Pemusnahan Kapal, Bermanfaatkah

Wira Atma Hajri, SH, MHOleh: Wira Atma Hajri
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Riau

Tak hanya negara-negara tetangga yang berani mengambil kebijakan yang tegas terhadap kapal-kapal ilegal yang memasuki wilayah kedaulatan mereka. Sebut saja Australia dan Malaysia yang pernah mengambil kebijakan pemusnahan kapal yaitu dengan cara membakar dan menenggelamkan kapal-kapal nelayan ilegal asal Indonesia. Ternyata, pemerintah Indonesia juga bisa. Di mana beberapa waktu yang lalu, tepatnya Jumat (5/12), tiga kapal milik nelayan Vietnam dibakar dan ditenggelamkan di Perairan Anambas, Kepulauan Riau.
Untuk tahapan awal, hal ini patut kita apresiasi sebagai bentuk ketegasan yang diambil oleh pemerintah dalam hal ini Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti terhadap nelayan asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia. Sebab selama ini negara rugi hingga Rp300 triliun per tahun akibat pencurian ikan tersebut.
Adanya kebijakan ini ternyata mendapat respon positif dari sang pimpinan, Presiden Jokowi. Di mana sang presiden mengintruksikan kepada bawahannya yaitu Panglima TNI, Kapolri, Menkumham dan Menlu untuk mendukung kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan ini.
Tak sampai di situ, bahkan sang presiden dijadwalkan akan memantau proses pembakaran dan penenggelaman kapal nelayan asal Thailand yang ditangkap oleh petugas karena melakukan pencurian ikan di Perairan Pontianak, Kalimantan Barat. Hal ini direncankan oleh Menteri Susi pada 14 Desember 2014. Di mana tanggal tersebut bertepatan dengan Hari Nusantara.
Cukup Sekali
Di satu sisi kita harus apresiasi kebijakan Menteri Susi tersebut, namun di sisi yang lain juga harus kita kritisi. Artinya pembakaran dan penenggelaman kapal tersebut cukuplah sekali di perairan Anambas, Kepulauan Riau beberapa waktu yang lalu. Mengapa demikian? Apakah kebijakan tersebut melanggar aturan-aturan atau undang-undang yang ada?
Pertama, berdasarkan Pasal 76A UU 45/2009 tentang Perubahan Atas UU 31/2004 tentang Perikanan menyatakan bahwa “Benda dan/atau alat yang digunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk negara atau dimusnahkan setelah mendapat persetujuan ketua pengadilan negeri”. Pertanyaannya adalah apakah pemusnahan dengan cara membakar dan menenggelamkan kapal milik nelayan Vietnam di Perairan Anambas, Kepulauan Riau beberapa waktu yang lalu telah mendapatkan persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri?
Kedua, Pasal 76C ayat (1) UU 45/2009 menyatakan bahwa “Benda dan/atau alat yang dirampas dari hasil tindak pidana perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76A dapat dilelang untuk negara”. Dari pasal ini dapat dipahami bahwa kapal nelayan asing yang memasuki perairan Indonesia secara ilegal terlebih lagi dalam kasus pencurian ikan, kapal tersebut bisa dilelang. Bukankah kasus pencurian ikan oleh orang asing di perairan Indonesia sebagai suatu bentuk tindak pidana. Mengapa ke depan kapal-kapal asing lainnya harus dibakar dan ditenggelamkan? Bukankah ini mubazir?
Ketiga, 76C ayat (5) UU 45/2009 menyatakan bahwa “Benda dan/atau alat yang dirampas dari hasil tindak pidana perikanan yang berupa kapal perikanan dapat diserahkan kepada kelompok usaha bersama nelayan dan/atau koperasi perikanan”. Bukankah kapal nelayan asing yang digunakan untuk mencuri ikan di perairan Indonesia merupakan kapal perikanan? Mengapa ke depan masih juga menerapkan kebijakan menenggelamkan dan membakar kapal-kapl milik orang asing tersebut?
Cara bijak ke depan pemerintah tidak lagi membakar dan menenggelamkan kapal-kapal hasil sitaan dari tindak pidana perikanan. Sebab undang-undang juga memberikan pilihan bahwa kapal tersebut tidak hanya dapat dibakar dan ditenggelamkan, tetapi juga dapat dilelang, atau bisa juga pemerintah menyerahkan kapal tersebut kepada kelompok usaha bersama nelayan dan/atau koperasi perikanan.
Jadi dengan demikian lebih bermanfaat dan tidak mubazir. Sebab kalau dilelang, maka hasil lelang tersebut dapat mengisi kas negara. Pasal 76C  ayat (3) UU 45/2009 menyatakan bahwa “Uang hasil pelelangan dari hasil penyitaan tindak pidana perikanan disetor ke kas negara sebagai penerimaan negara bukan pajak”.
Begitu juga kalau diserahkan kepada kelompok usaha bersama nelayan dan/atau koperasi perikanan. Dengan demikian bisa dimanfaatkan oleh nelayan-nelayan kita. Bukankah harga kapal tersebut mahal? Untuk itu Bu Menteri Susi yang terhormat, kalau ada sesuatu yang jauh lebih baik dan bermanfaat, mengapa mengambil sesuatu yang itu hanya baik saja.

                                                          ———————- *** ———————-

Rate this article!
Tags: