsa. Sehingga rezim penjajah Belanda mulai merespons desakan dalam negeri (dan di Belanda). Rezim terasa lebih santun terhadap pribumi jajahannya. Bahkan organisasi keagamaan lebih berpeluang cepat berkembang luas, karena dianggap tidak berpolitik. Berbeda cara dalam memperkuat nasionalisme kebangsaan, menjadi keniscayaan.
Momentum Sumpah Pemuda 1928, merupakan salahsatu cara awal menuju kemerdekaan. Ada juga kelompok lain yang menginginkan revolusi, angkat senjata. Untuk sementara, tekad perang revolusi, ditunda. Tidak angkat senjata melainkan cukup deklarasi adanya satu bangsa. Walau kelak (November 1945) terwujud aksi lain sebagai realisasi Sumpah Pemuda. Yakni, perang jihad mempertahankan kemerdekaan bangsa (proklamasi 17 Agustus 1945).
Setelah berlalu 90 tahun, momentum Sumpah Pemuda masih dibutuhkan aksi berbeda, seiring dengan berkembangnya makna kemerdekaan. Saat ini pemuda dituntut bersatu-padu dalam aksi pemberantasan narkoba, dan memberantas korupsi. Bangsa ini sedang terancam oleh korupsi yang masif, terutama yang dilakukan pejabat politik berkomplot dengan birokrat busuk.
Bersama masyarakat sedunia, setiap pemuda patut bersumpah turut memberantas korupsi. Juga kukuh melawan peredaran narkoba.
——— 000 ———

Rate this article!
Tags: