Penantian Melelahkan Vaksin Covid-19

Disiplin Prokes (dan Berharap) Segera “Merdeka Bekerja”

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior Penggiat Dakwah Social Politik

Nabi Muhammad SAW bersabda: Allah tidak meletakkan sebuah penyakit melainkan meletakkan pula obatnya, kecuali satu penyakit.’

Mereka bertanya, ‘Penyakit apa itu?’ Beliau menjawab, ‘Penyakit tua.'”

(Hadits Riwayat Imam Ahmad, Juz 4 Nomor 278).

Setiap penyakit, pasti ada obatnya. Sudah menjadi keyakinan sekaligus tantangan kalangan kesehatan. Hadits (sabda Nabi Muhammad SAW), tercantum dalam berbagai kitab kumpulan hadits shahih. Antaralain dalam Shahih Imam Muslim nomor 2204. Serta dalam kitab hadits Imam Al-Bukhori, nomor 5354, dengan pernyataan lebih tendas. Dinyatakan, “Allah tidak akan menurunkan penyakit melainkan menurunkan obatnya juga.”

Tidak mudah hidup dalam kekang PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) akibat wabah pandemi CoViD-19. Sudah setengah tahun mengikuti jargon anjuran “diam di rumah” sekeluarga. Tetapi tren pe-wabah-an virus corona belum menurun, bagai selalu muncul kluster baru. Sampai pasar tradisional (dan pusat perbelanjaan), serta perkantoran menjadi wahana penularan. Disebabkan abai terhadap protokol kesehatan (Prokes). Namun “denyut kehidupan” perekonomian tidak boleh terhenti.

Niscaya diperlukan kecerdasan, bisa tetap bekerja sembari disiplin melaksanakan Prokes. Disiplin menjadi “vaksin” utama: wajib menggunakan masker, jaga jarak antar-orang, mencuci tangan dengan sabun, dan berolahraga. Selebihnya tawakkal (pasrah diri) kepada Allah, selalu berpikir positif. Tidak takut wabah, karena sesungguhnya CoViD-19 bukan virus mematikan, dan bisa disembuhkan dengan cara sederhana! Istirahat cukup (8 jam sehari), makanan bergizi (empat sehat lima sempurna), dan minum obat sesuai gejala.

Seluruh lapisan masyarakat bagai telah “habis-habisan” bertahan dan menghindar dari penularan. Berdasar penelitian kolaborasi LIPI, Litbang Kementerian Ketenagakerjaan, dan Lembaga Demografi Universitas Indonesia, pengangguran bisa bertambah 25 juta orang. Disebabkan kegiatan usaha terhenti, dan tiada pekerjaan untuk pekerja bebas. Bermuara pada rentan kemiskinan baru sebanyak 17,5 juta rumah tangga. Kalangan buruh akan menjadi golongan termiskin, mencapai 7 juta rumah tangga.

Berdasar data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2019, tercatat sebanyak 26 juta pekerja berusaha sendiri, dan sebanyak 26,5 juta pekerja bebas. Kelompok tersebut (52,5 juta orang) menjadi paling rentan kehilangan pekerjaan. Tetapi biasanya paling cepat bangkit, manakala di-fasilitasi pemerintah. Begitu pula sebanyak 8 juta pekerja yang terkena PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), perlu memperoleh perhatian seksama pemerintah. Terutama perluasan coverages (cakupan) program Pra-Kerja.

Segera Gelontor Bansos

Pengorbanan masyarakat telah cukup menguras daya (harta, dan akses usaha perekonomian). Tidak mudah hidup dalam kekang PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) selama empat bulan. Bisa mengubah psikologi. Lebih lagi, mustahil menggantungkan hidup pada bantuan sosial (Bansos). Pemerintah (dan daerah) tidak memiliki kesiapan menyalurkan Bansos secara tepat sasaran, dan tepat waktu. Tingkat serapan (realisasi) Bansos sangat rendah. Semakin menekan daya beli masyarakat.

Rendahnya serapan anggaran bermuara pada semakin rendahnya pertumbuhan ekonomi. Berdasar data BPS (Badan Pusat Statistik), pada kuartal kedua tahun 2020 tercatat minus 5,32%. Artinya, dibanding kuartal dua tahun (2019) lalu, tahun ini melorot tajam, dampak CoViD-19. Hampir seluruh sektor perekonomian berhenti berdenyut. Masyarakat dan pemerintah dihadapkan pada suasana bagai buah simalakama. Terbelit dua ancaman sekaligus: pewabahan virus corona, dan resesi ekonomi (global).

Solusinya, tiga aksi nyata dan sistemik. Yakni, mempercepat penemuan (dan produksi masal) vaksin anti CoViD-19, serta menggelontor Bansos, dan memberi insentif usaha perekonomian. Pengharapan pengobatan manjur terhadap virus corona makin mendekati kenyataan, seiring tekad pemerintah mempercepat produksi masuknya vaksin. Uji klinis tahap ketiga dimulai pada pekan kedua bulan Agustus ini. Sehingga pada akhir tahun telah siap diproduksi masal sampai 250 juta dosis setahun.

Diperlukan percepatan produksi vaksin anti CoViD-19 sesuai etik dan standar ilmiah. Karena dikhawatirkan ber-adu cepat dengan klaim obat manjur yang berkembang di masyarakat. Sekaligus menjadi “tantangan” kalangan tenaga kesehatan. Wabah pandemi CoViD-19 telah “men-teror” seluruh dunia dengan gejala penyakit flu biasa. Berlanjut dengan warning WHO ((World Health Organisation), bahwa CoViD-19 sebagai ancaman global.

Bahkan CoViD-19 memunculkan protokol baru perlindungan kesehatan. Termasuk penanganan jenazah. Hampir 99% kematian ditangani dengan protokol kewaspadaan CoViD-19. Seolah-olah tiada penyebab kematian lain. Walau sebenarnya, virus corona tidak cukup mematikan. masih di bawah DBD (Demam Bedarah Dengue). Berdasar data Center for Disease Control and Prevention (dibawah WHO), setidaknya terdapat 400 juta kasus DBD di seluruh dunia. Indonesia menempati peringkat kedua diantara 30 negara endemik.

Ketahanan kesehatan merupakan tanggungjawab pemerintah pada masa bencana. Tak terkecuali bencana non-alam yang berupa wabah penyakit. Tanggungjawab negara dinyatakan secara tekstual dalam konstitusi Republik Indonesia. Bahkan dalam pembukaan UUD pada alenia ke-empat, dinyatakan, ” … membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum… .”

Kebut Vaksin Halal

Terdapat frasa kta “melindungi,” yang bermakna menghindarkan setiap rakyat dari berbagai ancaman. Termasuk wabah penyakit. Amanat dalam mukadimah UUD, di-breakdown dalam batang tubuh konstitusi. UUD pasal 28H ayat (1), menyatakan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”

Bersyukur perusahaan BUMN (Bio Farma) bersama Universitas Padjadjaran, Bandung, memperoleh tugas negara menelisik sampel bakal vaksin. Sesuai protokol produksi vaksin. Antara lain penjejakan terhadap asas safety (keamanan), efficiency (efisien), dan imunogenocity (ke-mujarab-an membentuk imunitas). Maka vaksin corona wajib segera bisa diberikan kepada masyarakat. Termasuk dengan jaminan ke-halal-an, sesuai UU Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

Vaksinasi merupakan kewajiban pemerintah, tertuang dalam UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Pada pasal 153, dinyatakan, “Pemerintah menjamin ketersediaan bahan imunisasi yang aman, bermutu, efektif, terjangkau, dan merata bagi masyarakat untuk pengendalian penyakit menular melalui imunisasi.” Pemerintah (Wakil Presiden) meminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan fatwa untuk partisipasi masyarakat mengikuti imunisasi.

Sebelumnya, MUI pernah menerbitkan fatwa Nomor 4 tahun 2016 tentang Imunisasi, karena rendahnya kesertaan masyarakat dalam imunisasi. Disebabkan beberapa vaksin belum memiliki sertifikat halal. Berdasar data MUI, hanya dua jenis vaksin yang telah bersertifikat halal. Yakni vaksin meningitis dan vaksin flu yang wajib untuk calon jamaah haji, dan umroh.

Realitanya, dampak CoViD-19 telah meruntuhkan perekonomian dunia. Sehingga seluruh negara mengalami pelambatan perekonomian, memicu resesi global. Tiada negara di dunia yang mampu menghindari dampak wabah pandemi virus corona. Maka wajar seluruh negara belomba bisa menemukan vaksin anti virus. Di dalam negeri diharapkan segera dimulai produksi vaksin anti virus corona pada akhir tahun (2020) ini.

Bisa jadi, Indonesia akan menjadi negara pertama produsen vaksin anti CoViD-19, yang halal. Setiap orang akan bisa bekerja dengan tenteram tanpa ancaman penularan wabah.

——— *** ———

Rate this article!
Tags: