Penambang Ilegal, Kisah yang Tidak Kunjung Usai

Aktivitas oenambang ilegak di Kabupaten Pamekasan yang jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun.

Membenahi Tata Kelola Pertambangan di Jawa Timur
Jawa Timur, Bhirawa
Layanan perizinan pertambangan di Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Jatim sudah dialihkan ke Pelayanan Perizinan Terpadu (P2T), namun ternyata belum mampu menutup celah praktik pungli dan korupsi. Terbukti, masih ada pejabat di Dinas ESDM Provinsi Jatim yang tertangkap Operasi Tangkap Tangan (OTT) Polda Jatim beberapa waktu lalu. Lantas apalagi yang harus dibenahi?
Menapaki tahun 2019, wajah layanan perizinan pertambangan di Jatim utamanya di Dinas ESDM Jatim harus menanggung persoalan yang tidak mudah. Bagaimana tidak, ketika tuntutan akan transpransi pelayanan perizinan sedang menguat justru di institusi ini kembali terjadi praktik pungutan liar (pungli) yang melibatkan oknum di Dinas ESDM Jatim.
Adalah pengusaha tambang Nurul Andini mengalami pemerasan yang dilakukan Kasi Evaluasi dan Pelaporan Bidang Pertambangan di Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Pemprop Jatim Cholik Wicaksono. Pemerasan itu dilakukan saat Nurul Andini hendak mengurus permohonan Ijin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi untuk komoditas pasir dan batu seluas 1,2 hektar yang berlokasi di Sungai Regoyo Desa Gondoruso, Kecamatan Pasiran, Kabupaten Lumajang. Saat Nurul Andini dan melakukan pertemuan ditempat dinas Cholik Wicaksono di Kantor Dinas ESDM Pemprov Jatim di Jalan Tidar Nomor 123 Surabaya sekitar akhir Desember 2018 lalu. Namun, Pertemuan itu justru menjadi petaka bagi Cholik karena ditangkap oleh Polda Jatim dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) atas dugaan melakukan pungli. Dalam kasus ini, tersangka Cholik Wicaksomo disangkakan melanggar 12 huruf e dan pasal 11 UU Tipikor Juncto 55 KUHP, Bhirawa (23/1)
Harus diakui, sorotan terhadap institusi ini (baca : Dinas ESDM Jatim) bukan kali ini saja, di tahun – tahun sebelumnya dinas ini juga secara khusus harus rela menjalani pemeriksaan Inspektorat Provinsi Jatim karena ada laporan pungli dari pemohon izin pertambangan. Berbagai upaya pun telah dilakukan di antaranya dengan mengalihkan perizinan ke P2T. Namun sayangnya, celah terjadinya pungli masih menganga terbuka yang akhirnya menyeret pejabat ESDM Jatim berurusan dengan aparat hukum.
Kepala Ombudsman RI Perwakilan Jatim Drs Agus Widiyarta, MSi menilai kasus pungli yang melibatkan pejabat di Dinas ESDM Jatim harus dibaca bahwa peralihan layanan perizinan pertambangan ke P2T tidak serta merta memangkas peluang praktik pungli yang sebelumnya selalu menjadi sorotan.
“Izin pertambangan memang sudah dialihkan ke P2T, namun untuk mendapatkan izin harus mendapatkan rekomendasi yang dapurnya masih di Dinas ESDM Jatim,” kata Agus Widiyarta. Oleh karena itu, yang harus terus didorong adalah bagaimana mekanisme rekomendasi itu bisa berlangsung fair dan transparan. Menurut Agus, persoalan rekomendasi izin pertambangan harus mendapatkan perhatian serius. Artinya, untuk menutup celah pungli instansi ini harus diikuti dengan langkah-langkah yang komprehensif.
“Misalnya volume permohonan rekomendasi yang masuk apakah sebanding dengan personel yang ada di dinas tersebut. Yang saya dengar personel di ESDM cukup kelabakan untuk memproses permohonan izin rekomendasi yang masuk. Implikasinya tentu permohonan perizinan menjadi sangat lambat dan mengundang peluang untuk melakukan suap atau pungli demi mempercepat turunnya rekomendasi,” tutur Agus. Lebih lanjut menurut Agus, di luar kasus OTT yang baru saja terjadi tersebut, Ombudsman Jatim juga sering menerima laporan terkait layanan publik di Dinas ESDM Jatim misalnya terkait sulitnya pengurusan perpanjangan izin tambang dan izin usaha jasa penunjang tenaga listrik.
Agus Widiyarta mengatakan, ada juga masyarakat yang datang mengeluhkan pungutan liar (pungli) untuk pengurusan rekomendasi izin pertambangan. Sebagaimana diketahui, untuk mendapatkan izin pertambangan dari Pelayanan Perizinan Terpadu (P2T), pengusaha harus mendapatkan rekomendasi dari Dinas ESDM.
“(Ada laporan) kalau tidak ada uang pelicin, perizinan tidak selesai. Dan indikasi itu sudah saya lihat,” katanya kepada Bhirawa, Jumat (1/1) kemarin.
Menurut cerita yang ia dapat dari pengadu, Dinas ESDM mempersulit terbitnya rekomendasi izin tambang. Ujung dari penyulitan izin itu, kata dia, yakni permintaan uang pelicin dari pejabat di dinas tersebut. Laporan permasalahan itu terjadi setelah kewenangan perizinan tambang beralih dari pemerintah kabupaten/kota ke pemerintah provinsi.
“Ada beberapa orang melaporkan seperti itu.Walaupun mereka belum memasukkan laporannya, tapi mereka bilang begitu,” tambahnya.
Kepala Dinas ESDM Jatim Setiadjit menjelaskan proses pengeluaran rekomendasi izin tambang dilakukan berjenjang. Selain proses administrasi dan teknis, cepat-lambatnya rekomendasi keluar juga tergantung pemenuhan syarat teknik dari pihak ketiga. Namun demikian, Setiadjit mengapresiasi langkah masyarakat yang memanfaatkan lembaga Ombudsman untuk mengadukan keluhan pelayanan publik termasuk yang terjadi di instansi yang dipimpinnya. Langkah itu, kata dia, menunjukkan masyarakat sadar hukum dan memulainya dengan cara benar.
Menurut Setiadjit, kalau masih ada anak buahnya yang nakal, semua akan diserahkan pada hukum yang berlaku, pihaknya terus memperbaiki kinerja. Khususnya dalam mempercepat penyelesaian perizinan sesuai ketentuan Peraturan Gubernur Jawa Timur No 49 Tahun 2016 tentang Pedoman Pemberian Izin Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral di Jatim.
“Dinas ESDM memang belum dapat menerbitkan perizinan sesuai pergub. Misalnya, proses pemberian rekomendasi izin sub urusan mineral dan batubara seharusnya 17 hari. Tetapi selama tiga bulan belum dapat diterbitkan,” ujarnya. Hal itu bisa terjadi biasanya karena dua hal. Pertama, lamanya jarak waktu antara berkas permohonan diterima sampai dengan dilakukannya cek lapangan, karena keterbatasan anggaran yang ada. Kedua, lamanya proses penandatanganan rekomendasi teknis karena masih perlunya dilakukan finalisasi dan klarifikasi kembali terhadap materi dan persyaratan perizinan.
Dijelaskan, sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba dan Batubara, bahwa penerbitan IUP oleh Pemerintah Provinsi harus menggunakan Perda. Dan sesuai prosedur hukum, Undang-Undang tersebut akan diterapkan setelah Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP). Namun nyatanya, sampai saat ini, PP belum diterbitkan. Tapi disisi lain, Dinas ESDM dan P2T Provinsi Jawa Timur, telah menerapkan Undang-Undang tersebut. Bahkan dijadikan dasar untuk penerbitan Pergub Jatim Nomor 49 Tahun 2016, sebagai regulasi penerbitan IUP.
Setiadjit mengakui bahwa masih ada permohonan perizinan tambang yang ngendon lebih lama dari waktu yang ditentukan.
“Lamanya perizinan ini bisa jadi di kantor ESDM, tapi bisa juga di pemohon. Sejauh dokumen utuh termasuk dari amdal kabupaten kota akan cepat. Tambang di Ngawi pernah 3,5 bulan tuntas,” kata Setiadjit.
“Petugas kami terbatas dan masa perizinan dibatasi hingga 17 hari,” kata Setoadjit lagi.
Pakar energi dan pertambangan Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Prof Iwan Vanany ketika dikonfirmasi terkait carut marut perizinan pertambangan menjelaskan bahwa merujuk Undang Undang 23/2014 tentang Pemerintah Daerah, maka sejak Oktober 2016 Pemerintah Provinsi mengambil-alih Izin Usaha Pertambangan (IUP) dari tangan pemerintah kabupaten. Namun demikian, peralihan tersebut sampai hari ini masih menimbulkan beberapa permasalahan. Persoalan itu lanjut Iwan misalnya menyangkut pedoman pelaksanaan perizinan tambang.
“Belum adanya Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri (Permen) tentang pedoman pelaksanaan perizinan tambang yang diterbitkan. Sehingga pelaksanaan perizinan tambang setiap provinsi berbeda-beda. Pedoman pelaksanaan perizinan tambang ini sangat penting karena hasil tambang sangat diperlukan untuk pembangunan. Diharapkan Pemerintah segera menyusun dan menerbitkan pedoman perizinan ini,” jelas Iwan.
Selanjutnya persoalan berikutnya adalah menyangkut masalah Pajak. Menurut Iwan meskipun izin tambang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi tetapi pajak tambang seluruhnya masuk ke Kabupaten. Oleh karena itu UU 28 tentang Pajak dan retribusi harus segera direvisi agar pemerintah provinsi bisa mendapatkan sebagian dari pajak tersebut. Dan persoalan serius berikutnya adalah menyangkut Pengawasan.
Dalam lampiran penjelasan UU tersebut, jelas Iwan disebutkan bahwa pengawasan kegiatanpertambangan adalah kewenangan Pemerintah Pusat. Hal ini sangat tidak mungkin dilaksanakan mengingat lokasi, jenis dan luasan tambang yang sangat beragam di seluruh wilayah Indonesia. Karena itu kewenangan pengawasan harusnya dibagi antar Pemerintah Pusat (untuk tambang yang besar dan strategis), Pemerintah Provinsi (untuk tambang dengan skala menengah ) dan Pemerintah Kabupaten ( untuk tambang dengan skala kecil ).
“Nah keruwetan inilah yang satu sama lainnya saling berpengaruh,” tegas guru besar kelahiran Denpasar Bali ini.
Menurut Iwan, tingginya aktivitas pembangunan fisik di Jawa Timur, baik akibat proyek fisik nasional berupa pembanguan berbagai insfrtstruktur maupun pembangunan fisik yang dibiayai pemerintah daerah membuat kebutuhan bahan tambang khususnya galian C ikut terkerek naik. Artinya, proses pertambangan galian C hampir tidak pernah akan mati. Kondisi ini seharusnya membuat bisnis pertambangan galian C di Jawa Timur mendapat perhatian yang serius.
“Sayangnya, potensi besar pertambangan di Jatim ini tidak diikuti dnegan kesigapan dan regulasi yang memadai untuk menggerakan bisnis pertambangan secara sehat,” kata Iwan lagi. Menurut Iwan, ada kesenjangan yang sangat serius antara kebutuhan material dari hasil tambang galian C, dengan kesigapaan pemerintah dalam mengeluarkan izin.
Dari data yang dimiliki Dinas ESDM Jatim memaparkan tentang potensi tambang galian C yang dimiliki Jatim yang tersebar di berbagai daerah di Jatim. Misalnya batuan gamping yang merupakan mineral bahan mentah industri semen diambil dari daerah Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Ponorogo, Ngawi, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Nganjuk, Jember, Bondowoso, Banyuwangi, Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep, dan Gresik, dengan cadangan total 1.259.438.298 m3.
Sementara untuk pasir besi, Jawa Timur punya kota Lumajang dengan Cadangan Pasir Besi terluas di Indonesia dengan luas 60 ribu hektar. Kadar besi nya berkisar antara 30-40 %. .Jawa Timur juga tidak perlu khawatir dalam pemenuhan kebutuhan bahan bangunan. Selain semen dan pasir besi yang sudah dijelaskan diatas, masih ada Ball Clay, digunakan sebagai bahan keramik, yang bisa ditemukan di Pacitan, Trenggalek, Blitar, Tuban, dan Lamongan, dengan cadangan total sebesar 31.519.886 m3. Sementara tambang Andesit, digunakan sebagai fondasi bangunan atau juga bisa hiasan, bisa ditemukan di Magetan, Ngawi, Madiun, Ponorogo, Pacitan, Nganjuk, Tulungagung, Mojokerto, Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Situbondo, dan Banyuwangi, dengan cadangan total 99.265.267 m3. Marmer, digunakan sebagai ornamen bangunan, bisa ditemukan di Pacitan, Tulungagung, Probolinggo, Lumajang, dan Bojonegoro, dengan cadangan total 65.959.750 m3. Selain yang sudah dijabarkan diatas masih ada juga mineral-mineral yang patut diperhitungkan meskipun belum secara jelas besar cadangannya, seperti mangan, iodium dan belerang. (Selengkapnya lihat tabel).

Tabel.1. Potensi Komoditas Tambang di Jawa Timur
No    Jenis Mineral                              Data Potensi
Potensi (m3)                       Wilayah
1.     Andesit                     170.482 Juta                       Ponorogo, Malang, Pasuruan, Bondowoso, Bojonegoro, Kediri, Pamekasan, Sumenep ,
2.     Sirtu                           135.715 Juta                       Ponorogo, Blitar, Pacitan, Mojokerto, Kediri, Sumenep
3.     Tanah Urug              1.130 Juta                           Madiun, Ponorogo, Bojonegoro, Mojokerto, Pamekasan, Sumenep
4.     Pasir                         25 Juta                                 Kantong – kantong lahar Gunung Kelud
150,13 Juta                         Kabupaten Lumajang (K. Glidik, K. Rejali, dan K. Mujur)
59.000 Juta                         Sepanjang Sungai Berantas
5      Yodium                                                                   Jombang
6      Belerang Malang,                                                 Bondowoso
Sumber: Dinas ESDM Provinsi Jawa Timur

Tabel.2. Kawasan Pertambangan Berdasar RTRW Provinsi Jatim
No   Jenis Pertambangan Wilayah
1     Pertambangan Mineral Logam Banyuwangi, Blitar, Jember, Lumajang, Malang, Pacitan, Trenggalek, Tulungagung,
2     Pertambangan Mineral non logam Tersebar di seluruh wilayah kabupaten provinsi Jawa Timur
3     Pertambangan batuan Tersebar di seluruh wilayah kabupaten provinsi Jawa Timur
4     Minyak dan gas bumi Bangkalan, Bojonegoro, Gresik, Jombang , Lamongan, Mojokerto, Nganjuk, Pamekasan,Sampang, Sidoarjo,                            Sumenep,Tuban, dan Surabaya
5     Pertambangan panas bumi 1. Argopuro di Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Jember, Kabupaten Probolinggo dan Kabupaten Situbondo;
2.    Belawan – Ijen di Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Bondowoso, dan Kabupaten Situbondo;
3.    Cangar dan Songgoriti di Kabupaten Malang dan Kota Batu;
4.    Gunung Arjuno – Welirang di Kabupaten Malang, Kabupaten Mojokerto, dan Kabupaten Pasuruan;
5.    Gunung Lawu di Kabupaten Magetan;
6.    Gunung Pandan di Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Madiun, dan Kabupaten Nganjuk;
7.    Melati dan Arjosari di Kabupaten Pacitan;
8.    Telaga Ngebel di Kabupaten Madiun dan Kabupaten Ponorogo;
9.    Tiris (Gunung Lamongan) di Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Probolinggo; dan
10.  Tirtosari di Kabupaten Sumenep
Sumber : DPRD Jawa Timur

Petugas Satpol PP saat menertibkan aktivitas penambang ilegak di Kecamatan Mojosari Kabupaten Mojokerto.

Membereskan Penambang Ilegal
Melihat tabel di atas, menunjukkan potensi pertambangan di Jawa Timur cukup besar dan tersebar di berbagai wilayah seperti Banyuwangi, Jember, Lumajang, Tulungagung, Pacitan hingga Malang dan Blitar Surabaya. Sayangnya, potensi tersebut tidak terkelola dengan baik terbukti persoalan penambang illegal terus saja ada bahkan ada kesan dibiarkan.
“Harus ada upaya upaya tegas terhadap aktivitas pertambangan ilegal karena dapat mengurangi nilai tambah bagi daerah dan yang pasti akan mengganggu aktivitas penambang yang legal,” kata dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (Unair) Dr Wisnu Wibowo. Menurut Wisnu keberadaan penambang illegal selain akan merusak lingkungan secara ekonomi juga akan merugikan pendapatan daerah karena tidak pernah membayar pajak daerah, serta mengganggu penambang legal atau resmi.
Di Jawa Timur, praktik tambang ilegal itu hampir terjadi di semua daerah.
“Apalagi sekarang ini kebutuhan urukan untuk proyek-proyek infrasruktur sangat tinggi. Praktik tambang ilegal itu pun terjadi di mana-mana,” ungkap Wisnu. Beberapa daerah itu, misalnya di Mojokerto, Probolinggo, Lumajang, Malang, Magetan, Pasuruan, Situbondo, dan berbagai daerah lain. Dengan keberadaan tambang-tambang ilegal, pelaku usaha tambang yang legal malah kalah bersaing. Terutama terkait harga jual barang tambang galian C. Alasannya, pelaku tambang ilegal tidak perlu keluar uang untuk proses perizinan, reklamasi, pajak, retribusi daerah, dan sebagainya.
Seorang pengusaha tambang galian C legal yang memiliki lahan tambang di Mojokerto. Bambang Riyadi (54) mengaku saat ini banyak penambangan bebatuan liar untuk urukan tol. Untuk proyek pemenuhan tanah urugan di tol yang Bambang kerjakan, setidaknya ada 12 saingan tambang liar yang ikut bermain. Hal tersebut menimbulkan keresahan bagi Bambang dan para pengusaha tambang galian C legal yang lain. Menurut Bambang, persaingan tersebut merugikan pengusaha tambang legal yang harus mengurus izin cukup rumit dan memakan waktu panjang. Selain itu, para penambang legal juga harus membayar pajak ke pemerintah daerah setempat yang nilainya tak sedikit.
Ia mencontohkan, pajak yang harus ia bayar yakni sebesar Rp150 juta per 25 meter kubik. Sepengetahuan Bambang, eksploitasi tambang ilegal terjadi di area yang tak seharusnya ditambang, seperti persawahan atau daerah lain yang bukan wilayah pertambangan menurut peta perencanaan pemerintah daerah setempat. Selain itu ada juga modus penambangan di banyak titik secara ilegal dengan mengatasnamakan satu izin. Padahal seharusnya satu izin hanya bisa dipakai untuk satu titik penambangan.
“Jadi itu merusak lingkungan, tidak membayar pajak, dan ketidaktaatan hukum serta premanisme,” jelasnya. Maraknya penambang ilegal menunjukkan ada kelemahan dalam hal pengawasan, kondisi itulah yang kemudian mendorong daerah (Kabupaten/Kota) menuntut untuk dilibatkan dalam pengawasan pertambangan.
Komisi III DPRD Kabupaten Pamekasan di Pulau Madura, meminta agar Pemerintah Provinsi Jawa Timur menyerahkan pengurusan izin penambangan ke pemerintah daerah, menyusul adanya ratusan usaha penambangan di wilayah itu yang tidak mengantongi izin usaha. Ketua Komisi III DPRD Kabupaten Pamekasan Moh Hosnan Achmadi di Pamekasan, Sabtu (2/2), menyatakan hingga kini jumlah usaha penambangan di daerah itu yang tidak berizin sebanyak 350 unit usaha.
“Berdasarkan hasil serap aspirasi yang kami lakukan selama ini, banyaknya usaha penambangan yang tidak berizin ini, karena mereka kesulitan untuk mengurus izin,” ujar Hosnan.
Menurut Hosnan, jumlah usaha penambangan yang tidak berizin sebanyak 350 unit bukanlah jumlah yang sedikit dan oleh karenanya, perlu perhatian pemerintah.
“Saran saya, hendaknya tidak semua izin penambangan diurus oleh Pemprov Jatim, jika pemerintah provinsi tidak bisa menyediakan kantor perwakilan di Pamekasan,” katanya.
Untuk jenis usaha penambangan dengan sekala tertentu, menurut dia, sebaiknya pengurusan izin usahanya diserahkan kepada daerah.
“Misalnya, untuk usaha penambangan dalam sekala rumah tangga, saya kira tidak perlu untuk mengurus ke Pemprov Jatim,” katanya, menjelaskan.
Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jatim Setiajit di Surabaya mengatakan telah mendata beberapa wilayah atau kabupaten/kota di Jatim yang ada aktivitas pertambangan ilegal dan tercatat ada sekitar 400 aktivitas pertambang ilegal.
“Pertambangan ilegal itu bukan hanya masalah Jatim, namun nasional. Untuk Jatim, kami akan memberantas pada 2019 dengan menambah petugas khusus inspektur tambang,” kata Setiajit akhir pekan kemarin. Aktivitas pertambangan ilegal di Jatim, kata dia, tercatat ada di 29 kabupaten dan kota, dan terdapat di sekitar Madura serta wilayah tapal kuda yang meliputi Pasuruan, Bondowoso, Situbondo, Jember, Probolinggo, Lumajang hingga Banyuwangi dengan mayoritas tembang jenis galian C serta logam.
Potensi pertambangan di Jawa Timur cukup besar dan tersebar di berbagai wilayah seperti Banyuwangi, Jember, Lumajang, Tulungagung, Pacitan hingga Malang dan Blitar dengan berbagai jenis pertambangan antara lain logam, emas dan pasir besi.
“Untuk saat ini yang sedang eksplorasi adalah di Trenggalek dengan luas lahan 20 ribu hektare. Kami harapkan, tahun 2019 bisa berproduksi dan menambah pemasukan bagi Jawa Timur,” katanya. Dia berharap dengan upaya tegas terhadap aktivitas pertambangan ilegal dapat memberikan nilai tambah bagi daerah serta untuk kemajuan Jawa Timur. Mayoritas aktivitas tak berizin itu datang dari tambang galian C (pasir, kerikil, dan tanah uruk) dan logam (emas).
“Kalau Migas tidak, sebab membutuhkan biaya mahal,” kata Setiadjit lagi.
Mantan Kepala Dinas Ketenagakerjaan Dan Transmigrasi Jatim itu melanjutkan penambangan ilegal itu sebagian besar berada Madura, Pacitan, dan daerah “Tapal Kuda”. Daerah tapal kuda meliputi Pasuruan bagian timur, Probolinggo, Lumajang, Jember, Situbondo, Bondowoso, dan Banyuwangi. Ada pun daerah-daerah yang memiliki potensi tambang di antaranya Jember, Lumajang, Malang, Blitar, Trenggalek, Tulungagung, dan Pacitan. Banyak potensi di daerah itu, baik tambang emas mau pun pasir, ia melanjutkan, belum tergarap secara maksimal.

Bukan Hanya di Jatim
Keberadaan tambang ilegal sesungguhnya bukan hanya persoalan di Jawa Timur, namun ini sudah menjadi fenomena nasional yang setiap daerah mengalaminya. Artinya, memang dibutuhkan sebuah gerakan dan kebijakan nasional dalam membereskan aktivitas penambang illegal ini.
Ombudsman Republik Indonesia (ORI) bahkan membeber data ribuan titik tambang illegal yang dibekingi oleh aparat keamanan dan pejabat. Komisioner Ombudsman, Laode Ida mengungkapkan, penambangan ilegal, khususnya mineral dan batubara terjadi hampir merata di seluruh Indonesia. Laode memaparkan, berdasarkan data yang diperoleh dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), setidaknya ada 8.683 titik kegiatan tambang ilegal di Indonesia. Adapun luasan lahan tambang itu sekitar 500 ribu hektar.
“Dan pelakunya terdeteksi dua kelompok. Satu, kelompok warga yang melakukan tambang ilegal. Kedua, kelompok pengusaha,” kata Laode saat dikonfirmasi Sabtu (2/1) kemarin.
Menurut Laode kelompok warga yang melakukan penambangan ilegal diduga dimodali oleh pengusaha penampung hasil tambang ilegal. Di satu sisi, Laode juga menyoroti penambangan ilegal yang diduga didukung oleh oknum aparat keamanan dan oknum pejabat lokal.
“Semakin terpencil daerahnya, semakin terpelosok, maka semakin marak kegiatan tambang terjadi, semakin kuat backup aparat. Mereka berkoordinasi secara informal dengan pejabat di tingkat daerah,” paparnya. Laode menjelaskan, berdasarkan data Direktorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM, perusahaan tambang yang terdaftar aktif sekitar 2.506 badan usaha. Adapun pendapatan negara dari kegiatan tambang-tambang tersebut hingga Oktober 2018 mencapai 39 triliun. Diperkirakan pendapatan negara akan bertambah menjadi Rp 40,6 triliun.
“Jika dibandingkan data dirilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), titik tambang ilegal kita 8.683 titik. Ini yang tidak resmi tiga kali lipat. Jika dikonversi dengan uang, kerugian negara bisa ratusan triliun rupiah per tahun,” paparnya.
Laode juga khawatir penambangan ilegal yang marak ini berdampak serius bagi lingkungan, seperti pencemaran air, udara, dan tanah. Fungsi lingkungan hidup menjadi terdegradasi. Kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya bisa ikut terancam.
Dukungan perlunya penegakan hukum juga disuarakan Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Tino Ardhyanto.
“Ini adalah langkah positif dalam upaya menegakkan kaidah-kaidah penambangan yang baik dan benar atau good mining practices di mana penambangan tanpa izin atau ilegal bukan bagian ‘good mining practices’ sehingga perlu ditertibkan sesuai peraturan perundangan yang berlaku,” kata Tino ketika dikonfirmasi lewat telpon, Sabtu (2/2) kemarin.
Menurut Tino, langkah tersebut sebagai bagian dari upaya aparat penegak hukum dalam menertibkan penambang ilegal.
“Potensi dampak dan konflik dalam kegiatan penambangan tanpa izin begitu besar mulai dari dampak lingkungan hingga konflik sosial,” tegasnya.[Wahyu Kuncoro SN]

Tags: