Pendaftaran Pasangan Capres

143756_133726_jokowiprabowoTahapan Pemilihan presiden dan wakil presiden (Pilpres) 2014 sudah dimulai. Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menerima pendaftaran dua bakal Calon Presiden dan Wakil Presiden. Masing-masing dari kubu Joko Widodo dan Jusuf Kalla, serta pasangan kubu Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa. Dipastikan hanya dua pasang itu bisa memenuhi syarat dukungan hasil pileg (suara sah nasional maupun kursi di parlemen).
Tidak mungkin lagi ada calon lain. Karena sisa suara hasil parlemen hanya menyisakan sekitar 12%, tak cukup sebagai syarat pengajuan Capres-Cawapres. Begitu pula jika di-kurs dengan perolehan di parlemen hanya tersisa 61-an kursi. Jauh dari ambang presidential threshold sebanyak 112 kursi. Maka patut disyukuri  cuma terdapat dua pasang kontestan. Dengan begitu pilpres akan cepat selesai, karena tidak diperlukan putaran kedua.
Pilpres secara langsung merupakan amanat UUD 1945. Pasal 6A ayat (1) menyatakan “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.”  Terdapat frasa “dipilih secara langsung oleh rakyat.” Dus, perintah UUD ini memerlukan regulasi pendukung untuk implementasinya. Karena itu telah diterbitkan (oleh pemerintah bersama DPR) UU Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
UU Pilpres itu memberi syarat khusus kepada setiap bakal pasangan Capres-Cawapres. Pada pasal 9 dinyatakan, bahwa bakal calon harus memperoleh dukungan sebesar 25% suara sah nasional hasil pileg, atau 20% kursi di parlemen. Ironisnya, tidak ada parpol yang bisa meraih persyaratan presidential threshold itu. Sehingga setiap parpol harus koalisi dengan parpol lain.
Koalisi kubu Prabowo-Hatta misalnya, menghasilkan dukungan sebesar 52,1% (termasuk suara Golkar) tataran parlemen. Sedangkan kubu Jokowi-Jusuf Kalla berhasil mengumpulkan 36,9%. Setelah pendaftaran calon, dalam waktu 4 hari, dilakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi setiap pasangan calon. Lalu disusul pemeriksaan kesehatan oleh dokter dari rumah sakit pemerintah yang ditunjuk KPU.
Persyaratan bakal Capres dan Cawapres, agaknya bisa dipenuhi dengan mudah oleh setiap pasangan. Yang agak sulit boleh jadi, adalah mengisi daftar kekayaan. Audit kekayaan ini penting, yang kelak akan dibanding dengan jumlah kekayaan pasca menjabat. Tentu tidak haram manakala kekayaan seseorang meningkat setelah menjabat Presiden. Tetapi kekayaan itu wajib dapat dikonfirmasi asal-usulnya.
Gaji (dan tunjangan) serta dana operasional presiden sangatlah besar.  Bahkan tergolong sangat memadai di percaturan ke-presiden-an sedunia. Terutama penghasilan yang melekat dari hak-hak protokoler. Konon penghasilan presiden Indonesia lebih besar dibanding presiden Amerika. Ini pernah menjadi perdebatan, karena rata-rata penghasilan rakyat Indonesia masih dibawah US$ 2 per-hari. Tergolong penduduk miskin.
Meski baru didaftarkan (dan belum memiliki nomor urut) setiap kubu bakal Capres sudah bergerak memulai kampanye. Buku cetakan tentang visi dan misi Capres-Cawapres malah sudah diedarkan secara luas. Di dalamnya berisi biografi pasangan, serta “janji” program kerja. Seluruhnya, baik-baik cenderung ideal. Boleh jadi banyak kalangan profesional (termasuk profesor) dilibatkan dalam penulisan buku visi-misi bakal Capres-Cawapres.
Sayangnya, banyak kalimat masih sumir (samar-samar), seolah-olah tidak terjamin benar bisa melaksanakan janji (kampanye) visi-misi. Misalnya, terkait amanat UUD tentang kesejahteraan rakyat. Pada pasal 34 ayat (2) UUD menyatakan “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.”  Apa yang bisa diperbuat Capres dan Cawapres?
Amanat kesejahteraan rakyat itu hasil amandemen keempat, disahkan sejak Agustus 2002. Juga sudah pula diterbitkan UU Nomor 40 tahun 2011 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Namun sudah berganti presiden dua kali, toh belum pernah direalisasi.

———– 000 ———–

Rate this article!
Tags: