Pemulihan Berbasis Kemandirian

Oleh :
Abdul Hamid
Peneliti Kebijakan Publik

Menurut data yang dirilis Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), per 20 April 2020, sudah ada 2.084593 pekerja yang dirumahkan dan diputus hubungan kerjanya akibat Pandemi Covid-19. Angka sebanayak itu berasal dari 116.370 perusahaan. Rinciannya, ada 1.304.777 pekerja dari sektor formal yang dirumahkan oleh 43.690 perusahaan. Sementara itu, pekerja formal terkena PHK jumlahnya mencapai 241.431 yang berasal dari 41.236 perusahaan. Dampak lebih parah dialami sektor informal. Kemenaker mempublikasikan data 538.385 orang yang kehilangan sumber pemasukannya dari 31.444 perusahaan atau UMKM.

Data ini mengalami peningkatan per 31 Juli. Masih mengacu pada sumber data yang sama, disebutkan bahwa korban PHK sudah mencapai total 3,5 juta pekerja formal maupun informal.

Inilah salah satu efek domino yang paling nyata sejak terjadinya pandemi Covid-19, terhitung sejak diberlakukannya berbagai kebijakan pemutusan rantai penularan virus yang sudah menyebar ke lebih dari 200 nergara itu, mulai dari penerapan social distancing hingga Pembatasan Sosial Beskala Besar. Gelombang besar PHK yang diawali dari terhentinya kegiatan usaha dan rendahnya kemampuan bertahan pengusaha. Hasil survei mencatat 39,4 persen usaha terhenti, dan 57,1 persen usaha mengalami penurunan produksi. Kemampuan bertahan dunia usaha juga mengalami keterbatasan. Sebanyak 41% pengusaha hanya dapat bertahan kurang dari tiga bulan. Sebanyak 24% pengusaha mampu bertahan selama 3-6 bulan, 11% mampu bertahan selama 6-12 bulan ke depan, dan 24% mampu bertahan lebih dari 12 bulan. Sementara dampak Covid 19 pada usaha mandiri membuat usaha menjadi terhenti dan sebagian mengalami penurunan produksi. Sebanyak 40% usaha mandiri terhenti kegiatan usahanya, dan 52% mengalami penurunan kegiatan produksi.

Sebagai masalah global, segala kompleksitas masalah yang dihadirkan oleh Covid-19 bukan monopoli bangsa Indonesia saja. Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization atau ILO) memprediksi ada 195 juta orang yang diPHK di triwulan II 2020.. Prediksi ini berdasarkan hitungan jam kerja. Asumsinya, 6,7% jam kerja yang hilang karena terhentinya usaha. Jika dikonversika, prosentase itu sama dengan 195 juta orang. Menurut perkiraan ILO, jam kerja yang hilang paling banyak terjadi di negara-negara Arab, yaitu sebesar 8,1% atau setara PHK terhadap 5 juta tenaga kerja, Eropa sebesar 7,8% atau setara dengan PHK terhadap 12 juta tenaga kerja, dan Asia Pasifik sebesar 7,2% atau sama dengan 125 juta tenaga kerja.

Terjadinya badai PHK tersebut secara otomatis berimplikasi pada meningkatnya jumlah pengangguran. Negara digdaya dan mapan ekonominya seperti Amerika Serrikat pun tak kuasa menghindari realita tersebut. Bahkan negara yang kini dipimpin Presiden Donald Trump itu mengalami peningkatan signifikan. Pada akhir 2019, tingkat pengangguran di Amerika Serikat sebesar 3,5%. Prosentase ini mengalami lonjakan menjadi14,7% di bulan April, sebulan sejak WHO menetapan Covid-19 sebagai pandemi. China sebagai awal munculnya kasus Corona, mengalami peningkatan angka pengangguran dari 5,2% pada akhir 2019 menjadi 6% di bulan April 2020.

Persoalannya, seiring dengan tidak adanya satu pihak pun yang bisa memberikan kepastian sampai kapan Covid-19 menjadi pandemi, selama itu pula angka pengangguran berpotensi terus mengalami peningkatan dan menjadi bom waktu sosial yang bisa menimbulkan ledakan kapanpun. Karena itu diperlukan pemikiran-pemikiran out of the box untuk bisa memulihkan keterpurukan ekonomi masyarakat sebagai dampak gelombang PHK massal.

UU Cipta Kerja Adalah Solusi?

Polemik yang saat ini sedang menghangat di berbgagai media dan ruang diskusi adalah disahkannya RUU Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Bagi sebagian pihak, Undang-Undang tersebut dipersepsikan sebagai solusi mujarab untuk korban PHK sebagai dampak pandemi Covid-19.

Seperti diungkap Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Airlangga Hartarto, Undang-Undang Cipta Kerja akan mendorong reformasi regulasi dan debirokratisasi, sehingga pelayanan pemerintahan akan lebih efisien, mudah, dan pasti. Dengan reformasi regulasi itu diharapkan akan mendorong investasi dan meciptakan banyak lapangan kerja. Bagi pihak lain, Undang-Undang Cipta Kerja berpotensi menimbulkan penguasaan berbagai sektor ekonomi secara besar-besaran oleh investor asing, termasuk sektor pertanian.

Terlepas dari arus perdebatan yang berlangsung, ada ketidakpastian yang tersembunyi di balik Undang-Undang Cipta Kerja. Pertama, dari sisi keberlakuannya. Memang sejak disahkan oleh DPR, Undang-Undang tersebut memiliki keberlakuan normatif sebagai ius constitutum. Namun ada peluang keberlakuannya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi jika permohonan judicial review (uji materi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945) yang diajukan oleh pihak-pihak pemohon, dikabulkan karena melanggar azas Lex superiori derogat legi inferior (aturan hukum yang secara hierarkhi di atas mengalahkan yang di bawahnya) . Kedua, dari sisi political will pembentuk Undang-Undang itu sendiri. Dikatakan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja akan membuka keran investasi yang selama ini banyak terhambat oleh rumitnya prosedur, termasuk investasi asing, sehingga akan terbukalah peluang kerja yang bisa dimanfaatkan oleh mereka yang menjadi korban PHK sejak adanya pandemi Covid-19. Persoalannya, seberapa besar probabilitas bahwa investasi yang terjadi akan menyerap banyak tenaga kerja dari Indonesia sendiri dan bukan tenaga kerja asing?

Berangkat dari analisis tersebut diperlukan adanya kecerdasan adversitas untuk mencari solusi yang tidak membuat anak-anak bangsa Indonesia menggantungkan hatapan pada ketidakpastian. Perlu dirumuskan solusi alternatif yang memberdayakan secara optimal potensi mereka sendiri. Inilah yang disebut recovery ekonomi masyarakat berbasis kemandirian.

Karena itu, pemerintah pusat maupun daerah sangat diharapkan dapat berperan untuk menumbuhkan, melindungi, dan membina keberadaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Belajar dari resesi 98, eksistensi UMKM inilah yang justru berkontribusi besar terhadap penyelamatan ekonomi nasional. Sayangnya, pada resesi sekarang ini, mereka justru menjadi salah satu pihak yang terhantam kesulitan. Dibutuhkan atensi dan dukungan besar pemerintah agar mereka bisa kembali eksis.

Terkait hal tersebut, Program Bantuan Pangan Siap Santap yang ditawarkan Balitang Jawa Timur kepada keluarga terdampak Covid-19 bisa dijadikan inspirasi. Dengan skema internal cycle, bantuan ini akan dikelola oleh koordinator kelompok kluster, misalnya kelompok usaha informal, buruh tani, kelompok terPHK dan kelompok tidak berdaya/rentan (orang tua, balita, ibu hamil). Makanan siap santap tersebut dibeli atau didapatkan dari depot, warung atau catering penduduk sekitar dan disalurkan oleh penyedia kepada individu penerima. Iktikad baik seperti ini sangat dibutuhkan dari pemerintah oleh pelaku usaha UMKM agar bisa menjadi basis kebangkitan ekonomi bangsa di saat resesi.

———- *** ————

Rate this article!
Tags: