Penantian Panjang di Pintu Pelabuhan

Wahyu Kuncoro SNOleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa
Alumnus Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya.

Kemenangan pasangan Joko Widodo – Jusuf Kalla (Jokowi-JK) dalam Pilpres kemarin, dinilai mampu menghadirkan harapan akan bangkitnya jati diri bangsa Indonesia sebagai bangsa maritim. Mengapa?
Tidak lain adalah karena pasangan ini, terlihat lebih memiliki visi kemaritiman yang kuat. Visi itu setidaknya terbaca dari konsep transportasi laut dalam platform pembangunan ekonomi nasional yang telah banyak dipaparkan saat masa kampanye Pilpres kemarin. Konsep tersebut kemudian dikenal sebagai “tol laut”.
Tol laut dalam konsep Jokowi-JK adalah jalur kapal besar yang menghubungkan pelabuhan-pelabuhan utama Indonesia. Dalam konsep ini, kelak ada kapal besar yang rutin berlayar dari Sumatera ke Papua pulang-pergi seperti pendulum. Di kota-kota utama bakal beroperasi pula kapal-kapal lebih kecil yang menghubungkan kota-kota di sekitarnya. Tol laut juga akan diintegrasikan dengan jalur ganda (double track) kereta api.
Mimpi besar ini bila mampu diwujudkan maka akan mampu mengurai beragam persoalan klasik yang selama ini terus terjadi seperti, mampu menekan biaya logistik, merangsang pusat-pusat pertumbuhan di daerah sehingga perekonomian lebih merata, menciptakan konektivitas, mengurangi beban kemacetan lalu lintas di kota-kota besar dan menggairahkan industri transportasi laut itu sendiri.
Wajah Kusut Pelabuhan
Sebagai bangsa maritim, maka salah satu wilayah utama yang relevan untuk mendapat sorotan adalah bagaimana wajah dan kinerja pelabuhan yang dimiliki. Rasanya mustahil sebuah bangsa maritim bisa berjaya tanpa didukung keberadaan pelabuhan yang hebat.
Pertanyaannya, bagaimana kinerja pelabuhan kita hari ini? Mampukah pelabuhan-pelabuhan yang kita miliki hari ini akan mampu menjadi penopang utama berdiri tegaknya sebuah negara maritim bernama Indonesia?
Diakui atau tidak, berbagai persoalan berat masih menyandera pengembangan pelabuhan-pelabuhan di tanah air. Soal lamanya rata-rata waktu tinggal kontainer (dwelling time) di Pelabuhan misalnya, ternyata masih saja menghantui layanan di pelabuhan, termasuk di Pelabuhan Utama Tanjung Priok. Logikanya, kalau pelabuhan sekelas Tanjung Priok saja soal dwelling time masih jadi persoalan, tentu hal yang sama juga terjadi di pelabuhan-pelabuhan lainnya, bahkan bisa jadi lebih parah lagi kinerjanya. Tingginya masa dwelling time jelas sangat memprihatinkan. Kondisi ini sangat mengganggu arus kelancaran keluar masuk barang di Pelabuhan, yang pada akhirnya ekonomi biaya tinggi tidak dapat dikurangi.
Persoalan di pelabuhan bukan sekadar masalah dwelling time, biaya pelayanan peti kemas (container handling charge/CHC) juga masih banyak dikeluhkan. Kita tentu masih ingat betul bagaimana hebohnya pelaku usaha di pelabuhan ketika ada rencana kenaikan CHC di Pelabuhan Tanjung Priok beberapa bulan lalu. Bagi para pelaku usaha di pelabuhan, Tanjung Priok kian tidak kompetitif dengan kenaikan harga itu.
Keinginan PT Pelindo II, selaku pengelola Pelabuhan Tanjung Priok saat itu, yang mengusulkan kenaikan CHC sejatinya bisa dipahami, mengingat besaran ongkos itu terakhir mengalami penaikan pada 2008. Seiring laju inflasi dan kenaikan harga BBM, maka dipandang perlu menaikkan CHC.
Penaikan CHC ini juga terkait dengan insentif yang harus diberikan kepada sektor swasta yang mau terjun menggarap bisnis pengelolaan terminal pelabuhan, mengingat Pelabuhan Tanjung Priok dikelola bersama antara BUMN dengan pihak swasta. Namun sudah tentu para pelaku usaha meneriakkan penolakan atas usulan kenaikan itu. Alasannya, ongkos CHC di Priok termasuk sudah mahal, terlebih bila dibandingkan dengan pelabuhan lain di kawasan Asia Tenggara. Selain itu, kenaikan CHC juga akan berdampak pada terkereknya biaya-biaya logistik lainnya. Idealnya, penaikan itu tidak memberatkan para pengguna jasa, namun di sisi lain juga tidak merugikan pengelola pelabuhan. Semua pihak seharusnya menyadari kinerja pelayanan pelabuhan yang maksimal harus menjadi titik pangkal apakah biaya pelayanan akan dinaikkan atau tidak.
Ada baiknya kita semua ingat bahwa proses bongkar muat di pelabuhan Indonesia telah menyebabkan Indeks Kinerja Logistik negara ini masih sangat rendah, bila dibandingkan dengan negara tetangga. Indeks Kinerja Logistik merupakan indeks yang diterbitkan oleh Bank Dunia untuk mengukur persepsi pelaku usaha freight forwarders internasional dalam melakukan bisnis di suatu negara.
Tak mengherankan jika ongkos produksi di Indonesia jauh lebih mahal ketimbang di negara-negara lain. Itu pula yang kemudian memicu biaya tinggi pada seluruh kegiatan ekonomi di negeri ini.
Ekonomi biaya tinggi membuat daya saing Indonesia terus tertinggal. World Economic Forum (WEF) dalam The Global Competitiveness Report 2013-2014 menempatkan Indonesia pada peringkat ke-38 dari 148 negara. Meski naik 12 peringkat dari tahun sebelumnya, Indonesia masih di bawah negara-negara ASEAN yang lain, seperti Singapura (2), Malaysia (24), Brunei Darussalam (26), dan Thailand (37).
Beberapa Catatan
Publik sungguh menaruh harapan besar terhadap pemerintahan baru ini utamanya dalam hal mengembangkan sektor kelautannya. Terkait  kemungkinan implementasi konsep tol laut, ada beberapa catatan yang menarik untuk menjadi diskusi kita bersama.
Pertama, bahwa sebelum mengoperasikan kapal-kapal besar dengan ukuran 3.000  twenty-feet equivalent units (TEUs),  maka pemerintah baru terlebih dahulu harus membangun pelabuhan ataupun industri secara merata. Dengan terbangunnya pelabuhan-pelabuhan di suatu wilayah, industri akan dengan sendirinya terbangun di wilayah tersebut. Jika industri telah tumbuh merata hingga ke Indonesia timur, kebutuhan perkapalan akan meningkat. Pengusaha kapal juga nanti  memperbesar kapalnya kalau kebutuhannya memang  mengarah ke yang lebih besar. Dengan demikian, pembangunan pelabuhan baru perlu lebih diutamakan ketimbang pengadaan kapal berukuran 3.000 TEUs. Kondisi pelabuhan yang buruk,  kerap membuat pengusaha kapal atau pelayaran enggan menepikan kapalnya karena khawatir bakal rusak. Penyeberangan atau distribusi barang dengan kapal 3.000 TEUs akan menjadi kurang bermanfaat  ketika barang dari Indonesia barat telah selesai dikirim ke Indonesia timur. Sebab, kapal  yang berangkat dari  timur menuju barat hanya akan mengangkut barang dalam jumlah sedikit dengan biaya angkut yang sama besar.
Kedua, bahwa konsep tol laut harus diselaraskan dengan pengembangan industri pelayaran nasional yang sudah berjalan. Persaingan antaroperator pelayaran harus dijaga agar tetap sehat dan adil sehingga kondusif bagi iklim investasi. Agar tetap sejalan dengan kepentingan nasional, konsep tol laut juga mesti disesuaikan dengan asas cabotage (kewajiban menggunakan kapal berbedera Indonesia) yang berhasil meningkatkan nilai tambah sektor pelayaran nasional. Jangan lupa pula, konsep tol laut hanya bisa diterapkan jika telah memenuhi sejumlah syarat, seperti tersedianya infrastruktur pelabuhan yang memadai, teknologi pendukung yang mumpuni,. serta sumber daya manusia (SDM) yang terampil. Sebagai contoh, platform national single window (NSI)–akses tunggal data pelabuhan secara nasional–belum terimplementasikan dengan baik.
Ketiga, kita juga perlu meyakinkan pemerintah baru bahwa konsep tol laut membutuhkan biaya sangat mahal karena harus didukung banyak pelabuhan, besar maupun kecil, di seantero negeri. Padahal, anggaran dari APBN sangat terbatas. Maka selain harus melobi DPR agar anggaran pembangunan infrastruktur pelabuhan dilipatgandakan, pemerintah baru mesti mampu menarik banyak investor swasta.
Keempat, gairah ini semakin menemukan relevansinya ketika dikaitkan dengan era dimana Indonesia akan memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Movement dari barang ASEAN semakin kencang. Jangan sampai kita kehilangan peluang ekspansi dagang ke ASEAN dan justru kita harus menjadi pasar. Dipandang sebagai kekuatan nasional.
Kelima, saat ini ada kecenderungan masing-masing daerah ingin mendirikan pelabuhan sendiri, karena mereka berpikir pelabuhan akan menambah pendapatan daerah. Kagairahan daerah untuk membangun pelabuhan tentu harus dikelola secara baik. Jangan sampai semua daerah berlomba-lomba membangun pelabuhan namun justru hanya akan menambah semakin banyaknya pelabuhan yang tidak berfungsi secara baik. Inilah masanya pemerintah secara serius mengelola potensi pelabuhgan yang dibutuhan di wilayah seluas Indonesia. Pemerintah daerah tidak boleh bersikap dan berbuat sendiri-sendiri, tetapi disinergikan menjadi gagasan pendulum nusantara itu. Ini momentum yang menurut hemat penulis terbaik untuk mewujudkan Indonesia negara kesatuan maritim ya merajut pulau-pulau. Maka akan terintegrasilah perekonomian nasional.
Bahwa terlepas dari tidak mudahnya konsep tol laut itu diwujudkan, namun munculnya pemikiran konsep tersebut setidaknya menunjukkan adanya adanya political will untuk melakukan pemerataan pembangunan. Sesuatu yang tidak ditemukan dalam pemerintah-pemerintah sebelumnya. Jangan sampai pembangunan terlalu berat ke wilayah barat seperti proyek jembatan Selat Sunda karena proyek jembatan Selat Sunda merupakan visi pembangunan Jawa Sumatera bukan visi pembangunan negara kesatuan. Namun, political will saja tidaklah cukup. Sebab, Jokowi juga harus memastikan eksekusi visi misinya berjalan lancar dengan menunjuk pembantu-pembantu yang kompeten dan profesional.Indonesia membutuhkan kabinet kerja dalam pemerintahan ke depan bukan kabinet politik.
Di dalam pemerintahan dibutuhkan orang-orang yang benar-benar memahami pekerjaannya di dalam bidangnya masing-masing. Meskipun pembangunan tol laut akan menghabiskan anggaran yang tidak sedikit, namun yang patut ditegaskan adalah bahwa pembangunan jangan dilakukan berdasarkan asas tingkat pengembalian investasi, tetapi asas keadilan dan pemerataan pembangunan. Inilah penantian panjang kita bersama. Wallahu’alam Bhis-shawwab

———– *** ————

Rate this article!
Tags: